Mohon tunggu...
Usep Saeful Kamal
Usep Saeful Kamal Mohon Tunggu... Human Resources - Mengalir seperti air

Peminat masalah sosial, politik dan keagamaan. Tinggal di Depok.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menjadi Pendidik di Rumah

3 Mei 2020   14:12 Diperbarui: 3 Mei 2020   14:24 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua bulan lebih penulis tidak keluar rumah alias Work From Home (WFH) seiring dengan penerapan aturan pemerintah terkait pandemi Covid-19 di Indonesia yang hingga kini dinyatakan positif berjumlah 10.551. Hal ini boleh jadi dialami oleh pembaca yang budiman.

Berbulan-bulan tidak keluar rumah kecuali ada kebutuhan yang mendesak tentu bukan perkara enteng, butuh adaptasi. Apalagi memiliki tambahan tugas baru menjadi pendidik bagi anak-anak yang sekolahnya memberikan himbauan untuk belajar di rumah mengikuti batas waktu sesuai arahan pemerintah daerah.

Pandemi Covid-19 yang menuntut proses belajar mengajar dari sekolah dialihkan ke rumah harus diterima oleh para orang tua, suka tidak suka. Selama ini boleh jadi kita orang tua hanya mengandalkan sekolah untuk kegiatan belajarnya.

Salah satu hikmah dari situasi ini, kita merasakan betul bagaimana menjadi pendidik yang baik bagi anak-anaknya seperti halnya dilakukan para guru di sekolah. Transfer pengetahuan (transfer of knowledge) ternyata bukan perkara enteng, butuh kesabaran, ketelatenan dan kedisiplinan sehingga ilmu yang disampaikan benar-benar mampu dicerna dengan baik.

Hikmah selanjutnya, kondisi masa isolasi dirumah menyadarkan kita bahwa ruang utama pendidikan anak-anak sejatinya memang di rumah. Sekolah hanyalah institusi yang membantu menghantarkan harapan dan cita-cita orang tua terhadap masa depan anak-anaknya.

Kita yang selama ini tidak jarang melakukan komplain terhadap sistem pembelajaran anak-anak disekolahnya, kini bisa menjawab bahwa sesungguhnya pendidikan tidak sekedar transfer of knowledge, lebih dari itu transfer of value (transfer nilai). Atas itu, kerjasama antara orang tua dengan pihak sekolah mutlak dibutuhkan.

Semahal apapun biaya yang kita keluarkan demi mewujudkan cita-cita anak-anak tidak akan berarti bila kita sebagai orang tua mengabaikan kerjasama itu. Sekolah tentu berfungsi sebagai persemaian dan lahan yang memungkinkan bibit unggul anak kita tumbuh subur sebagaimana karakternya masing-masing.

Masa sosial distancing kita dirumah sisi positifnya kita bisa lebih mendalam mengetahui dan memahami bagaimana sebenarnya karakter anak-anak kita satu sama lain sehingga kita memiliki konsep bagaimana karakter anak-anak hendak dibentuk.

Ki Hajar Dewantara pernah berujar: "Buahnya pendidikan yaitu matangnya jiwa yang kelak akan dapat mewujudkan hidup dan penghidupan yang tertib dan suci serta bermanfaat  bagi orang lain". Kutipan inilah yang  kemudian dijadikan dasar konsep pendidikan karakter.

Pendidikan karakter adalah manifestasi dari konsep dan keyakinan tentang kebajikan manusia yang secara fitrah berbeda dengan makhluk lainnya di muka bumi.  

Walhasil, tanpa karakter baik, manusia termasuk kita dan anak-anak kita akan kehilangan segala-galanya, termasuk kehilangan sisi kemanusiaanya. Jangan sampai deh!

Rumah Plus Sekolah

Bagi sebagian orang tua menjalani proses WFH boleh jadi membuat bisa membosankan. Betapa tidak, pada waktu yang bersamaan harus melakukan dobel job, satu menjalankan tugas kantor, kedua menjadi guru menyampaikan pelajaran sekolah bagi anaknya.

Bagi penulis yang pernah menjadi tenaga pendidik di sekolah, bisa dibayangkan bagaimana bila didalam satu rumah ada lebih dari dua anak yang sekolah ditambah orang tuanya pekerja kantoran. 

Terbayang pula bagaimana keriuhan terjadi didalam rumah, ayah dan bunda harus menjalankan kewajiban kantor yang diberi deadline, pada saat yang sama anak-anak membutuhkan bimbingan mengerjakan tugas sekolah yang diberi deadline pula.

Situasi inilah yang kemudian membuat para orang tua menyadari mana semestinya yang harus diprioritaskan, pekerjaan kantor atau urusan pelajaran anak-anaknya. Selanjutnya, siapa sebenarnya yang mesti memprioritaskan waktunya untuk pendidikan anak-anak, ayah atau bunda.

Secara normatif, keluarga adalah komunitas pertama yang menjadi tempat sesorang, sejak usia dini belajar konsep baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, benar atau salah dan nilai-nilai luhur lainnya. Artinya, dalam keluargalah sejak dini seseorang sadar akan lingkungannya, belajar tata nilai atau moral hidupnya.

Tentu bukan tanpa alasan, karena tata nilai yang diyakini seseorang akan tercermin didalam karakternya sendiri. Dalam rumah dan dalam komunitas keluargalah proses pendidikan karakter sejatinya berawal.

