Mohon tunggu...
Usi Sanusi
Usi Sanusi Mohon Tunggu... -

sedikit cuek, calm, friendly, dan suka guyon,mudah bergaul dan fleksibel dengan siapa saja..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memaknai Arti Mudik di Hari Lebaran

25 Agustus 2011   13:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:28 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mudik, berasal dari kata Udik (bhs; Betawi) yang artinya; desa, dusun, atau tempat terpencil. Penggunaan kata ini dimulai, dikarenakan pada saat itu begitu banyaknya orang-orang dari Jawa yang pergi mencari nafkah ke Jakarta. Mereka datang dari berbagai daerah di pulau Jawa dan akhirnya menetap di Ibukota kita itu. Pergi Mudik atau pulang mudik dalam kontek ini memiliki arti yang sama yaitu, pulang ke desa setelah beberapa lama tinggal di kota atau di tempat lain. Mulai kapankah mudik itu kemudian menjadi tradisi? barangkali kita tidak tahu pasti. Sama tidak tahunya ketika kita di tanya; Mengapa tradisi mudik harus di laksanakan di hari lebaran.

Ketika bulan puasa sudah mendekati saat saat akhir, mulai dari H minus tujuh atau sepuluh hari sebelumnya, maka istilah mudik sudah menjadi ajang tahunan yang serempak, dari mulai para pegawai kecil sampai para pejabat. Dari mulai mereka yang tinggal di perumahan mewah sampai kepada mereka yang tinggal di kolong jembatan. Sudah sejak dini mereka mempersiapkan segala macam tetek bengek yang nanti akan di bawa serta ke kampungnya. Memang sudah adat istiadat orang Jawa, untuk selalu menjalin tali kekerabatan dan mengunjungi sanak keluarga. Memang sudah adat istiadat orang Jawa, untuk selalu menjalin tali kekerabatan dan mengunjungi sanak keluarga. Ada semboyan mereka yang terkenal itu, "makan gak makan yang penting kumpul".

Secara filosofis, kata udik ini juga memiliki arti hulu sungai, yaitu tempat kembalinya air dari berbagai macam arah berkumpul menjadi satu pada wadah nya semula. Karena menurut kepercayaan yg sekarang masih di pegang oleh orang-orang jawa bahwa; sejauh apapun mereka pergi, pada saatnya mereka harus kembali demi menunjukkan bakti nya kepada orang tua mereka pada apa yang telah mereka dapat di negeri orang (kota). Hal ini juga menunjukkan salah satu dari penghormatan mereka kepada tanah kelahiran yang telah membesarkannya.

Fenomena mudik sebenarnya bukan hal yg jelek, justru saya merasa bangga kepada mereka yang sudah berpa yah payah ngantri tiket bus,dan kereta bahkan pesawat terbang, bahkan beberapa diantaranya sampai merelakan diri tidur di terminal hanya untuk bisa kembali ke kampung halamannya. Walaupun makna mudik itu sendiri sekarang sudah mulai bergeser dari makna awalnya.Tidak jarang mudik bagi sebagian orang sekedar dimaknai sebagai ajang pamer keberhasilan, dan kejayaan selama hidup di negeri rantau.

Alasan apa yang menyebabkan seseorang ingin mudik? Setidaknya ada dua faktor. Pertama, secara psikologis, manusia cenderung ingin kembali ke asalnya. Bersua bersama keluarga, sanak saudara, rekan muda, kolega, dan teman-teman lama. Jika dikaitkan dengan rutinitas sehari-hari, mudik bisa menjadi istirahat sejenak bagi mereka yang telah melakukan pengembaraan atau perantauan di kota. Badan juga butuh istirahat. Saat ini mudik juga sekaligus digunakan untuk berwisata mengistirahatkan dari kesibukan sehari-hari. Mudik berposisi sebagai jeda atas keletihan menjalani rutinitas kehidupan kota yang hampir tanpa koma.

Kedua, mudik menjadi panggilan diri untuk bersilaturahmi dan berinteraksi. Mudik menjadi legitimasi manusia dalam hubungan horizontalnya (antar manusia sesama manusia). Mudik juga digunakan untuk menunjukkan eksistensi diri. Penampilan yang menarik dengan segala pernik-perniknya kerap menyelimuti hiruk pikuk kepulangan para pemudik. Mereka ingin tampil wah di kampungnya. Ingin menaikkan stratifikasi sosial dan seterusnya.

Di sinilah mudik juga memiliki makna pemerataan. Uang yang menumpuk di kota-kota akan terbagi ke kampung. Ini suatu kesempatan bagi orang-orang desa untuk menerima uang dari kota. Hanya saja, yang kerap terjadi adalah mudik acap dijadikan sebagai ajang pamer kesuksesan, keberhasilan, dan kekayaan secara berlebihan. Kesombongan diri beserta sifat keakuan seolah-olah menjadi penyakit akut para perantauan, sehingga bisa menimbulkan distingsi-distingsi tertentu di masyarakat. Ini tentu lebih banyak menimbulkan aspek-aspek mubazir daripada keuntungannya.

Akan tetapi, selama persaingan itu masih dalam batas yg wajar, mungkin syah syah saja. sebab sedikit atau banyak hal itu juga menjadi salah satu pemicu atau stimulant bagi kawan kawan yang lain, yang menganggap keberhasilan dari negeri orang hanyalah sebatas mimpi. Atau setidaknya menjadi salah satu warning yang akan menggugah mereka yang sebenarnya punya potensi yang tidak bisa di kembangkan di desa nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun