Fenomena di diberbagai daerah di Indonesia, para pebotoh berkeliaran menjelang pilkada. Pejudi Kepala Desa naik kelas menjadi terlibat aktif dalam level Pilkada. Jejak bandar judi dalam pilkada berlangsung berkembang sesuai dengan kondisi tantangan pada lokasi setempat, yaitu embrio botoh berasal dari perjudian pemilihan kepala desa (Pilkades). Pelaksanaan pilkada langsung sejak 2005 dan makin transaksionalnya perilaku pemilih terhadap politik uang membuat kiprah botoh semakin berkembang, sehingga tidak bisa para pebotoh disalahkan sendiri, begitu juga tidak pantas menyalahkan pemilih sebagai pemancing tumbuh kembangnya perjudian.
Fenomena yang berkembang bahwa operasi politik uang semakin gencar dan pemilih semakin berharap untuk diberi materi. Calon mempunyai tim survei untuk menjajaki kecenderungan pemilih, yaitu tim pengawal pemenangan, meskipun pada dasar kegiatannya bukan untuk melakukan politik uang. Mereka bisa menggalang orang-orang terlatih dalam persaingan pemilihan. Perbedaan yang mencolok antara praktisi dan akademisi bahwa jika survei akademik menggunakan data sampling, survei tim botoh menghitung angka nyata pemilih, yang kemungkinan akurasinya lebih tinggi sebab tidak hanya sampling.
Pebotoh yang level tinggi, model bertaruhnya bukan dengan sesama pejudi saja, melainkan dengan calon kepala daerah secara langsung. Botoh menyerahkan dana kepada calon yang setelah dia melakukan survei yaitu yang memiliki peluang menang terkuat atau kepada calon yang sementara kalah tipis, tetapi bisa didongkrak menjadi pemenang. Kalkulasi sang botoh yaitu bila calon itu benar-benar menang, botoh dapat uang dari calon atau timnya dengan besaran dua kali lipat, namun jika calon kalah, uang tadi tidak dikembalikan sebab dianggap kalah dalam perjudian.
Politik uang merupakan hal yang paling banyak dilakukan oleh para penbotoh. Ia berfikir strategis taktis kemenangan yaitu harus mengeluarkan dana lagi dengan politik uang. Para calon kepala daerah diuntungkan karena dapat dukungan tambahan dari tim pemenangan meskipun caranya tidak mendidik. Para calon bekerjasama dengan botoh dan timnya biasanya dengan penugasan untuk menggarap daerah yang dukungannya masih rendah atau masih basis lawan.
Untuk memperbesar keuntungan, botoh juga menggelar perjudian secara horizontal sesama pejudi. Ia terkadang menggerakkan para pejudi murni kelas desa atau kecamatan untuk menggalang pertaruhan di berbagai medan. Saat calon menang, banyak yang tidak bisa membayar botoh secara cash, yang selanjutnya berkembang kompensasi lain, berupa jatah pengerjaan proyek Pemda jika mendapatkan kemenangan.
Botoh bermain amat kecil jika peluang kemenangan kecil juga, misalnya jika hanya diikuti dua pasangan yang berhadapan dengan calon petahana, padahal sang petahana dikalkulasi masih sangat kuat. Bupati petahana ditaksir masih unggul jauh dibanding mantan Wabupnya yang juga mencalonkan diri. Begitu juga ini berlaku bagai daerah yang lebih dua pasangan calon tetapi petahana diprediksi masih unggul. Seandainya ada potensi kejutan, sang botoh berani bermain dan dengan politik uang akan kuat.
Model pejudi Pilkada yang tidak bertransaksi langsung dengan calon, tetapi distimulasi dan dimanfaatkan tim pemenang calon. Hal ini terjadi hampir di berbagai daerah diseluruh Indonesia. Dalam pilkada ulang atas perintah MK, di kawasan yang masih rural, pejudi pilkada bertebaran, sebagian mereka adalah preman kampung yang berani mengeluarkkan politik uang agar taruhannya menang. Caranya mereka diarahkan, dipancing emosi persaingannya, lalu didorong menjagokan calon sesuai dengan arahan tim pemenangan.
Praktek perjudian dalam Pilkada berpotensi besar terjadi di wilayah pinggiran, karena tingkat intelektualitas penduduknya berbeda dari wilayah perkotaan yang terpelajar. Mereka relatif masih mudah untuk dipermainkan para pejudi dan pebotoh yang mengandalkan penawaran materi kepada masyarakat pemilih.
Model pejudi Pilkada di berbagai daerah di Indonesia bukan bagian dari tim pemenangan calon. Ia bergerak sendiri sebagai hobi dan untuk meraih keuntungan. Ia juga menyebar amplop ke warga agar memilih jagonya demi memenangkan taruhan. Aksi ini secara tidak langsung menguntungkan calon. Pembagiannya menjelang H-3 atau H-2 pemungutan suara. Modusnya yaitu menaruh dana kepada orang terpercaya dengan taruhannya masih puluhan juta. Ia juga mengalokasikan dana untuk dibagi-bagikan kepada pemilih secara diam-diam agar mencoblos kandidat yang ia jagokan.
Tukang judi kalah dalam perjudian sudah biasa, tidak menjadi pikiran sebab sebagai hobi, seandainya dipikirin terus bisa menjadikan sakit. Aksi pejudi menguntungkan kandidat, atau seorang calon terbantu kalau ada judi. Saat pilkades, pejudi berani memberi Rp 500.000 hingga Rp. 1000.000 per orang, hal ini karena wilayah desa lebih kecil, yang dibagi sedikit. Untuk pemilihan legilatif, bupati atau presiden, dana politik per orang Rp 30.000 meskipun tidak ada jaminan, orang yang dia kasih uang akan otomatis memilih.
Momentum penyelenggaraan pilkada serentak dapat meminimalkan praktek perjudi. Selama ini, yang bertaruh di suatu provinsi, kabupaten atau kota bukan hanya pejudi lokal, melainkan juga dari daerah tetangga. Pilkada serentak menjadikan perhatian pejudi tidak terkonsentrasi hanya di satu tempat.