Pertama, pendidikan keluarga akan menentukan seberapa jauh seorang anak dalam prosesnya menjadi orang yang berkepribadian dewasa dan memiliki komitmen terhadap nilai-nilai moral tertentu dan menentukan bagaimana ia melihat dunia disekitarnya.

Kedua, pendidikan keluarga berkontribus positif terhadap prilaku "legowo" seorang anak terhadap segala perbedaan yang ada dalam lingkungan kehidupannya. Baik perbedaan status sosial, suku, agama, ras, latar belakang budaya dan lain sebagainya.

Ketiga, keluarga adalah komunitas awal mengembangkan konsep awal mengenai keberhasilan dalam hidup, atau paling tidak mengasah pandangan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan hidup yang berhasil dan wawasan luas terhadap masa depan kehidupannya.

Relevan dengan ungkapan Francis W. Parker, seorang pakar pendidikan karakter: arah dan tujuan pendidikan adalah pembentukan dan pengembangan karakter. Proses pembentukan karakter bisa terjadi dimana saja dan berlangsung simultan tergantung faktor lingkungan yang mempengaruhinya.

Penulis kira, pengalaman kita sebagai orang tua ditengan pandemi Covid-19 ini adalah peluang dan kesempatan yang tak ternilai harganya. Menjadikan rumah menjalankan tiga fungsi utama sebagai tempat tinggal, tempat kerja dan tempat pendidikan anak-anak seyognyanya dapat lebih mendekatkan orang tua dan anak-anak secara psikologis.

Menciptakan suasana pendidikan di rumah memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, butuh helaan nafas yang panjang. Bila kita orang tua tidak bisa mengelola emosi satu sama lain bisa-bisa WFH ini membuat kita stres tak berujung, percekcokan-percekcokan tidak bisa dihentikan dan ujung-ujungnya harmon keluarga akan terganggu.

Bukan Nilai Angka

Proses dan suasana pendidikan sejatinya membawa pengaruh pada perkembangan potensi seseorang (insani). Potensi insani (human potencial) beraneka ragam, diantaranya kecerdasan (intelligence) dan daya inovasi, karena pengaruhnya sangat besar dalam menentukan kualitas kehidupan seseorang di tengah-tengah masyarakat.

Para ahli menyatakan bahwa manusia memiliki banyak jenis kecerdasan. Namun secara ilmiah dapat diidentifikasikan tujuh jenis kecerdasan, yaitu: kecerdasan linguistik, kecerdasan logika-matematikal, kecerdasan musikal, kecerdasan ruang (spatial), kecerdasan kenestika-raga, kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal.

Penulis kira, yang menjadi basis terbentuknya karakter seseorang adalah kecerdasan intrapersonal dan sebagian kecerdasan intrerpersonal. Disamping itu, daya inovasi dibutuhkan dalam kerangka mentransformasikan kecerdasan secara kreatif sehingga menciptakan manfaat atau nilai bagi yang bersangkutan dan masyarakat luas.

Daya inovasi inilah yang mengaktualisasikan kecerdasan dalam konteks tertentu. Aktualisasi ini bisa termanifestasi dalam bentuk jasa, produk, sistem, kebijakan, regulasi (UU, perda pendidikan), lembaga, cara pendekatan, paradigma, pengetahuan dan teknologi baru yang berorientasi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Atas dasar itu, tidak berlebihan kiranya bila penulis berpendapat bahwa ada tiga hal yang sangat kritis yang akan mempengaruhi keberhasilan perubahan ini, antara lain: Pertama, Perubahan cara pandang (mindset) dari pendidikan untuk pengembangan sumber daya manusia menjadi pendidikan untuk pengembangan manusia seutuhnya. Tidak terlalu mengadalkan sekolah diantaranya.

Kedua, kualitas dan penghargaan terhadap guru. Transformasi pendidikan memerlukan investasi besar-besaran dalam meningkatkan mutu para guru, dan pemberian penghargaan yang pantas bagi para guru. Disamping itu, menghargai kinerja mereka dalam bentuk meningkatkan kesejahteraannya menjadi salah satu indikator penting. Hingga kini penulis hakulyakin bahwa apapun sistem kurikulumnya, kuncinya ada pada guru.

Ketiga, perubahan sistem manajemen. Manajemen pendidikan kita  masih didominasi oleh para birokrat yang justeru memperlambat perubahan. Cengkraman birokrasi yang lebih mengutamakan kepatuhan diatas kreativitas dan prestasi perlu dicairkan dengan meningkatkan peran masyarakat, pendidik dan orang tua dalam manajemen pendidikan di sekolah-sekolah. Homescholing adalah salah satu model pendidikan yang diterapkan sebagai respons atas gejala tadi.

Pengalaman berbulan-bulan ditengah pandemi Covid-19 ini paling tidak semua orang tua telah menerapkan apa yang disebut homescholing, disadari atau tidak. Pendidikan sejatinya bukan hanya tanggung jawab negara, birokrasi, bahkan sekolah.

Memberi contoh anak-anak kita mencuci pakaian, mencuci piring, mebersihkan rumah kemudian memberi penugasan yang sama terhadap anak-anak kita dalam kesehariannya penulis kira momentum baik yang menghantarkan kita bahwa pendidikan tidak melulu mengejar nilai angka yang bagus, lebih dari itu pendidikan hakikatnya menjadikan ia "kaya" nilai-nilai kebajikan bagi dirinya, keluarga dan lingkungan disekitar tempat hidupnya.

Penulis adalah peminat masalah sosial, politik dan keagamaan. Tinggal di Depok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun