Setelah Indonesia merdeka pada Tahun 1945 banyak sekali PR yang harus selesaikan, salah satunya adalah bagaimana mengalihkan status dan membayar ganti rugi perusahaan-perusahaan peninggalan Belanda. Pengambil alihan milik asing di Indonesia secara hukum telah diatur dalam Onteigeningsordonanntie (Peraturan Penyitaan Hak Milik), dimana perusahaan swasta yang mengelola kepentingan umum harus diambil alih oleh negara.
Dalam KMB, pemerintah indonesia telah mengambil alih perusahaan-perusahaan peninggalan Belanda, contohnya adalah PLN (Perusahaan Listrik Negara), De Javasche Bank (DJB) menjadi Bank Indonesia (BI), Perusahan Kereta Api Belanda yang dilebur menjadi Djawatan Kereta Api (DKA), yang kemudian berkembang menjadi PJKA, PERUMKA dan saat ini PT KAI.
Bukti kepemilikan lahan pada era kolonial adalah grondkaart. Grondkaart tersebut berisikan gambar penampang lahan yang dibuat untuk menunjukan objek lahan dengan batas-batas yang tertera diatasnya.
Dasar Hukum Grondkaart
Grondkaart ini memiliki kekuatan hukum karena dibuat dengan dasar surat keputusan oleh kepala pemerintahan (besluit van gouverneur generaal), selain itu grondkaart dibuat atau direvisi dengan surat ketetapan (beschikking) pejabat yang berwenang setingkat direktur dalam birokrasi pemerintahan kolonial (kepada departemen). Dalam pembuatan grondkaart tersebut telah disetujui oleh wakil BPN era kolonial (Kadaster) dan juru ukur tanah (landmeter). Dalam pembuatan alas hak berupa grondkaart ini sering dilengkapi dengan bukti pengalihan Hak dari pemilik lama jika sebelumnya tanah tersebut dikuasai/diokupansi oleh pihak lain dan dialihkan statusnya menjadi tanah pemerintah atau tanah negara.
Dari dasar hukum diatas sudah jelas bahwa grondkaart adalah alas bukti yang sah untuk kepemilikan lahan. Semua aset yang dimiliki pemerintah dibuktikan kepemilikannya dengan grondkaart. Hingga saat ini semua warisan kolonial yang dimiliki pemerintahan Indonesia masih bertumpu pada grondkaart, seperti Monumen Nasional, Istana Negara dan kantor sekertariat negara.
Tanah yang dimiliki dan dikuasai oleh perusahaan kereta api negara (staatsspoor) era kolonial juga dibuktikan kepemilikanya dengan grondkaart, yang diperkuat dengan bukti keputusan penguasa sezanam. Tanah yang dijelaskan dengan grondkaart ini sudah berstatus sebagai tanah pemerintah, jadi tidak perlu lagi dikonversi, karena statusnya adalah tanah pemerintah (gouvernements grond) dan bukan hak milik (eigendom), hak guna usaha (erfpacht) atau hak guna bangunan (opstal).
Mirisnya Andi Surya DPD RI
Anehnya DPD RI asal lampung Andi Surya mengatakan bahwa grondkaart bukan alas hak apalagi status hak, dan warga yang menepati tanah yang dimiliki PT. KAI maupun PT. Pelindo II di Lampung berhak mensertifikatkan ke BPN.
Pernyataan yang dinyatakan oleh DPD RI diatas tidak pantas keluar dari mulus selever DPD RI, dengan pernyataan diatas sama saja DPD RI Andi Surya mengajarkan masyarakat untuk merampok aset negara. Tanpa membelinya warga dapat memiliki tanah yang status kepemilikannya jelas milik pemerintah dan bukan tanah negara bebas.
Pernyataan diatas Andi surya dapat mendorong warga ibu kota yang tidak memiliki tempat tinggal, bisa menggunakan MONAS (Monumen Nasional) dan Istana Negara untuk tempat tinggal.
Selain itu sekelas DPD RI juga membuat pernyataan bahwa tanah yang dimiliki oleh PT. KAI hanya berada 6 meter di kiri dan kanan rel yang katanya tercantum dalam Undang-undang Perkeretaapian. Pernyataan yang sangat menggelitik itu membuat saya selaku mahasiswa tertawa terbahak-bahak karena selevel DPD RI Andi Surya tidak bisa memahami undang-undang yang ada.
Justru lebar kiri dan kanan rel yang dimaksud Andi Surya adalah milik Dirjenka. lahan 6 meter dikiri dan kanan rel adalah rumaja dan rumija, yang digunakan sebagai ruang jalur kereta api dan ruang manfaat kereta api yang digunakan sebagai operasional kereta api.
Selaku mahasiswa saya merasa sangat miris dengan kualitas DPD RI yang tidak mampu mengetahui Undang-Undang Perkeretaapian tapi justru dipelesetkan agar masyarakat bisa merampas aset negara yang pengelolahanya diserahkan kepada BUMN.
Andi surya juga mencari kawan untuk merampas aset negara hingga ke Padang, yakni dengan Basrizal Koto pemilik PT. Basko Minang Plaza yang sudah jelas kalah dipengadilan dan lahannya telah dieksekusi oleh PN Padang.
Basko yang sudah jelas mengingkari perjanjian sewa lahan kepada PT. KAI, dan berusaha untuk mempengaruhi orang sekitar untuk mendukungnya agar bisa memiliki lahan pemerintah tanpa membeli atau membayar sewa (MERAMPOK).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H