Baru-baru ini intensitas percakapan soal permintaan WNI pendukung ISIS (Islamic States in Iraq and Suriah)Â di media sosial, talkshow TV dan obrolan warung kopi menjadi lebih hangat. Layaknya persoalan publik yang lain, tentu saja ada yang pro dan kontra. Keduanya memiliki argumennya sendiri-sendiri, begitulah kehidupan.
ISIS ini berawal dari organisasi Islamic States in Iraq (ISI) yang didirikan pada tanggal 13 Oktober 2006 oleh Majelis Syuro Mujahidin, Abu Bakar Al-Baghdadi menggantika Zarkawi yang dipecat.
Al-Baghdadi adalah tokoh organisasi teroris Al-Qaeda di Irak yang bergabung sejak tahun 1985, kemudian ia dinobatkan sebagai khalifah ISI pertama. (Poltak Partogi Nainggolan, Kekhalifahan ISIS di Asia Tenggara, 2018)
Sejak dideklarasikan oleh Abu Bakar Al-Baghdadi pada tahun 2015, eksistensi ISIS menjadi sangat fenomenal. Betapa tidak, tidak membutuhkan waktu lama ia memperoleh pengikut, pendukung dan simpatisannya dari berbagai negara di dunia, tak ketinggalan dari Indonesia.
Kemunculan ISIS memberikan efek buruk terhadap instabilitas keamanan dilevel global, kawasan bahkan negara nasional. Tak jarang, pengikut ISIS mampu melampaui batas negara, ras, etnik, pendidikan, kelas sosial dan lain sebagainya.
Walhasil, kehadiranya berimplikasi ancaman terhadap tata dunia dan tatanan negara-bangsa modern yang telah lebih dahulu ada dan telah terbentuk pasca perjanjian Westphalia tahun 1648 dan perang dunia II.
Bila dicermati, ISIS ini berideologi khilafah yakni sebuah sistem kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslim di dunia untuk menerapkan hukum-hukum Islam ke seluruh penjuru dunia. Meski ISIS ini hanya berorientasi membentuk khilafah Islam di Iraq dan Suriah, tetapi kampanye para pengikut, pendukung dan simpatisan atas khilafah dilakukan secara luas.
Atas kampanye yang dilakukan secara masif, ia mendapatkan dukungan warga muslim di seantero dunia termasuk Indonesia, tak heran bila perkembangannya dianggap melampaui keberhasilan gerakan politik Pan-Islamisme yang bertujuan melawan imperialisme dan kolonialisme barat pada awal abad ke 20 lalu.
Karena belakangan memperoleh simpati dan dukungan politik sekaligus agama yang luas dan kuat yang tidak terbatas melapaui teritori negara tertentu, ISIS selalu bersiasat bahwa ia adalah Islamic States (IS). Tak heran bila akhirnya ISIS mengklaim bahwa ia organisasi dan basis Kekhalifahan Islam Sejagat.
Suka tidak suka, ISIS merupakan wujud perlawanan para aktor non-negara yang menjadikan Islam sebagai komoditas kepentingan dan tujuannya. Konon kehadirannya mengklaim menentang Barat dengan peradaban dan segala kepentingannya yang selama ini dianggap merugikan penduduk mayoritas Timur-Tengah.
ISIS adalah penerus perjuangan Al-Qaeda paska tewasnya Osamah bin Laden oleh operasi anti-teroris AS sebagai penganut ideologi dan perlawanan dari kelompok garis keras, radikal dan militan yang getol melawan dominasi kekuatan Barat. Atas aksi terornya, siapapun sasarannya, membabibuta tanpa perikemanusiaan, ISIS adalah ancaman bagi stabilitas keamanan global.