(Merespon permintaan ananda Lalong Kador Bambor)
Bersama Peneliti Kantor Bahasa Pusat, ketika penelitian sastra lisan di Labuanbajo Manggarai Barat -NTT (usman d.ganggang)
Kemarin, ananda saya bernama Lalong Kador Bambor, meminta artikel tentang pantun. Untuk memenuhi permintaannya, artikel ini pun hadir. Semoga bermanfaat buat ananda, dan suatu ketika ananda paham bahwa para leluhur kita di masa lalu itu, kaya dengan ilmu. Salah satunya, terkait dengan sastra lisan yang penuh dengan nilai demi anak keturuanan adalah pantun yang sejak lama diakrabi anak negeri ini.
Dari berbagai sumber menyebutkan bahwa pantun merupakan hasil karya sastra lama. Kalau diakbrani pastilah banyak nilai yang diperoleh karena di dalamnya terdapat nilai-nilai yang dapat dikonsumsikan dalam keseharian. Nilai-nilai tersebut bermanfaat buat si apresiastor. Ini pun akan terjadi , jika si apresiator mempunyai kemauan untuk berapresiasi secara total dan optimal setelah teks pantun dibaca/dicermati dengan saksama, lalu diusahakan untuk memahami maknanya serta dimengerti isinya, dan selanjutnya dilaksanakan dalam keseharian kita.
Memahami pantun, gampang-gampang susah. Gampangnya, dalam pantun selain ada sampiran juga ada isinya. Sampiran merupakan simbol untuk menuju isi. Dengan perkataan lain, biasanya pemantun dalam memantun, selalu menggunakan alam sebagai simbol. Sekedar contoh :
Asam kandis asam gelugur
ketiga asam si riang-riang
Menangis mayat di pintu kubur,
teringat badan tidak sembahyang.
Setelah dicermati simbol alamnya, tentu diawali dengan memperhatikan makna kiasnya, kemudian kita amati kata kunci,seperti : pada bagian isi yaitu /menangis mayat,/ di pintu kubur//, Baris berikutnya adalah : / teringat badan tidak sembahyang//. Maka kita tidak salah dalam menentukan maknanya. Pantun ini, digolongkan pada pantun agama ( dari sisi isinya, sementara dari sisi bentuknya, tergolong pantun biasa). Pantun ini beramanat , hendak mengingatkan kita, yang masih hidup, agar selalu bersembahyang/ibadah/berdoa . Iya, selama masih hidup di dunia , kita diajak untuk senantiasa melakukan ibadah, agar jangan ada penyesalan saat di akhirat nanti. Benar kata Chairil Anwar, “hidup hanya sekali, sesudah itu mati”. Itulah sebabnya, sebelumnya, kita beri makna ini hidup.
Pada sisi lain, banyak pantun yang menggunakan kata-kata arkais(berhubungan dengan masa dahulu atau berciri kuno, tua; tidak lazim dipakai lagi ), ketinggalan zaman dan kata-kata konotasi(makna kias/sampingan/makna yang tidak sebenarnya). Itu sebabnya, terkadang si apresiator mengalami kesulitan dalam menemukan maknanya. Tetapi dalam ilmu tidak ada yang sulit atau sukar, jika kita berusaha, untuk mencerna maksud dan makna dari sebuah teks pantun. Misalnya saja, kita berusaha membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KUBI) . Pasti bisa diperoleh jawabannya. Apalagi pantun sekarang kebanyakan tidak menggunakan sampiran dan isi yang berkaitan. Tentu akan memparah pemahaman kita. Tidak Berkaitan antara sampiran dan isi pantun memang membuat apresiator merasa mengalami kesulitan.
Disadari, dengan semakin berkembangnya zaman maka pantun juga ikut berkembang sesuai dengan perkembangan arus zaman. Akibatnya, banyak pantun yang sampiran dan isinya tidak berkaitan, bahkan tidak ada sangkut-pautnya sama sekali. Iya, berbeda jauh dengan ciri pantun tempo dulu. Berikut contoh teks pantun yang berkaitan antara sampiran dan isinya secara substansi.
Jika ada sumur di ladang,
Bolehlah kita menumpang mandi.
Jika ada umur yang panjang,
Bolehlah kita bertemu lagi.
Coba bandingkan dengan teks pantun yang berikut ini! Kalau dicermati dengan sungguh, pastilah kita mengatakan bahwa tidak berkaitan sampiran dan isinya.
Anak Pak Dolah makan lepat
makan lepat sambil melompat
Nak hantar kad raya dah tak sempat
pakai sms pun ok wat?.
Jika dicermati dengan saksama, maka simpulannya, pada pantun di atas, ternyata sampiran tidak berfungsi lagi sebagai simbol/ penjelas isi sebagaimana biasanya pemantun dalam memantun. Namun , kini malah lebih menitikberatkan sebagai penyedia rima untuk isi agar tetap memiliki rima yang ideal. Adanya rima yang ideal tentunya akan menghasilkan ritme yang indah pula.
Nah, bagaimana dengan pantun berikut ini?
1. Luas nian samudra raya,
Pagi-pagi nelayan melaut.
Tak berguna memberi si kaya,
Bagai menebar garam di laut.
Makna pantun ini, tidak lain dari: usaha yang tidak ada gunanya
2. Anak angsa mati lemas,
Mati lemas di air masin.
Hilang bahasa karena emas,
Hilang budi karena miskin.
Artinya/maknanya adalah Meskipun kita miskin, jangan sampai kita kehilangan budi pekerti yang baik
3. Pisau seraut dua tiga ,
Letak di peti dalam perahu.
Dalam laut dapat diukur,
Dalam hati siapa tahu.
Artinya : Kita tidak mengetahui isi hati orang lain.
Konkretnya, jika kita berusaha memahami makna pantun, maka inilah langkah-langkahnya: (a) memahami makna kias/samping sebuah pantun’ (b), mengusut pelaku yang berinteraksi dalam pantun’ (c) melakukan kegiatan parafrase (= mengubah bahasa pantun (terikat) menjadi bahasa prosa (bebas); dan sejumlah langkah lainnya yang berusaha dengan cepat memahami isi sebuah pantun.
Pantun yang merupakan hasil karya sastra lama itu, ternyata banyak mengandung nilai. Nilai-nilai itu amat bermanfaat bila kita mau berusaha menggalinya. Itu sebabnya, diperlukan sebuah upaya sebagai langkah praktis mengantisipasi masalah. Mari kita berusaha menggali untuk kemudian mendokumentasikan pantun yang kini hampir tenggelam ditelan zaman. Caranya, kita menggali pantun yang tersebar di Nusantara ini, sekalian hasil galian itu diubukukan.***)
Sumber bacaan:
Usman D.Ganggang. 2014. Karya sastra Harus Diapresiasi (Kantor Pusat Bahasa: Jakarta) Usman D.Ganggang, 2008. Mengapresiasi Dongeng,Mengapa Penting, dalam Kompasiana.
dan dari berbagai sumber.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H