Mohon tunggu...
🍀 Usi Saba 🍀
🍀 Usi Saba 🍀 Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

🎀 Menolak Tenar 🎀

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pentingnya Komunikasi Orangtua & Guru

5 Juli 2016   05:07 Diperbarui: 5 Juli 2016   07:18 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
middlegradeteacher.blogspot.com

Masih tentang Kriminalisasi Guru, karena saya masih memiliki unek-unek soal ini.

Bisa dibilang saya tetap membela Guru yang dikriminalisasikan/dipolisikan walaupun dalam hal ini saya tidak menyetujui tindakan mencubit mereka pada murid tapi terus terang melihat beban guru di Indonesia, saya bisa memaklumi mengapa sampai ada guru yang emosional begitu.  Ya, situasi guru di Indonesia yang saya tahu itu lumayan berat bebannya secara fisik maupun mental. Kalau anda tidak benar-benar berjiwa pendidik yang ikhlas, saya pastikan anda akan lebih emosional daripada guru yang mencubit itu. 

Sekolah negeri di Indonesia umumnya isi satu kelasnya melebihi 20 orang, di kampung saya dulu satu kelas 40-50 siswa. Tidak main-main.   Ya, setiap anak itu punya karakter masing-masing, setiap anak butuh pemahaman tersendiri, setiap anak punya intelegensia sendiri-sendiri. Konon, cara mengajar tiap anak harus dibedakan berdasarkan jenis intelegensia yang mereka miliki sehingga pelajaran bisa masuk dengan mudah, menangani siswa juga mudah bila kita memahami jenis intelegensia yang mereka miliki dan karakter mereka masing2.

Tak heran di tempat-tempat Bimbel yang saya tahu ada yang memberlakukan psikotes sebelum anak mendapatkan bimbingan belajar dari para tutornya demi memahami karakter dan jenis intelegensia yang dimiliki si anak.  Nah, bagaimana dengan murid2 sekolah negeri dan sekolah2 swasta kita? Apakah ada tes sejenis? Kalau tak ada, bagaimana guru-guru itu bisa tahu kalau si anak perlu diperlakukan begini dan begitu?.  Yang dihadapi dan harus difahami guru ini bukan satu dua orang, tapi puluhan murid. Guru itu bukan tukang sulap macam Deddy Corbuzier yang bisa membaca isi kepala tiap anak. 

Seharusnya salah satu jalannya adalah ORANG TUA SENDIRI yang menyampaikan tentang keadaan si anak pada sekolah khususnya guru yang akan mengajar mereka.  Sampaikan kalau anak saya begini, begini, begini.  Sehingga sang guru sudah punya bekal khusus untuk menghadapi anak kita. Kalau guru masih menggunakan cara yang membahayakan maka saat itulah kita sebagai orang tua bisa mengkomunikasikannya dengan sekolah dan guru.

Tapi kalau kita sebagai orang tua, tak ada waktu untuk mengomunikasikan kondisi anak kita untuk meringankan beban guru-guru itu, jangan heran juga kalau sampai ada guru yang menangani anak itu dengan caranya sendiri. Makanya orang tua saya dulu nyuruhnya untuk hormat dan patuh aja sama guru karena mereka gak ada waktu buat komunikasi-komunikasian sama sekolah dan guru, bisa sekolah saja sudah bersyukur. Sekolah aja nak yang bener, bapak dan ibu cari isi perut agar kamu hidup, mungkin begitu dipikirnya.  Tak ada peribahasa orangtua mendiskusikan kemajuan anak, konseling ini dan itu. Sudah serahkan saja sama sekolah terserah anaknya mau diapain karena orang tua gak ada waktu buat ngurusin hal-hal seperti itu.  

Komunikasi sekolah/guru dan orang tua tentang anak didik jangan terjadi hanya ketika anak harus membayar iuran, jangan hanya saat mengambil rapot. Kalau kita sebagai orang tua peduli banget sama anaknya, jangan lepas tangan, jalin komunikasi berkala dengan sekolah dan guru. Dengan komunikasi tersebut saya yakin masalah pelaporan ke polisi ini akan terhindarkan.  Dengan komunikasi intens ini juga akan membuat kedua belah pihak saling kenal. 

Guru mencubit dan orang tua main lapor polisi secara tiba-tiba jelas itu seperti kelakuan sesama orang asing yang baru kenal di jalanan. Padahal anak sebagai jembatan antara orang tua dan sekolah harusnya jadi jembatan agar hal-hal itu bisa dihindari.  

Orang tua jangan hanya berpegang pada HAK AZASI MANUSIA anak tanpa menimbang keterlibatannya dalam pendidikan si anak. Lagian kalau boleh berterus-terang, kita ini mengikuti aturan di negara Barat soal HAM anak tapi apakah kondisi di sekolah-sekolah kita itu sudah sama dengan di sekolah-sekolah di negara-negara maju?.   Berapa banyak anak satu kelas di negara-negara barat? bagaimana kondisi kelasnya? Samakah beban guru-guru di kita dengan mereka?  Samakah tingkat kesejahteraannya? Tak sama.  Kalau boleh berpendapat juga, yang saya lihat anak-anak di Amerika sini kurang respek sama orang-orang tua dan guru.  Saya menyaksikan sendiri bagaimana anak SD meminta gurunya mengambilkan sesuatu buat dia.  Saya melihat sendiri bagaimana anak tak segan-segan meminta orang tuanya melakukan sesuatu buat mereka, yang  pantang akan saya lakukan sama orang tua dan guru di Indonesia. Saya sampai terhenyak melihatnya.  Kata suami, itu karena longgarnya aturan bagi anak-anak zaman sekarang. Kalau keras sedikit, bisa2 orang tuanya yang celaka.  Bagus sekali, orang tua bisa dijebloskan ke penjara cuma karena anak tidak suka cara orang tua mendisiplinkannya.  

Dulu, kata suami, di Amerika juga biasa orang tua melakukan hukuman fisik kalau anak gak nurut, guru pun begitu. Yang dialaminya dulu, ibunya tidak banyak omong ketika dia tidak membuang sampah padahal itu tugasnya. Ibunya tidak banyak omong, ambil aja gagang sapu dan pukul pantatnya. Sejak saat itu katanya dia membuang sampah tanpa disuruh-surah lagi. Sekarang mana boleh begitu. Anak dipukul bisa lari sama  HAM. 

Satu hal yang harus diingat, HAM anak di negara barat itu bukan hanya bisa memakan guru tapi orang tua, penjaga anak, dan semua orang serta institusi yang menangani pengasuhan dan pendidikan anak dimana anak itu bernaung.   Kita jangan hanya bisa membawa-bawa guru, menyeret-nyeret guru yang hanya berinteraksi dengan siswa beberapa jam sehari saja, tapi tanya bagaimana peran kita sendiri? Sudahkah kita menegakkan HAM bagi anak kita? Sudah siapkah kita dimakan HAM anak ketika kita berbuat salah pada anak?  

Jangan karena pekerjaan kita lebih hebat dari guru lalu main lapor, main polisi, tanya diri sendiri, tanya anak kita kenapa guru itu sampai mencubit kamu?. Andai guru yang mencubit itu orang kaya,  keluarganya pejabat, apakah masih mau main polisi-polisian?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun