ANALIS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 26 TAHUN 2023 Â TENTANG PENGELOLAAN HASIL SEDIMENTASI LAUT
Oleh: Letda Bakamla Usman Bima Sakti, S.H.
Â
1. Permasalahan
Negara Indonesia yang lahir sejak Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 sebagai negara merdeka dan berdaulat. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disingkat dengan (UUD 1945) tercantum jelas cita-cita bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia. Untuk mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakan upaya pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk diantaranya adalah pembaharuan hukum. Sejalan dengan pandangan dari Cicero yaitu "Ubi Societas Ibi Ius" bahwa dimana ada masyarakat disana ada hukum.[1]  Kajian ilmu hukum yang menganggap bahwa "hukum sebagai gejala sosial"[2] hukum berfungsi sebagai sarana pengendali sosial (social control).[3] Hubungan tersebut diatur oleh hukum, semuanya adalah hubungan hukum (rechtsbetrekkingen).[4] Hukum sebagai social control, dalam kata lain Hukum/peraturan perundang-undangan dimaksudkan untuk mengatur kehidupan manusia.[5] Ketika dinamisasi problematika yang terjadi di tengah masyarakat mulai meningkat, setidaknya hukum haruslah menjadi alat kontrol agar masyarakat tetap terlindungi haknya, dan terciptanya ketertiban serta perdamaian. Peraturan perundang-undangan akan selalu tertinggal dengan perkembangan masyarakat yang berjalan lebih cepat. Karena itu ada sebuah pameo menyatakan, het recht hinkt achter de feiten aan, artinya hukum dengan terpontang panting mengikuti peristiwanya dari belakang.[6] Perlu adanya pembaharuan hukum yang berkelanjutan sehingga hukum positif yang berlaku lebih sesuai dengan dinamika yang ada dalam masyarakat.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki posisi strategis di antara Benua Asia-Benua Australia dan Samudera Pasifik Samudera Hindia serta memiliki potensi sumber daya berlimpah baik sumber daya hayati maupun sumber daya nonhayati. Salah satu sumber daya nonhayati berupa hasil sedimentasi di laut yang merupakan material abiotik yang terendapkan dan terangkut berada di bawah laut, perairan dangkal, dan daratan pasang surut pantai. Hasil sedimentasi di laut terbentuk secara alami melalui proses pelapukan dan erosi, yang terdistribusi oleh dinamika oseanografi dan terendapkan. Proses sedimentasi sangat dipengaruhi oleh proses dinamika oseanografi seperti arus, gelombang, dan angin. Material sedimentasi dapat berupa kerikil, pasir, maupun lumpur. Apabila proses dimaksud terjadi pada lokasi yang telah dimanfaatkan untuk aktivitas tertentu atau berada pada lokasi yang memiliki ekosistem sensitif maka akan berpotensi mengganggu daya dukung ekosistem pesisir dan laut dan kegiatan sekitarnya.[7]
Beberapa contoh dampak negatif proses sedimentasi di laut pada ekosistem antara lain berkurangnya tutupan karang hidup, mempengaruhi ketersediaan habitat lamun, mempengaruhi perkembangan kerang hijau, mengganggu tempat pemijahan ikan, tempat pengasuhan ikan dan tempat makan ikan. Proses pemulihan terhadap dampak tersebut tidak dapat dilakukan secara cepat. Pengelolaan hasil sedimentasi di laut dilakukan agar tidak menurunkan daya dukung ekosistem pesisir dan laut serta dampak negatif seperti menurunnya kualitas air laut dan lingkungan perairan laut dan pesisir pantai akibat meningkatnya kekeruhan air yang berdampak signifikan terhadap penetrasi sinar matahari yang berfungsi untuk proses kehidupan biota air. Rusaknya daerah pemijahan ikan, pengasuhan ikan, dan tempat makan ikan timbulnya turbulensi yang menyebabkan peningkatan kadar padatan tersuspensi di dasar perairan laut, juga terjadi pendangkalan yang menyebabkan banjir.
Sedangkan dari aspek ekologi pengendalian Hasil Sedimentasi di Laut memberikan dampak positif yaitu menjaga keterpeliharaan daya dukung ekosistem pesisir dan laut mengurangi dampak negatif terhadap ekosistem pesisir dimana ekosistem pesisir memiliki kemampuan menyerap karbon lebih baik, juga dari aspek ekonomi. Hasil sedimentasi dari laut dapat dimanfaatkan untuk reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah seperti pembangunan infrastruktur Proyek Strategis Nasional (PSN), pembangunan sarana prasarana di dalam negeri oleh pelaku usaha dan/atau ekspor, dan peningkatan nilai tambah ekonomi masyarakat.
     Dalam rangka menjaga daya dukung ekosistem pesisir dan laut serta meningkatkan manfaat hasil sedimentasi di laut maka diperlukan pengelolaan hasil sedimentasi di laut dalam sebuah peraturan. Pengelolaan hasil sedimentasi di laut ini bertujuan untuk menjaga daya dukung ekosistem pesisir dan laut serta memelihara kualitas lingkungan laut sebagai bentuk implementasi dari upaya pelindungan lingkungan laut.[8] Dari sisi hukum aturan serupa terkait pengelolaan hasil sedimentasi laut termuat dalam Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut (KEPPRES). Dengan demikian Keputusan Presiden ini sudah secara spesifik mengatur tentang hasil dasar laut yang terletak di wilayah perairan Indonesia.[9] Sayangnya, hanya pasir laut yang diatur, padahal di wilayah perairan Indonesia bukan hanya pasir laut yang dapat dimanfaatkan. Dengan wilayah perairan Indonesia yang dalam,  tentunya masih banyak jenis mineral laut lainnya yang dapat ditemukan dan dapat dimanfaatkan untuk rakyat Indonesia selain itu terkait kewajiban pelaku usaha dalam melakukan pengelolaan sedimentasi dalam KEPPRES ini juga belum diatur. Atas latar belakang tersebut kemudian terbitlah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut dalam peraturan ini diatur lebih kompleks mengenai pasir laut, dan material sedimen lain berupa lumpur.[10] Diharapkan dengan terbitnya PP ini dapat tercapai perlindungan dan pelestarian lingkungan laut untuk mendukung keterpeliharaan daya dukung ekosistem pesisir dan laut sehingga meningkatkan kesehatan laut. Namun terbitnya PP ini justru dipandang negatif oleh masyarakat, pemerhati lingkungan dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).  Proses penyusunan (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut (ekspor pasir laut) dinilai tidak transparan dan minim partisipasi publik. Padahal menurut pernyataan pemerintah proses penyusunan PP ini telah berlangsung selama dua tahun. Sebagai mitra pemerintah, DPR RI juga tidak pernah diajak diskusi, bahkan kajian naskah akademis yang melandasi peraturan itu juga tidak dibuka ke publik. Seharusnya produk perundang-undangan disertai dengan konsultasi publik dan sosialisasi, baik melibatkan masyarakat, pegiat lingkungan hidup, akademisi, atau lembaga swadaya masyarakat.[11] Pemerintah seharusnya transparan terhadap kebijakan yang sangat berdampak pada masyarakat, khususnya nelayan dan masyarakat pesisir. Kurang keterlibatan nya stakeholder lain khusus nya Pemerintah Daerah (PEMDA) dalam penyusunan PP ini mengakibatkan PP ini sangat tendensius dan justru berpotensi hanya sekadar berorientasi ekonomi dan penerimaan pemerintah pusat, tetapi melupakan pertimbangan ekologi dan kepentingan pemerintah daerah.
Atas latar belakang tersebut maka perlu adanya penelaahan terhadap materi muatan PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut.
II. Praanggapan
Pendapat hukum ini didasarkan pada kualifikasi sebagai berikut:
- Pendapat hukum ini terbatas pada aspek-aspek penting terkait dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut;
- Pendapat hukum ini diberikan berdasarkan hukum Republik Indonesia yang berlaku hingga tanggal diberikannya pendapat ini dan ini sepanjang pengetahuan kami (the best of our knowledge);
- Tidak menutup kemungkinan adanya revisi terhadap PP ini atau perbaikan lain melalui peraturan teknis;
- Tidak menutup kemungkinan adanya kesalahan maupun kekurangan dalam melakukan penelaahan.
III Analisis
   A. Urgensi Perubahan
     Regulasi sedimentasi laut didasarkan pada kebutuhan untuk melindungi dan melestarikan ekosistem laut serta memastikan pengelolaan yang berkelanjutan terhadap sumber daya laut. Beberapa latar belakang yang mendasari pengembangan regulasi sedimentasi laut adalah sebagai berikut:
- Regulasi Sebelumnya Belum Mengatur: Materi Muatan Pasal-Pasal dalam Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut belum mengatur secara menyeluruh mengenai kewajiban pelaku usaha melakukan sedimentasi dan juga material hasil sedimentasi hanya pasir laut yang diatur, padahal di wilayah perairan Indonesia bukan hanya pasir laut yang dapat dimanfaatkan. Dengan wilayah perairan Indonesia yang dalam, Â tentunya masih banyak jenis mineral laut lainnya yang dapat ditemukan dan dapat dimanfaatkan untuk rakyat Indonesia.
- Pelestarian Lingkungan Laut: Ekosistem laut yang sehat dan lestari penting bagi keseimbangan ekologi global. Sedimentasi laut yang berlebihan dapat menyebabkan penurunan kualitas air, merusak ekosistem pesisir, dan mengganggu kehidupan organisme laut. Regulasi sedimentasi laut bertujuan untuk mencegah dan mengendalikan dampak negatif terhadap lingkungan laut serta mempromosikan pelestarian keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem.
- Konservasi Sumber Daya Laut: Laut merupakan sumber daya alam yang penting bagi kehidupan manusia. Sedimentasi yang tidak terkendali dapat menyebabkan penurunan kualitas habitat dan mengganggu ekosistem laut yang mendukung berbagai spesies ikan, moluska, dan organisme laut lainnya. Regulasi sedimentasi laut bertujuan untuk menjaga keberlanjutan sumber daya perikanan dan memastikan ketersediaan pangan laut bagi manusia.
- Kesehatan Masyarakat: Sedimentasi yang berlebihan dapat mempengaruhi kualitas air laut dan mengancam kesehatan manusia. Kontaminan seperti bahan kimia beracun dan patogen dapat terbawa oleh partikel sedimen dan menyebar di perairan, mengancam kesehatan manusia melalui konsumsi makanan laut yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan air yang tercemar. Regulasi sedimentasi laut bertujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat dan menjaga keamanan pangan dari laut.
- Dampak Ekonomi dan Sosial: Laut memiliki peran penting dalam perekonomian dan kehidupan sosial banyak negara. Sedimentasi yang tidak terkendali dapat menyebabkan kerusakan fisik pada infrastruktur pesisir, seperti pelabuhan, pantai, dan fasilitas wisata. Hal ini dapat berdampak negatif terhadap sektor pariwisata, perikanan, transportasi laut, dan aktivitas pesisir lainnya. Regulasi sedimentasi laut bertujuan untuk melindungi investasi ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan sosial di wilayah pesisir.
Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, regulasi sedimentasi laut dikembangkan sebagai upaya untuk mengendalikan dan mengurangi dampak negatif dari aktivitas manusia serta mengelola hasil sedimentasi secara berkelanjutan. Regulasi ini idealnya melibatkan kolaborasi antar pemerintah, lembaga lingkungan, industri, dan masyarakat untuk menjaga keberlanjutan lingkungan laut dan pemanfaatan yang bertanggung jawab terhadap sumber daya laut.
   B. Analisis Pasal-Pasal dalam (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut
- Kurangnya Pendekatan Ekologis
Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (2) berbunyi :
"Pembersihan Hasil Sedimentasi di Laut dan Pemanfaatan Hasil Sedimentasi di Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pasir laut dilakukan melalui pengambilan, pengangkutan, penempatan, penggunaan, dan/atau penjualan Hasil Sedimentasi di Laut."
Pembolehan ekspor ini seolah-olah aturan yang seyogyanya ditujukan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut serta untuk mendukung keterpeliharaan daya dukung ekosistem pesisir dan laut, sehingga meningkatkan kesehatan laut justru membahayakan lingkungan laut. Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa ekspor pasir dapat mengakibatkan beberapa dampak negatif yang perlu diperhatikan, antara lain:
- Kerusakan Ekosistem Pantai: Ekspor pasir yang berlebihan dapat mengganggu keseimbangan alami pantai dan mengakibatkan kerusakan ekosistem pantai. Penurunan pasokan pasir dapat menyebabkan erosi pantai yang lebih cepat, menyebabkan hilangnya habitat penting seperti terumbu karang, hutan bakau, dan tempat berkembangbiaknya hewan-hewan laut. Hal ini dapat mengurangi keanekaragaman hayati dan meningkatkan risiko banjir serta kerusakan infrastruktur pesisir;
- Gangguan Terhadap Hidrologi dan Sungai: Ekspor pasir yang signifikan dari sungai dapat mengganggu aliran air dan menyebabkan perubahan dalam pola hidrologi. Pengangkatan pasir yang berlebihan dapat menyebabkan pendangkalan sungai dan muara, mengurangi kapasitas sungai untuk menampung air selama musim hujan atau banjir. Hal ini dapat meningkatkan risiko banjir dan mengganggu ekosistem air tawar yang tergantung pada kondisi aliran air yang tepat.
- Kerusakan Terumbu Karang: Terumbu karang merupakan ekosistem laut yang sangat sensitif dan rentan terhadap gangguan fisik. Ekspor pasir yang tidak terkontrol dapat merusak terumbu karang dengan cara merusak struktur fisiknya atau mengurangi pasokan pasir yang diperlukan untuk pertumbuhannya. Terumbu karang yang rusak tidak hanya merugikan keanekaragaman hayati, tetapi juga mengancam ekonomi dan pendapatan masyarakat yang bergantung pada pariwisata dan sumber daya kelautan
- Gangguan Pada Ekosistem Laut: Ekspor pasir yang berlebihan dari dasar laut juga dapat mengganggu ekosistem laut. Penurunan pasir di dasar laut dapat merusak habitat dasar laut, mengganggu tempat bertelur dan berkembangbiaknya ikan dan hewan laut lainnya, serta mengurangi ketersediaan sumber daya makanan bagi organisme laut.
- Perubahan Kualitas Air: Ekspor pasir dapat mengganggu kualitas air di perairan terdekat. Pengangkatan pasir dapat meningkatkan kekeruhan air dan mengganggu penetrasi cahaya matahari. Hal ini dapat menghambat fotosintesis pada alga dan tumbuhan laut, serta mempengaruhi kehidupan organisme lain yang bergantung pada cahaya untuk bertahan hidup. Usaha pengerukan sedimentasi pasir laut tidak mungkin dilakukan dalam skala usaha maupun wilayah kerja yang kecil. Bisnis tersebut sangat besar potensinya untuk digarap pada area kerja seluas puluhan kilometer dan berlangsung dalam hitungan tahunan. Kondisi tersebut tentu akan mengganggu habitat dari ikan di laut dan bahkan berdampak negatif terhadap terumbu karang. Penambangan pasir laut tak hanya berdampak pada nelayan, tapi juga pada lingkungan kelautan Indonesia dalam jangka panjang. Kerusakan habitat ikan dikarenakan proses penyedotan pasir laut yang ditambah dengan aktivitas pemuatan pasir ke kapal tongkang, selain itu juga hasil limbah pencucian pasir bisa membuat air laut jadi keruh apabila langsung dibuang ke laut. Dampak negatif dari pengerukan dan penyedotan pasir laut ialah kerusakan ekosistem pesisir. Hal tersebut dikarenakan peran penting yang dipegang pasir laut dalam mencegah abrasi, melindungi mangrove, dan menjaga garis pantai dari banjir maupun intrusi air laut. Penting untuk mengelola ekspor pasir dengan bijaksana melalui regulasi yang ketat dan penilaian dampak lingkungan yang komprehensif. Selain itu, penting juga untuk mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem pesisir dan mengutamakan perlindungan terhadap ekosistem yang rentan, seperti terumbu karang dan habitat penting lainnya.Dari segi yuridis pemerintah sebelumnya sudah melarang total ekspor pasir laut sejak 2003 melalui Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Dalam SK yang ditandatangani Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Sumarno pada 28 Februari 2003 atau saat pemerintahan dipegang Presiden Megawati Soekarnoputri disebutkan alasan pelarangan ekspor untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas.[12] Kerusakan lingkungan yang dimaksud berupa tenggelamnya pulau-pulau kecil, khususnya di sekitar daerah terluar dari batas wilayah Indonesia di Kepulauan Riau sebagai akibat penambangan pasir laut. Alasan lainnya yang disebutkan dalam SK tersebut adalah belum diselesaikannya batas wilayah laut antara Indonesia dan Singapura. Proyek reklamasi di Singapura yang mendapatkan bahan bakunya dari pasir laut perairan Riau pun dikhawatirkan memengaruhi batas wilayah antara kedua negara.[13] "Penghentian ekspor pasir laut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan ditinjau kembali setelah tersusunnya program pencegahan kerusakan terhadap pesisir dan pulau-pulau kecil serta telah adanya penyelesaian penetapan batas wilayah laut antara Indonesia dengan Singapura,"[14] Kerusakan lingkungan yang dimaksud berupa tenggelamnya pulau-pulau kecil, contohnya yang terjadi di sekitar daerah terluar dari batas wilayah Indonesia di Kepulauan Riau sebagai akibat penambangan pasir laut. Lebih lanjut sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) berbunyi: Pengelolahan Hasil Sedimentasi di Laut dikecualikan pada:
- daerah lingkungan kerja, daerah lingkungan kepentingan pelabuhan, dan terminal khusus;
- wilayah izin usaha pertambangan
- alur pelayaran; daN
- zona inti kawasan konservasi kecuali untu kepentingan pengelolaan kawasan konservasi.
Menurut penelaah semua wilayah yang memiliki indikasi penebalan sedimen harus dilakukan pembersihan sedimentasi dilakukan pengeloaan termasuk pada wilayah dengan izin pertambangan. Sedimentasi laut haruslah dikendalikan untuk menghindari dampak negatifnya, oleh karena itu hendaknya pengecualian sebagaimana dalam Pasal 3 ayat (1) huruf (b) tidak dilakukan khususnya di wilayah pertambangan yang sangat memiliki potensi besar terkandung bahan pencemar seperti logam berat, pestisida, atau polutan lainnya. Ketentuan mengecualikan wilayah dengan usaha pertambangan menururut penelaah justru bertentangan dengan konsiderans huruf (b) PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut yang berbunyi:Â
"bahwa perlindungan dan pelestarian lingkungan laut dilakukan untuk mendukung keterpeliharaan daya dukung ekosistem pesisir dan laut sehingga meningkatkan kesehatan laut"
- Pengawasan yang Longgar
Sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2) berbunyi :
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkala paling sedikit 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun atau sewaktu-waktu sesuai kebutuhan.
    Pengawasan yang efektif merupakan salah satu bagian yang paling penting dalam sistem hukum pengawasan dimaksudkan agar mencegah pelanggaran hukum yang mungkin dapat terjadi pengawasan yang baik memungkinkan deteksi dini pelanggaran hukum. Dengan adanya pengawasan yang efektif, pihak yang berwenang dapat memantau aktivitas individu, perusahaan, atau lembaga untuk memastikan kepatuhan terhadap hukum. Ini membantu mencegah terjadinya tindakan kriminal, penyalahgunaan kekuasaan, atau pelanggaran lainnya yang merugikan masyarakat. Pengawasan yang baik juga dapat menghindari penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan bagi ekosistem, masyarakat dan negara. Pengawasan yang baik berperan dalam mempertahankan integritas sistem hukum. Dengan adanya pengawasan yang ketat, korupsi, penyuapan, atau pelanggaran lainnya di dalam implementasi kebijakan ini dapat terdeteksi dan diberantas. Pengawasan yang efektif juga mendorong akuntabilitas tim. Dengan adanya mekanisme pengawasan yang baik, para pejabat publik dan institusi harus bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan mereka. Ini memastikan bahwa tim pemantau, menjalankan tugas dengan integritas dan memastikan bahwa keputusan yang dibuat didasarkan pada pertimbangan yang obyektif dan adil.Secara keseluruhan, pengawasan yang baik adalah bagian integral dari sistem hukum yang berfungsi dengan baik. Ini membantu mencegah pelanggaran hukum, melindungi hak dan kebebasan individu, mendorong akuntabilitas, dan meningkatkan transparansi dalam tindakan pemerintah dan lembaga lainnya. Sejalan dengan teori penegakan hukum Lawrence Friedman menyatakan bahwa hukum terdiri atas tiga komponen, yaitu struktur (legal structure), substansi (legal substance), dan Budaya (legal culture).[15] Lawrence Friedman menempatkan aspek legal structure dalam hal ini termasuk didalam nya adalah pengawasan oleh aparatur penegak hukum menjadi faktor dominan dalam hal keberahsilan penegakan hukum.
     Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengawasan memiliki peran yang sangat penting namun jika berkaca kembali dalam PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut aspek pengawasan sangat belum maksimal diatur dan justru dalam Pasal 22 ayat (2) yang dinyatakan pengawasan dilakukan paling sedikit dua kali dalam 1 satu tahun atau sewaktu-waktu sesuai kebutuhan. Minim nya regulasi dan tidak adanya kepastian hukum bagaimana melakukan pengawasan pengerukan sedimentasi laut yang efektif membuka peluang terjadinya penyalahgunaan, penyelewengan,gratifikasi atau perbuatan melawan hukum lain oleh oknum-oknum tim pemantau/penegak hukum dengan pelaku usaha. Perlu cara yang tegas untuk melakukan pengawasan tersebut. Terkait permasalahan ini juga Komisi IV DPR RI akan menggelar FGD untuk membahas pro kontra aturan PP No 26 Tahun 2023.[16]
- Belum adanya Harmonisasi antar Regulasi
Keterlibatan pemerintah daerah dalam PP ini masih sangat minim yaitu hanya dalam 2 pasal yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (6) tentang tim kajian dan Pasal 10 ayat (4) tentang perizinan. Dan justru absen di bidang pengawasan yang hanya dipercayakan kepada pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 11 yang berbunyi:
Petugas Pemantau adalah petugas Kementerian yang bertugas untuk memastikan lokasi, volume, dan tujuan Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Hal ini justru mengingkari ketentuan dari Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah  yang mengamanatkan agar Urusan pemerintahan konkuren termasuk didalam nya yaitu yang berkenaan dengan kelautan dan perikanan, menjadi kewenangan Daerah dan Lampiran Matriks Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Dimana dalam tabel matriks tersebut secara jelas dinyatakan bahwa urusan Kelautan, Pesisir, Pulau-Pulau Kecil, Perikanan dan Mineral dalam jarak sampai 12 mil menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi (Pemprov). Kurangnya harmonisasi tersebut melanggar ketentuan pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sebagaimana dalam Undang-Undang tersebut secara hierarkis disebutkan dengan jelas PP berada dibawah UU. Oleh karena itu ketentuan yang ada dalam PP harus sejalan dengan peraturan Undang-Undang yang dalam istilah hukum dikenal dengan asas lex superior derogat legi inferiori (peraturan perundang-undangan yang ada di jenjang yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada pada jenjang yang lebih tinggi).[17] Kemudian dari sisi Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan hidup, Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup selanjutnya disingkat RPPLH adalah salah satu aspek paling penting dalam pemanfaatan sumber daya alam karena itu dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-undang 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan hidup dijelaskan bahwa Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan RPPLH. Menurut Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup penyusunan RPPLH harus memperhatikan beberapa diantaranya yaitu keragaman karakter dan fungsi ekologis, kearifan lokal, dan aspirasi masyarakat.
Berbalik belakang jika dilihat dalam PP 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut dalam Pasal 5 ayat (6) yang mengatur tentang Tim Kajian yang pada hakikatnya sama dengan RPPLH, dalam unsur Tim Kajian masyarakat atau pemangku adat  sama sekali tidak dilibatkan. Selain itu ganti kerugian terhadap dampak ekologis yang sangat mungkin terjadi oleh aktivitas pengelolaan hasil sedimentasi oleh pelaku usaha tidak diatur dalam PP ini.
Indonesia merupakan bangsa yang masyarakatnya memiliki keragaman suku, ras, agama dan adat kebiasaan yang tersebar di kota dan di desa. Keragaman itu menjadi suatu kekayaan dan potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dalam kehidupan bermasyarakat, hukum dan masyarakat merupakan dua hal yang yang tidak dapat dipisahkan sehingga tidak adanya pengaturan mengenai hukum adat dalam PP ini menjadi kekosongan hukum. Dengan dilakukan nya sedimentasi yang ada di wilayah yang berkaitan erat dengan masyarakat, maka hendaknya PP memuat hukum adat dalam muatan Pasal nya. Hingga apabila suatu saat terdapat perbedaan pandangan maka para pihak dapat mendapat kepastian hukum.
Dilihat dari aspek ganti kerugian, kerusakan yang mungkin terajadi dari proses pengelolaan lingkungan hidup termasuk dalam perbuatan melawan hukum (Onrechtmatige Daad) suatu ketentuan yang diatur dalam Pasal 1365 Burgerlijk Wetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang banyak terjadi dalam masyarakat.[18] Perbuatan melawan hukum merupakan pelanggaran terhadap hak orang lain yang konsekuensinya harus ditanggung dan diadili secara hukum. Pasal 1365 KUH Perdata menjelaskan, setiap perbuatan melawan hukum, yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian.
Dilihat dari aspek ganti kerugian dalam hukum klaim terdapat suatu "semboyan" (maxim) yang berbunyi restitution in integrum yang berarti bahwa seorang yang menderita kerugian berhak meminta atau menuntut kepada pihak yang mengakibatkan kerugian agar mengembalikannya pada keadaan sebelum kerugian itu terjadi. [19]Jelas pada dasarnya klaim adalah suatu upaya dari pihak yang menderita kerugian untuk mendapat penggantian atas kerugian yang dideritanya. Oleh sebab itu sering disebut klaim adalah obat penyembuh. Melihat pentingnya ganti kerugian, sudah sepantasnya aspek ganti rugi dimuat dalam PP ini untuk menjaga kepastian hukum yang terjadi jika terdapat kerugian yang terjadi terhadap aset daerah, masyarakat maupun ekosistem sehingga dapat menjadi aspek tindakan preventif atau pencegahan dari oknum tertentu yang melakukan tindakan sedimentasi dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan.
- Keterkaitan Badan Kemanan Laut RI (Bakamla)
Berdasarkan Pasal 61 Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, Bakamla bertugas melakukan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan dan yurisdiksi Indonesia. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Bakamla diantaranya berfungsi untuk melaksanakan penjagaan, pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaran hukum. Dengan berlakunya PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut, tentunya terdapat ketentuan hukum yang perlu ditegakan. Sedimentasi menggunakan kapal asing, merujuk pada proses penggunaan kapal asing untuk melaksanakan operasi sedimentasi atau pengendapan material sedimen di perairan tertentu. Proses ini umumnya dilakukan untuk mengurangi pendangkalan atau memperbaiki kondisi navigasi di pelabuhan, sungai, atau area pesisir. Penggunaan kapal asing dalam operasi sedimentasi dapat melibatkan kapal khusus yang dilengkapi dengan peralatan seperti pengeruk atau penghisap sedimen. Kapal semacam itu dapat dipanggil dari negara asing untuk membantu dalam tugas pengendapan dan pengangkutan material sedimen yang terkumpul.
