Oleh: Usman D.Ganggang *)
Apa saja yang perlu ditulis dalam karya puisi? Ragil S.Pragolapati sang penyair asal Jogyakarta yang konon hilang saat bersemedi di Pantai Selatan Jogyakarta di tahun 1080-1n itu, menganalogi puisi dengan colt-pic up tulisnya dalam DIAN terbitan Nusa IndahEnde-Flores NTT. Kepadanya, boleh dimuatkan manusia, hasil bumi, barang, kambing atau apa saja, asal muatannya cukup.
Mengacu pada pernyataan di atas,tentusebagai hasil kreasi sang penyair, dalam puisi boleh memuatkan apa saja seperti pesan, ilmu, filsafat, memori atau berbagainilai hidup. Lalu, apa saja yang dimuat (baca: diangkat) oleh kedua penyair kita kali ini? Baik Fransiskus maupun Selti sama-sama mengedepankan tema sentral “IBU”.
Frans, dalam puisinya yang berjudul “Di Pusara Ibuku” berusaha merefleksi memori, kenangan indah selama hidup bersama ibunda yang kini telah menjadi“ahli kubur” (mayat). Kasih sayang dan cinta kasih yang tulus ikhlas sang ibu kepada“aku lirik”(aku yang menceritakan) terpatri indah dalam relung hati paling dalam. Sang “aku lirik” sangat sedih, kalau mengenang ini semua. Dalam kesedihannya itu, ia ingat kata orang bijak “kasih ibu sepanjang jalan sedangkan kasih anak hanya sepanjang penggalah”.
Itu pulalah sebabnya, tatkala ibu yang sarat kebaikan itu pergi untuk selama-lamanya, maka “aku lirik” berziarah ke kubur ibunya. Ia menyaksikan gundukan tanah itu, laluteringat kebaikan ibunda, terasa memendam sejuta kenangnya. Iya, sebuah kenangan indah yang terasa ketika bersama ibunda yang membesarkannya. Tenru saja, memori indah itu tidak mudah luntur, karena kenangan indah itu mendalam sekali. Begitu dalamnya kenangan itu,sampai-sampai “aku -lirik” mengulang tatapannya: /Gundukan tanah itu/Mengoyak hatiku/Merobek jiwaku//. Tanpa terasa “aku-lirik” bergumam: ?Mother, how are you to day? Di sinilah sisi menariknya puisi Fransitu.
Frans, sudah menunjukkan bakatnya untuk menjadi seorang penyair. Dia berhasil dalam melukiskan detail memorinya.Sayangnya pada bait pertama, /Pesona alam menyapaku/Harum kamboja menghardikku/Rintik hujan sempat mengiringi langkahku/Aku terlelap sesaat dalam pelukan alam/, terutama padalarik (baris) kedua , diksinya tidak koheren ,/harum kamboja menghardikku/, kemudian sebenarnya tidak perlu hadirkan lagibait ketiga . Cukup digabungkanpada baik kedua.
Meski ada kekurangnya, terutama pada diksinya, puisi Frans, sudah mengekspresikan detai memorinya dengan baik sehingga menggugah penikmat untuk menyimak memori indahnya. Bagaimanapun, dengan detail yang dilukiskan Frans, pasti meninggalkan kesanpada dirinya juga buat penikmat, betapa kasih sayang ibu, tidak dapat dibayar dengan uang terkait kebaikan anaknya.
Meski bertema sentral yang sama, Selvi tampil beda. Selvi secara khusus mengedapankan persoalan yang dihadapi “aku-lirik”. Berbagai penderitaan sang ibu diketahui secara jelas oleh “aku - lirik”. Perhatikan bait pertama puisi berjudul “Surat Buat Ibunda”, kemudian pada bait ketiga, Selvi tidak saja mendeskripsikan penderitaan ibunda tetapi juga penderitaan yang dialami bersama : / Mereka menggempur tetangga kita/telah kokoh berlapis baja keimanan//.
Yang menarik dari puisi Selvi adalah penggunaan imaji dua baris terakhir bait keempat:/ berjalan menggendong senyum dan air mata/Hatiku bergemuruh melihat nasib//. Iya seorang anak yang disebut saleh harus senantiasa berusaha membagi rasa. Kemudian selalu mendoakan kedua orangtua. Selvi perlu belajar lagi terutama penggunaan unsur koherensi antarbait serta unsur bunyi yang mempunyai daya pukau.
Puisi kedua sahabat kita, berikut ini kami tulis lagi.
Di Pusara Ibu
Karya Fransiskus
Pesona alam menyapaku
Harum kamboja menghardikku
Rintik hujan sempat mengiringi langkahku
Aku terlelap sesaat dalam pelukan alam
Gundukan tanah itu
S’lalu memandam sejuta kenangan
Gundukan tanah itu
Mengoyak hatiku
Merobek jiwaku
Mother,
How are you to day?
Surat Buat Ibunda
Karya Selfi Mau Taek
Lidahku keluh hatiku tersayat sembilu
Air mata pun membanjiri gubuk tua
Di kala engkau menceritakan kepahitan hidupmu
Kau jalani dengan cucuran keringat
Kau peras bersama deru deruasmu
Tak pernah lintas dalam benakku
Tentang kehidupan tempo dulu
Yang begitu mengganas
Tanpa belaian kasih sayang
Bunda
Ananda jadi termangu pasrah
Melihat naas hadir beriring tawanya
Iblis-iblis pembenci kita bermusuhan
Dengan suara sumbang dan nadanya fals
Mereka menggempur tetangga kita
Telah kokoh berlapis baja keimanan
Bunda
Walau anakmu duduk berpangku tangan
Berjalan menggendong senyum dan air mata
Hatiku bergemuruh melihat nasib
Atambua, Medio 2002
Selamat menulis lagi, sahabat Frans dan Selvi, pengasuh senantiasa menunggu karya sastra kamu yang lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H