"Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat".
Itulah bunyi dari penjelasa pasal 33 ayat 3 sebelum UUD 1945 diamandemen. Pasal dan ayat ini merupakan pondasi yang diletakkan para founding father kita untuk pengaturan tata kelola sumber daya alam dalam konstitusi negara.
Makna dari landasan konsitusional itu mengisyaratkan bahwa bumi, air, ruang udara diatas bumi dan air, dan kekayaan yang terkandung didalamnya merupakan salah satu unsur yang tidak terpisahkan bagi kehidupan bangsa dan kekayaan nasional.
Undang-Undang  (UU) Nomor. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) adalah wujud bahwa negara diberi kewenangan campur tangan penuh untuk menjalankan kewenangan atribusi (membuat keputusan tentang seseorang) sebagaimana pasal 33 ayat 3 tadi.
Tidak hanya UUPA, lahirnya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba dan UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU Perkebunan adalah wujud bahwa landasan konsitusional tadi bekerja menyesuaikan kebutuhan.
Walhasil, produk-produk hukum itu sejatinya dapat memberikan kepastian, keadilan dan kebenaran dibidang agraria sebagaimana cita-cita para pendiri bangsa dan amanah yang tertuang dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
Tetapi nyatanya, antara UUPA dan UU sektoral lainnya terjadi tumpang tindih bahkan mendegradasi UUPA sendiri sebagai induk regulasinya. Fakta inilah yang kemudian memunculkan permasalahan sehingga menjadi pemicu munculnya konflik ditengah-tengah masyarakat.
Selain tunpang tindihnya regulasi, konflik agraria yang terjadi di Indonesia ditenggarai oleh beberapa faktor, seperti: kepentingan politik, ekonomi dan militer yang mampu membangun kerja sama memanfaatkan celah tumpang tindihnya UU sektoral tadi sehingga dengan mudah menggelar karpet merah bagi oligarki kekuasaan politik dan pemilik modal besar.
Fakta inilah yang yang mendegradasi UUPA yang berimplikasi terhadap kepemilikan, penguasaan dan pengusahaan sumber-sumber agraria (tanah, hutan, tambang, dan perairan) cenderung sangat gampang diberikan kepada segelintir orang, korporasi swasta maupun asing dan domestik, bahkan BUMN.
Inkonsistensi terhadap landasan konstitusional bidang agraria hanya berkontribusi terhadap matinya kepastian, keadilan dan kebenaran. Kesejahteraan rakyat hanya sekedar isapan jempol belaka, ujungnya negara hanya berpihak kepada korporasi bukan kepada petani.
Sekedar contoh pada sektor perkebunan, dari 144 ledakan konflik agraria 83 atau 60% kasus sepanjang tahun 2018, diantaranya terjadi di perkebunan komoditas kelapa sawit. Hal ini menegaskan bahwa pemerintah tidak pernah serius menyelesaikan konflik antara korporasi dengan petani. (Catatan Akhir Tahun KPA, 2018)
Konflik Deli Serdang
Akhir-akhir ini konflik tanah yang menggambarkan ketidak seriusan pemerintah dalam menyelesaikannnya kembali meletus. Konflik itu melibatkan Serikat Petani Simalingkar Bersatu (SPSB) yang merupakan gabungan petani dari Desa Simalingkar A, Desa Durin Tunggal dan Desa Namobintang dengan PTPN 2 Tanjung Morawa Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.
Luas area yang menjadi konflik antara petani yang tergabung dalam SPSB dengan PTPN 2 Tanjung Morawa Deli Serdang seluas 854 H. Yang terletak di desa Simalingkar A, desa durin tunggal, desa namobintang Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.
Berdasarkan data yang penulis peroleh, terkait asal usul tanah kebun berkala, secara historis tanah itu merupakan tanah bekas perkebunan Belanda dimasa penjajahan yang dikelola kompeni mulai dari tahun 1926 hingga 1938 yang dikenal dengan mascapai Deli Kuntur yang luasnya kurang lebih 300 hektar dan kini tanah itu terletak diwilayah Desa Bekala.
Pada tahun 1945 diera kemerdekaan Republik Indonesia orang-orang belanda tersebut di usir dari kebun bekala itu, sehingga paska kemerdekaan Republik Indonesia masyarakat mengambil alih perkebunan Belanda tersebut untuk dijadikan pemukiman dan bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kemudian, pada tahun 1954 masyarakat pun sudah mulai banyak bertempat tinggal dan bercocok tanam di dalam area tersebut, hal itu didukung oleh UU Darurat No. 8 Tahun 1954 dan selanjutnya didukung oleh UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 tentang nasionalisasi aset-aset yang dimiliki oleh asing di ambil alih oleh negara dan untuk kemakmuran rakyat.
Selanjutnya, pada tahun 1962 masyarakat yang bermukim disanapun kian bertambah banyak, membangun tempat tinggal dan bercocok tanam. Sehingga lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan bertanipun semakin meluas. Pada tahun 1963 hingga tahun 1964 pemerintah memiliki kebijakan untuk kembali mengaktifkan perkebunan eks belanda guna mendukung kas pendapatan negara dalam hal swasembada kelapa sawit. Namun, tragedi G 30 S/PKI tahun 1965 menyebabkan rencana pemerintah orde lama pun terhenti.
Pada tahun 1968, rencana pemerintah orde lama tadi dilanjutkan pemerintah Orde Baru paska peralihan kepemimpinan dari presiden Soekarno kepada presiden Soeharto. Lalu, pada tahun 1969 sampai 1973 pemerintah orde baru terus menggalakan tentang program perkebunan negara dengan kembali mengambil tanah tanah eks perkebunan belanda yang telah dihuni dan di duduki oleh masyarakat tersebut bahkan melampaui batas-batas luasan tanah kebun belanda dan menjorok ketanah-tanah petani.
Atas masifnya pemerintah orde baru (orba), pada tahun 1975 Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Menteri Dalam Negeri mengeluarkan SK seluas 1.254 hektar untuk di kelola PTPN IX, yang mengakibatkan terjadinya konflik antara masyarakat petani dengan pihak PTPN IX, represifnya orba waktu itu memaksa petani harus menyerahkan lahan mereka kepada PTPN IX.
Yang tidak menyerahkan kemudian dicap sebagai sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) lantas dipenjarakan. Pada tahun 1976 hingga 1979 PTPN IX terus menerus memperluas areanya sesuai dengan SK Mendagri dan BPN, perlawanan dari masyarakat petani hanya diabaikan begitu saja.
Tak Pernah Henti BerjuangÂ
Tahun 1982, petani terus berusaha berjuang dengan bersurat kepada Gubernur Sumatera Utara. Walhasil, tahun 1984 mereka mendapatkan SK dari Landerform sebagai dasar petani berhak atas tanah yang mereka tempati dan kelola yang telah diambil alih oleh pihak PTPN IX yang kemudian berubah menjadi PTPN 2.
Pada tahun 1990 hingga 1999 petani terus bergerak untuk menyuarakan haknya hingga sampai terjadi Rapat Dengar Pendapat yang di fasilitasi oleh DPRD tingkat I dan II yang dihadiri oleh Badan Pertahanan Deli Serdang, Badan Pertanahan Sumatera Utara, Bupati Deli serdang, Camat Pancur Batu, para kepala desa, tokoh masyarakat, pihak PTPN 2. Pertemuan itu merekomendasikan supaya Bupati meng-SK-kan tanah seluas 450 hektar yang sertifikatnya tak jelas keberadaanaya dan memberikan tanah tersebut kepada masyarakat yang ada di dalamnya.
Lalu, tahun 2000 sampai 2002 petani mulai yang bercocok tanam kembali, anehnya Gubernur Sumatera Utara malah membentuk tim B Plus guna menginventarisasi kembali lahan yang yang hendaknya diproses menjadi hak milik masyarakat. Tetapi, tim B Plus malah merekomendasikan perpanjangan Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU) PTPN IX yang belakangan berubah nama menjadi PTPN 2.
Pada tahun 2004 tanah kebun Bekala hendak di perpanjang SHGU-nya oleh PTPN 2 Deli Serdang, tetapi hasil inventarisasi oleh tim B Plus belum bisa karena didalamnya terdapat pemukiman dan tanaman masyarakat yang harus di selesaikan dulu oleh pihak PTPN 2 terhadap masyarakat yang ada didalam nya. Tahun 2009, Kementerian Agraria malah memberikan izin perpanjangan kepada pihak PTPN 2 Deli Serdang seluas 854 H dengan SHGU No. 171/2009, padahal PTPN 2 Deli Serdang belum melaksanakan rekomendasi tim B Plus tadi.
Pada tahun 2017 petani yang menempati dan mengelola lahan sejak tahun 1951 di kejutkan dengan pemasangan plang oleh pihak PTPN 2 Deli Serdang dengan nomor SHGU 171/2009 yang dikawal oleh ribuan aparat TNI dan Polri. Ironisnya, mereka menghancurkan seluruh tanaman yang ada didalamnya. Bentrok petani desa Simalingkar A, Desa Duren tunggal, dan Desa Namo Bintang Kecamatan Pancur Batu Deli Serdang Sumatera Utara dengan aparat tidak bisa dielakkan. Puluhan petani terluka dan puluhan petani yang lain ditahan di polsek hingga Polres dan dibawa ke kantor Zipur (KODIM).
Hal inilah yang melatari terbentuknya Serikat Petani Simalingkar Bersatu (SPSB) pada tahun 2018 sebagai respon atas represifitas dan intimidasi oknum TNI/Polri terhadap petani. Tahun 2019, SPSB bersurat kepada Bupati dan Badan Pertahanan Deli Serdang, Gubernur dan BPN Sumatera Utara, DPRD Kabupaten dan DPRD Provinsi, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian BUMN, Kantor Staf Kepresidenan (KSP deputi V), Komisi II dan VI DPR RI terkait kejanggalan atas terbitnya SHGU No. 171/2009, namun hingga saat ini tidak ada tanggapan.
Mirisnya, SHGU No. 171/2009 tidak pernah di pergunakan sesuai perizinannya, malah akan dibangun ribuan perumahan yang bekerja sama dengan pihak perumnas Sumatera Utara, padahal SHGU itu peruntukannya bukan untuk perumahan. Nyata bahwa PTPN 2 Deli Serdang hendak menyalah gunakan SHGU ini.
Sedihnya, baru-baru ini Kementerian Agraria dan Tata Ruang memberikan izin peralihan SHGU No. 171/2009 kepada PTPN 2 Deli Serdang menjadi Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) No. 1938 dan No. 1939 atas nama PTPN 2 pada area konflik ini. Hal inilah yang melatari SPSB menyampaikan tuntutan kepada Presiden Jokowi untuk segera menyelesaikan konflik agraria itu dan mengancam akan berjalan kaki ke Istana Negara bersama 810 petani. Selamat berjuang!
Penulis adalah pengurus di Dewan Pengurus Nasional Gerakan Kebangkitan Petani dan Nelayan Indonesia (DPN GERBANG TANI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H