Keterkaitan dengan bakamla yaitu dengan diperkenankan masuknya kapal asing sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) dan anak buah kapal asing (ABK) sebagaimana diatur dalam Pasal 14. Bakamla sebagai instansi penegak hukum harus memastikan penggunaan kapal dan ABK asing untuk operasi sedimentasi harus mematuhi hukum dan regulasi Indonesia, serta memperhatikan aspek lingkungan dan dampaknya terhadap ekosistem perairan. Dengan adanya pihak asing, selain memberikan manfaat investasi juga tidak menutup kemungkinan dapat memberikan ancaman terhadap keamanan dan pertahanan Indonesia.
Oleh sebab itu diperlukan sinergitas aparat penegak hukum, instansi pemerintah setempat, dan tentunya masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh pihak asing. Bakamla harus senantiasa dan terus meningkatkan pemantauan baik menggunakan alat pemantuan maritim atau secara langsung. Hingga saat patroli dilapangan dan apabila ditemui indikasi adanya pelanggaran maka dapat dilakukan penegakan hukum secara cepat dan tepat.
- Simpulan
PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi laut masih banyak menimbulkan kontroversi bahkan di DPR RI. Pendekatan PP yang terkesan profit oriented dengan mengabaikan pendekatan ekologis perlu dirubah. PP ini juga dipandang berpusat kepada pemerintah pusat dan dalam hal ini tekesan mengabaikan peran masyarakat adat dan pemerintah daerah. Selain itu banyaknya dampak negatif sebagaimana di uraikan dalam pembahasan di atas tidak akan terjadi jika regulasi yang ada terkait pengawasan diatur dengan tegas dan apabila penjalanan aturan yang ada dilakukan dengan baik dan memperhatikan kelestarian alam serta pengawasan yang mumpuni khusus nya pemerintah. Maka sedimentasi laut ini dapat memberikan dampak yang positif yaitu memberikan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut untuk mendukung keterpeliharaan daya dukung ekosistem pesisir dan laut sehingga meningkatkan kesehatan laut dan meningkatkan penerimaan negara dan daerah.
- Saran
- Perlu dilakukan pengharmonisasian atas ketentuan pada PP 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut agar agar lebih melibatkan pemerintah daerah dalam pelaksanaan nya melalui peraturan teknis;
- Perlu penegasan aspek pengawasan agar potensi penyelewengan, pelanggaran maupun gratifikasi dapat dihindari
- Pemerintah pusat dalam menyusun PP maupun peraturan teknis selanjutnya perlu lebih memperhatikan asas perlindungan dan pelestarian;
- Pemerintah daerah perlu dilibatkan dalam proses pengawasan;
- Selain PNBP untuk pemerintah pusat, pemerintah juga harus memberikan regulasi untuk retribusi yang diterima oleh pemerintah daerah terhadap kegiatan pengelolaan hasil sedimentasi laut;
- Muatan materi ganti kerugian perlu dimasukkan dalam regulasi agar menjadi efek deterent bagi pihak-pihak yang ingin melakukan pengelolaan sedimentasi dengan cara tidak aman;
- Pemerintah baik daerah maupun pusat dan anggota lain dalam proses sebagai tim kajian harus mengedepankan penggunaan kapal Indonesia dan tenaga lokal bukan asing untuk mendukung perekonomian nasional dan daerah;
- Bakamla dan Stakeholder lain hendaknya memperbanyak intensitas kehadirannya di lautan guna mengawasi, mencegah pelanggaran hukum maupun kedaulatan negara.
 DAFTAR PUSTAKA
[1] Gatot Supramono, Hukum Acara Pidana & Hukum Pidana di Bidang Perikanan, Rineka Cipta, Jakarta, 2011 hlm 1
[2] Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, 2005, Jakarta, hlm.3
[3] http://indrakusumaw.blogspot.co.id/2012/08/pengertian-hukum-dan-seluruh-aspek-hukum.html diakses tanggal 09 Juni 2023