"Kamu diam."
Mardalih tertunduk. "Begitu Bu yah. Tadinya saya bermaksud ingin memperistri Andira. Kami bukan remaja lagi sehingga menurut hemat saya tidak perlu berlama-lama kami menjalin hubungan. Selain, saya diminta segera menikah agar tidak dilangkahi adik saya yang akan segera menikah."
"Itu urusan kamu. Andira sudah ada calonnya, tinggal menunggu waktu yang tepat untuk dipertemukan. Ayah calonnya masih di luar negeri. Mungkin dalam waktu dekat akan pulang."
Mardalih terdiam.
"Ibu, kok aku tidak tahu." Andira mencetus.
"Nanti juga tahu. Orang tua akan mencarikan jodoh terbaik bagai anak kesayangannya. Kamu tenang saja."
"Ada-ada saja ibu ini." Andira terbawa emosi.
"Aku tidak melarang kalian berteman, tapi cukup berteman, bukan pacar, apalagi calon suami."
"Baiklah Bu." Bicara Mardalih lirih.
Suasana tidak kondusif, Mardalih memilih pamit. Kesedihan menghiasi wajah Andira. Mardalih kemudian menyadari bahwa ibu Andira berteman dengan ibu Maemunah, stap tata usaha di sekolahnya. Apa-apa yang diketahui ibu Maemunah tentang dirinya tersampaikan kepada ibu Andira.
***