Mohon tunggu...
🍀 Usi Saba 🍀
🍀 Usi Saba 🍀 Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

🎀 Menolak Tenar 🎀

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pengalaman Menikahi Pria Down Syndrome

22 Maret 2016   07:28 Diperbarui: 22 Maret 2016   13:16 3084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi : noadhsdad.com"][/caption]Oke, ceritanya saat itu orang tua saya terlilit utang rentenir, maka saya pun judulnya mau meringankan beban mereka dengan cara apa saja yang penting halal. Apapun itu yang penting jadi duit. Maka ketika ada orang yang biasa menjadi perantara orang Arab untuk menemukan wanita Indonesia untuk dijadikan istri atau pembantu yang saat itu menawarkan saya untuk menikah dengan seorang pria Arab tapi mengidap down syndrome, saya mau aja.

Fawaz, Seorang bapak-bapak berusia kira-kira 50 tahunan saat itu yang merupakan Kakak dari si penderita down syndrome-lah yang datang ke Indonesia dan mencarikan calon istri buat adiknya yang down syndrome itu, sebut saja namanya Adil. Adil ini berusia 26 tahun tapi karena menderita DS maka perilakunya seperti anak usia tahunan, buka baju dimana saja, mau apa-apa dimana saja seenak-enak dan semau-mau dia.

Karena dia sudah akil balig dan menurut mereka diperlukan Muhrim/pasangan halal yang bisa merawatnya, maka dicarikanlah seorang istri buatnya karena konon katanya kalau pembantu yang mengurusnya maka hal itu haram sifatnya karena mereka tidak terikat perkawinan. Ketika itu saya dijanjikan akan diberikan gaji sebesar gaji pembantu saat itu (sekitar tahun 2002-2004, saya kurang ingat betul tahunnya karena sudah lama) yaitu sebesar 600 Riyal. Uang sebesar itu saat itu bagi saya akan sangat membantu orang tua saya.

Maka saya pun menikah secara LDR wkwkwkwk. Iya, menikah Gaib ceritanya. Karena salah satu pasangan tidak ada. Saya dinikahkan Kakaknya di Indonesia kemudian saya menyusul ke Saudi Arabia beberapa minggu kemudian. Mereka menggunakan visa Pembantu untuk mengambil saya saat itu. Jadi prosesnya ya di penampungan seperti pembantu/TKW lainnya.

Saya dijemput di bandara Riyadh oleh Kakaknya tersebut bersama ibunya. Adil tidak ikut. Kami kemudian berkendara ke Gaseem sekitar tiga jam kalau tidak salah. Kami tiba malam hari. Saya terperangah saat itu ketika melihat besarnya rumah mereka dengan mobil-mobil berjejer ada 4 buah.  Kelak saya hitung pintu di rumah itu outdoor dan indoor ada sekitar 35 buah. Rumah tiga tingkat dengan jumlah ruangan entah berapa dan kamar mandi 5. Saat itu saya terbengong-bengong melihat rumah gede begitu.

Saya disambut adik-adik wanita Adil yang berdandan dan bergaun bagus-bagus. Tak lupa Adilnya sendiri. Ketika pertama kalinya saya melihat si Adil ini, air mata saya menitik karena sudah kelihatan kentara sekali kalau dia menderita DS dimulai dari tatapan matanya, bentuk kepala, rambut, serta air liur yang selalu menetes dari bibirnya plus ukuran tubuh yang tidak proporsional seperti pria normal lainnya.

Saya mengurus Adil sebisa saya. Memandikannya, menyuapinya, bermain dengannya. Tidak mudah apalagi bicara Adil tidak bisa saya mengerti, kata-katanya tidak jelas bagi saya. Tapi demi uang saya mau menjalaninya hingga satu bulan sudah masanya tiba. Saatnya saya harus menerima uang itu.  Maka saya pun meminta hak saya. Tapi ternyata si Fawaz, kakak si Adil ini pas diminta uang sama saya dia bilang, dia tidak akan memberikannya karena dia merasa tidak menjanjikannya. Karena menurutnya saya adalah istri Adil maka sudah seharusnya saya mengurusnya tanpa bayaran. Saya muntab, maka saya pun menelpon orang Indonesia yang dulu mengenalkan saya padanya. Dia bilang Fawaz memang menjanjikan uang itu. Yang terjadi kemudian mereka sepertinya saling tuding tentang kesalah fahaman soal uang ini.

Saya yang butuh duit, tidak bisa main-main begini. Maka saya memutuskan untuk pulang. Saya minta dipulangkan saja. Ibu si Adil yang sudah sepuh kelihatannya berat hati melepaskan saya tapi bukan saya tega, saya sendiri benar-benar butuh uang, saya bukan pekerja sosial yang kebanyakan uang dan waktu sehingga mau mengurus anak orang secara cuma-cuma. Setelah perundingan gagal dan saya tetap mau pulang, akhirnya si Fawaz membelikan saya tiket pulang tapi entah atas perintah siapa, barang-barang saya sebelum pulang digeladah, tas saya yang sudah saya kemas rapi digeladah sama adik-adik perempuan si Adil ini.

Saya tersinggung, maka saya keluarkan semua isi tas saya, saya lepaskan perhiasan yang diberikan ibu si Adil saat pertama kali saya datang, dan saya tinggalkan rumah itu dengan hanya baju di badan saya. Saya fikir mereka mencurigai saya mencuri sesuatu, tapi mereka salah, sebutuh apa pun saya, tapi maaf-maaf saja kalau saya harus mencuri. Ketika saya bertemu TKW lainnya di bandara, ternyata bukan saya saja yang diperlakukan seperti itu, ada beberapa diantara mereka juga yang sebelum pulang tasnya digeladah... wkwkwkwk... kalau di Amerika itu bisa dilaporin polisi dengan tuduhan pelanggaran privasi. 

Kini setelah beberapa tahun berlalu, saya kembali dipertemukan dengan anak-anak macam Adil di Amerika sini. Ada dua keponakan saya dari suami yang mengalami down syndrome ini. Ketika melihat mereka, apalagi melihat salah satu diantara mereka yang kondisinya sangat parah, dia tidak bisa melakukan apa-apa sama sekali termasuk berjalan, dia kemana-mana harus pergi diantar dengan kursi roda. Sebuah kondisi yang memerlukan tenaga dan kesabaran super hebat bagi yang mengurusnya.  Konon katanya dulu dia lahir super premature. Kini dia berusia sekitar 40 tahunan dan dibawah pengurusan sang ayah. 

Kepada semua penderita down syndrome dan semua yang mengurus mereka, semoga kalian diberikan kesehatan, kekuatan, dan kesabaran terus menerus. Hanya orang-orang terpilih yang bisa melalui kondisi sulit begitu. Take care and love them until the end.

***

Cerita ini dulu pernah saya tulis ketika saya gabung di Kompasiana pertamakalinya tapi kemudian saya hapus saat itu semua postingan saya karena dipikir saya nggak bakal balik lagi ke Kompasiana tapi ternyata here i am, i am addicted to it... wkwkwkwkk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun