Mohon tunggu...
Usman Nurhakim
Usman Nurhakim Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Mohammad Natsir Institute of Da'wah

The work was a lot, while the time was a little.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dilema Etika Perempuan Indonesia

21 November 2023   06:38 Diperbarui: 21 November 2023   06:42 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peran perempuan dalam proses pembangunan manusia dan peradabannya tak bisa disangkal, begitu banyak sektor yang perempuan telah ikut andil di dalamnya. Narasi berlatar memperjuangkan hak perempuan sangat menggema di media, bahkan kadangkala terlalu kebablasan sampai lupa ada batas norma budaya-bangsa dan agama. Argumennya berdasar pada gagasan kesetaraan, terkesan membahagiakan, padahal sedang mereduksi identitas keperempuanan. 

Perempuan hadir sebagai "mesin" reproduksi peradaban umat manusia, regenerasi peradaban lahir melalui rahimnya. Tak ayal mengapa yang mulia Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam memberikan aksentuasi lebih tinggi kepada seorang ibu dalam hal mamatuhi perintah orang tua, bahkan sekadar ucapan "ah" pun tak pantas menepi pada pendengaran sang ibu. 

Demikianlah perempuan, lahir untuk melahirkan, dengan itu pula lahir kemulian padanya. Sehingga tidak ada neko-neko bagi seorang anak untuk mencintai ibunya dengan intensitas yang berbeda dari mencintai siapapun. Akan tetapi, dinamisasi kehidupan telah menggiring isu baru tentang peran perempuan, khususnya untuk sektor domestik, domestikasi peran menjadi wacana sentral yang dianggap mendiskreditkan peran perempuan. 

Ide perjuangan ini bukanlah gagasan murni gerakan perempuan Indonesia, tetapi merupakan suatu konversi dari peradaban Barat modern yang telah mengalami pergeseran budaya yang cukup signifikan, dari theosentris (Tuhan sebagai pusat kehidupan) ke anthroposentris (manusia sebagai titik sentral kehidupan), melalui proses ini sekularisasi sistem kehidupan umat manusia menjadi populer. 

Isu memisahkan agama dari kehidupan dunia menggema ketika itu, sekelompok perempuan eropa mulai menuntut kesamaan haknya sebagai manusia. Pasalnya, perempuan eropa telah mengalami penindasan dari kaum lelaki, fatwa-fatwa gereja dipandang terlalu diskriminatif terhadap perempuan. Karena itu, menurut mereka, agama tidak akan mampu menyelesaikan problem kesetaraan gender.

Sehingga perlu adanya gerakan eksentrik yang mendobrak norma agama, asal setara agama tak perlu dibawa. Namun demikian, menyalahi nilai agama dan fitrah itu tak akan pernah membahagiakan. Karena inti kebahagiaan adalah hadirnya ketenangan, ketenangan hidup hanya akan dicapai bila senantiasa berada pada jalur fitrah yang telah digariskan oleh Sang Pencipta. 

Persoalan pelik perempuan di Barat bukan parameter untuk mengukur kesejahteraan perempuan Indonesia. Barat memiliki budaya, Indonesia pun juga, dan memiliki norma yang berbeda. Penindasan terhadap perempuan di eropa tidak dialami oleh perempuan di Indonesia, sehingga tidak kompatibel untuk menerapkan kesetaraan gender di Indonesia, karena adanya perbedaan nilai budaya. Apakah benar perempuan Indonesia diperlakukan diskriminatif? Rasanya tidak, banyak perempuan kita yang berperan dibidang akademik, pada wilayah pertanian dan juga kesenian. Wallahu'alam bish-shawab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun