Ini dua pengalaman yang terjadi dalam waktu yang sama.
Makan di Fine Dining (1) di hari Thanksgiving (2).
Tahun2 ke belakangnya biasanya kita dinner Thanksgiving di rumah salah satu anggota keluarga suami. Kini di sebuah restoran yang mereka sebut Fine Dining itu. Harusnya di rumah kita tapi karena sesuatu hal maka diadakanlah dinner itu di restoran. Suami sudah wanti-wanti kepada saya untuk memakai baju macam gaun begitu, dandan, sepatu yang bagus, pokoknya serasa disuruh berpakaian ke pesta deh.
Saya yang tidak suka gaun dan tetek bengeknya gak nurut. Saya bawa sih baju blus mirip gaun begitu tapi untuk sepatunya? Nggak. Saya biasa pakai sepatu kets kemana2, tinggal blubus, aman deh. Kaki dan jari2 gak bakal sakit.
Hari H tiba.
Semua orang memakai baju resmi. Saya pun memakai baju saya. Karena baju saya itu selutut, dan udara dingin, maka saya pakai legging. Eh tapi kaki dingin. Saya cari2 kaos kaki saya. Eh nggak ada. Aduh, saya gak kuat dingin. Saya butuh kaos kaki hitam agar sama dengan warna leggingnya. Kata suami, pakai stocking. Gak bawa kata saya. Lalu saya pakai saja kaos kaki suami yang warna hitam. Kaos kaki lelaki. Dia lalu melihat saya dari atas sampai bawah dan geleng2 kepala.
"Kamu ini mau kemana?" wajahnya sedih.
Bukannya menjawab, saya malah bertanya bagaimana kalau saya memakai sweater turtle neck aja dengan celana panjang, lebih rileks kata saya. Tentu saja dia bilang tidak. Katanya semua orang berpakaian resmi di hari itu dan di restoran begitu. Dalam hati saya merasa heran, kenapa sih acara makan saja dibikin sulit?. Makan ya makan aja, kenapa bajunya juga harus resmi dan bagus2?. Saya tidak mengerti.
Apakah kalau kita memakai baju kasual ke restoran begitu kita bakal dikeluarkan? Ah, serasa benar dijajah oleh aturan. Anehnya, orang2 minta dijajah dan rela bayar bahkan rela antri berbulan2 agar bisa dijajah. Ya, kami melakukan reservasi untuk makan disitu dua bulan sebelumnya. Karena banyaknya orang yang mau makan disitu bahkan jamnya saja ditentukan.
Kami datang beberapa menit lebih awal saja tidak disuruh duduk dulu di meja. Nawarinnya duduk di area bar atau di lobby dulu. Edan ini restoran apaan? Di lobby itu bukan cuma kita yang baris. Banyak banget ternyata yang mau dijajah biarpun bayar mahal. Kayak mau dibagi Bantuan Langsung Tunai aja, cuma ini gak dibatasi sama tali rafia seperti di kantor pos di kampung saya.
Akhirnya kita keluar kamar hotel. Suami gaya dengan sepatu mengkilap, jas dan celana rapi. Saya? Rambut gak sisiran, gak bedakan, lipstick dikit, baju blus selutut disambung legging dan sepatu kets. Kaos kaki hitam garis2 dapat dilihat dengan jelas menampakan diri dari balik sepatu itu. Melenggang ke lobby hotel dengan pede dibarengi wajah sedih suami yang tidak berdaya menghadapi istrinya. Istrinya yang tidak mau dikasih tahu untuk berbaju dengan benar.
Kepedean saya berubah drastis ketika kami keluar dari mobil di tempat parkir restoran itu. Semua orang memakai baju resmi dengan dandanan rapi. Saya nyengir tapi dengan berat hati tetap melangkah mengikuti suami. Pas menunggu di lobby saya memperhatikan lebih banyak orang lagi yang berdandan seperti hendak mau ke pesta.
Saya menunduk sambil melihat sepatu2 mereka. Wanita rata2 memakai sepatu berhak tinggi, stocking dan dress yang rapi serta mempesona. Para prianya berjas, sebagian berdasi, dengan sepatu mengkilap. Tamu dan pelayan hampir mirip cuma pelayan dikasih ciri; ada celemek hitam yang ditalikan di pinggangnya. Saya ingin sekali memasukan kepala saya ke pot bunga di ujung ruangan ketika melihat sepatu kets saya, kaos kaki saya, dan legging saya. Tak ada orang yang berdandan seperti saya. Saya jadi kasihan sama suami saya yang harus rela membawa istri seperti saya ke restoran ini. Maafkan saya, ujar saya dalam hati... wkwkwkwkwk.
Tibalah saatnya duduk di meja yang sudah disediakan. Di meja itu sudah tertata gelas beberapa biji yang beda ukuran plus sendok, garpu yang ukurannya juga berbeda. Salah satu sodara suami menjelaskan fungsi2 alat2 makan itu yang tidak saya dengarkan. Saya gak peduli soal sendok garpu ini. Mana sajalah yang dipakai, enaknya aja, batin saya.... wkwkwkwk.
Pelayan datang menyajikan air minum dengan gerakan tangan yang teratur. Saya mau ketawa. Ya Tuhan, bahkan cara menurunkan air dari botol ke gelas saja ada aturannya. Padahal itu air ujung2nya masuk ke tenggorokan. Tak ada perbedaan nasib bagi air yang dikucurkan dengan seni atau sembarangan.
Saat makan, mereka setuju untuk memesan makan makanan yang sama; daging kalkun dan tetek bengeknya. Saya sebenarnya mau steak saja. Kemana2 saya kalau diajak makan pasti pesennya steak sapi. Kesukaan saya. Daging sapi yang mahal di kampung saya, yang jarang saya dapatkan selain hari Idul Adha, itu pun kalau ada yang kurban sapi.
Tapi kata suami udah pesen yang sama aja biar pelayannya gak pusing. What? Sudah harus bayar mahal, masih harus memikirkan apakah pelayan bakal pusing atau tidak dengan pesanan kita? Bukankah seharusnya tambah mahal tambah seenaknya kita mau pesen apaan? Peduli amat sama pelayan yang bakal pusing. Biasanya saya akan berdebat dengan suami kalau saya tidak setuju tentang sesuatu tapi kali ini saya harus bersikap sebagai istri yang soleh di depan keluarganya. Saya pun mengangguk dengan tenggorokan tertahan. Kuciwa. Gagal makan steak.
Setelah menghabiskan appetizer, beberapa waktu kemudian main menu; makanan seragam datang. Cantik sekali tampilannya. Kalkun iris yang dihiasi dengan gravy, mashed potato & mashed sweet potato yang dibentuk bunga ros, sayuran yang diiris dengan hati2 dan dalam bentuk yang tidak biasa, terus masih ada beberapa onggok makanan yang tidak saya kenali namanya. Saya pun menancapkan garpu ke irisan kalkun itu dan memasukannya ke mulut. Hhhmmmhhh... biasa saja, tak ada sensasi yang membuat saya mau bilang "waaah enaaaknya".
Kemudian saya coba yang lainnya, sama aja. Nothing special. Masih enak bakwan buatan Ceu Ipah di kampung saya. Saya hanya memakan makanan itu beberapa sendok dan selesai.
Saya marah sekali sama suami karena tidak mengizinkan memesan steak. Ketika makanan penutup datang, saya fikir, rasa kecewa saya akan terobati. Saya pesan Pumpkin Pie. Saya fikir bakal beda rasanya kalau di resto beginian. Pas dicobain, eeehhh ternyata biasa aja. Kecewa dobel. Keluar dari restoran mahal dengan perut masih lapar. Waktunya bayar, biasanya kita sendiri yang menentukan tipsnya yang kisaran 15-20%. Tapi karena kita makan banyakan, maka tipsnya Kasir sendiri yang menentukan; harus 20% atau lebih.
Sesampainya di hotel saya masak Indomie rebus. Sialnya itu kompor di hotel juga sepertinya berkonspirasi dengan Chef di restoran mahal itu; mau mengecewakan saya. Kompornya nyalanya dikit banget, gak bisa digedein. Alhasil, Indomie rebus saya jadi kayak direndem air hangat aja; bengkak tapi gak matang bener. Hadeuh. Parahnya, karena lapar, terpaksa saya harus menelannya karena gak ada pilihan lain. Hotel itu restorannya tutup. Dengan marah saya menjejalkan Indomie rebus itu kedalam mulut saya.
Sebuah penyerahan diri untuk dijajah yang harus dibayar dengan mahal. Apa salah saya coba?
Catatan:
*Restoran itu usianya ratusan tahun dengan positive review mencapai ratusan. Saya yakin semua yang kasih review belum pernah merasakan enaknya Semur Ayam plus sambal hijau dan lalapannya di restoran Padang di kota saya.
* Kalau temen2 diundang makan ke Thanksgiving dinner, fikirkan kalau temen2 akan ke sebuah pesta.
gambar: tripadvisor.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H