Mereka mungkin merasa pengorbanan selama kampanye Pilpres tidak dihargai, dan ini bisa merusak hubungan jangka panjang. PKS, misalnya, telah menjadi sekutu setia Anies sejak Pilkada 2017, dan Nasdem juga telah menginvestasikan banyak sumber daya dalam mendukungnya di Pilpres.
Di sisi lain, PKB, yang baru bergabung dalam koalisi menjelang Pilpres, mungkin masih berharap ada balas jasa dari Anies. Apalagi, dengan kekuatan politik PKB di kalangan Nahdliyin, dukungan dari Anies bisa memperkuat posisi calon yang mereka usung di Pilkada DKI.
Secara politis, Anies berada dalam dilema. Di satu sisi, ada tuntutan moral dan etis untuk membalas dukungan dari partai-partai yang telah mengusungnya.Â
Namun, di sisi lain, Anies harus mempertimbangkan masa depannya sebagai figur politik yang lebih besar. Apakah dukungan terhadap calon gubernur dari partai-partai ini akan menguntungkan Anies secara jangka panjang? Atau justru membawanya pada situasi yang lebih rumit?
Keputusan Anies dalam mendukung calon gubernur di Pilkada DKI akan menjadi sinyal kuat tentang arah politiknya ke depan. Jika ia memilih untuk tidak mendukung calon dari PKS, Nasdem, atau PKB, ini bisa dianggap sebagai langkah pragmatis untuk menjaga fleksibilitas politiknya.Â
Namun, jika ia memutuskan untuk mendukung salah satu calon dari ketiga partai ini, maka hal itu akan memperkuat citra Anies sebagai tokoh yang tahu berterima kasih dan memiliki loyalitas. Ingat Anies Baswedan pernah meninggalkan Prabowo dan Gerindra?.
Pada akhirnya, apakah Anies akan membalas budi kepada PKS, Nasdem, dan PKB masih menjadi tanda tanya. Yang jelas, keputusan ini tidak hanya akan berdampak pada Pilkada DKI, tetapi juga pada perjalanan politik Anies di masa depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI