pilkada) yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali mencuat ke permukaan. Hal ini terutama setelah Presiden Prabowo mengungkapkan pandangannya mengenai isu ini dalam pidatonya pada acara peringatan HUT Partai Golkar beberapa waktu lalu. Meskipun demikian, wacana tersebut menuai berbagai pro dan kontra, terutama karena pengalaman sejarah yang menunjukkan bahwa upaya untuk mengembalikan pilkada melalui DPRD sering kali berujung pada kegagalan.
Belakangan ini, wacana mengenai pengembalian sistem pemilihan kepala daerah (Upaya pengembalian pilkada yang dipilih oleh DPRD bukanlah hal yang baru dalam sejarah politik Indonesia. Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), wacana serupa sempat mencuat dan mendapat perhatian publik. Saat itu, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan DPR telah berusaha untuk merancang regulasi yang memungkinkan pemilihan kepala daerah dilakukan kembali melalui DPRD, alih-alih menggunakan pemilihan langsung oleh rakyat.
Namun, meskipun ada kesepakatan di antara pihak-pihak terkait untuk mengubah sistem pemilihan kepala daerah, upaya tersebut akhirnya kandas di tengah jalan. Tekanan dari berbagai pihak yang lebih menginginkan pilkada langsung, serta desakan dari kalangan masyarakat dan lembaga-lembaga yang pro terhadap demokrasi langsung, membuat Presiden SBY pada akhirnya tidak mampu melanjutkan rencana tersebut. Sebagai hasilnya, beliau bahkan dicap sebagai Presiden yang tidak demokratis oleh sebagian kalangan karena dianggap mundur dari niat untuk mengembalikan pilkada lewat DPRD.
Pengamat politik, Jajat Nurjaman, menyatakan bahwa upaya untuk mengembalikan pilkada lewat DPRD memerlukan keberanian yang besar dari pemerintah dan DPR. Ia menambahkan, perubahan sistem pilkada bukan hanya tentang perubahan aturan hukum semata, tetapi juga terkait dengan tekanan kuat dari berbagai pihak yang sudah bergantung pada sistem pilkada langsung. Banyak kalangan yang menilai bahwa pemilihan langsung oleh rakyat memberikan hak bagi masyarakat untuk memilih langsung pemimpinnya, sehingga dianggap lebih demokratis.
"Tekanan dari berbagai pihak yang berkepentingan terhadap pilkada langsung sangat kuat. Ada banyak elemen politik dan kelompok kepentingan yang telah terbiasa dengan sistem ini, dan perubahan yang kembali mengarah pada pilkada melalui DPRD tentunya akan sangat menantang," ujar Jajat.
Meskipun demikian, Jajat juga mengingatkan bahwa proses perubahan tersebut tidak hanya tergantung pada kehendak pemerintah dan DPR, tetapi juga pada sikap masyarakat yang semakin kritis terhadap proses demokrasi di Indonesia. Partisipasi rakyat dalam pemilihan kepala daerah yang cenderung menurun, serta ketidakpuasan terhadap kualitas pemimpin yang terpilih, menjadi indikator penting yang perlu dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.
Salah satu alasan utama yang sering dikemukakan untuk mendukung pengembalian pilkada ke DPRD adalah pemborosan anggaran negara yang ditimbulkan oleh pelaksanaan pilkada langsung. Setiap tahunnya, pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan di seluruh Indonesia memerlukan anggaran yang sangat besar, baik untuk penyelenggaraan pemilu maupun untuk kampanye para calon kepala daerah.
Namun, Jajat menilai bahwa alasan pemborosan anggaran saja tidak cukup untuk meyakinkan masyarakat akan perlunya kembali ke pilkada melalui DPRD. Menurutnya, pemerintah dan DPR perlu memberikan argumentasi lain yang lebih solid dan dapat diterima oleh publik, selain hanya sekadar alasan efisiensi anggaran. "Jika alasan pemborosan anggaran dianggap kurang cukup untuk mengembalikan pilkada yang dipilih oleh DPRD, maka pemerintah dan DPR harus menawarkan argumentasi lain yang lebih mendalam dan bisa diterima oleh semua pihak," ujarnya.
Di samping itu, rendahnya tingkat partisipasi pemilih dalam pilkada juga menjadi salah satu hal yang perlu dievaluasi. Menurut survei yang dilakukan berbagai lembaga, tingkat partisipasi masyarakat dalam pilkada cenderung menurun dari tahun ke tahun. Hal ini, menurut Jajat, dapat dijadikan salah satu acuan dalam mempertimbangkan apakah sistem pilkada langsung layak dipertahankan atau tidak di masa depan.
Pilkada Langsung vs. Pilkada Lewat DPRD: Mana yang Lebih Demokratis?
Salah satu argumen utama yang sering dikemukakan oleh pendukung pilkada langsung adalah bahwa sistem ini lebih demokratis karena memberikan hak suara kepada masyarakat untuk memilih pemimpinnya secara langsung. Dalam pilkada langsung, rakyat memiliki kesempatan untuk menentukan kepala daerah yang mereka anggap paling mampu memimpin daerahnya, berdasarkan visi dan misi yang ditawarkan selama kampanye.
Namun, ada pula kalangan yang berpendapat bahwa pilkada langsung tidak selalu menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Mereka berargumen bahwa sistem pemilihan langsung justru lebih sering dimanfaatkan oleh elit politik untuk meraih kekuasaan, tanpa memperhatikan kualitas calon yang dipilih. Selain itu, biaya politik yang tinggi dalam pilkada langsung juga menjadi sorotan, di mana banyak calon kepala daerah yang mengandalkan dukungan dari kelompok-kelompok tertentu, yang sering kali berujung pada praktik politik uang.
Sebaliknya, pilkada melalui DPRD dianggap oleh sebagian pihak sebagai cara yang lebih efisien dan rasional. Dalam sistem ini, pemilihan kepala daerah dilakukan oleh anggota DPRD yang sudah dipilih oleh rakyat melalui pemilu legislatif. Dengan begitu, keputusan pemilihan kepala daerah diharapkan dapat lebih terkontrol dan tidak terpengaruh oleh biaya politik yang tinggi.
Penting untuk mengingat bahwa baik pilkada langsung maupun pilkada melalui DPRD masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu, wacana pengembalian pilkada ke DPRD seharusnya tidak hanya dipandang sebagai langkah mundur, tetapi juga sebagai kesempatan untuk melakukan evaluasi terhadap sistem pilkada yang ada saat ini.
Jika tujuannya adalah untuk memperbaiki kualitas demokrasi dan pemerintahan daerah, maka pemerintah, DPR, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk mencari solusi terbaik. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memperbaiki kualitas pendidikan politik dan partisipasi masyarakat, agar warga negara lebih memahami pentingnya memilih pemimpin yang berkualitas, tanpa terjebak pada isu-isu pragmatis yang sering kali mengarah pada pilkada yang lebih bersifat transaksional.
Wacana mengenai pengembalian pilkada melalui DPRD memang masih mengundang pro dan kontra, namun hal ini harus dijadikan sebagai kesempatan untuk lebih mendalami dan mengevaluasi sistem pemilihan kepala daerah yang ada saat ini. Tidak hanya dengan memperhatikan sisi efisiensi anggaran, tetapi juga dengan mempertimbangkan kualitas demokrasi, partisipasi masyarakat, dan keberlanjutan pemerintahan daerah yang lebih baik.
Sebagai negara demokrasi, Indonesia perlu terus berupaya untuk memperbaiki sistem politiknya. Apakah itu melalui pilkada langsung atau pilkada lewat DPRD, yang terpenting adalah bagaimana memastikan bahwa pemilihan kepala daerah dapat menghasilkan pemimpin yang benar-benar dapat membawa daerahnya menuju kemajuan, serta dapat mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berkeadilan bagi seluruh masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H