Walhasil, melalui pesan Saya Agamis, Cak Imin menggugah kesadaran kita bahwa prilaku saling menghina, hujat menghujat, adu domba, merasa diri paling benar dan lainnya berdalih agama hanya akan menghambat ikhtiar memperbaiki kehidupan bangsa dalam segala aspek.
Saya NasionalisÂ
Benturan antara klaim mereka yang masih tetap setia kepada UUD 1945 dengan mereka yang tetap gigih menginginkan legalisasi ajaran agama hingga saat ini tak berhenti. Gerakan makar berbungkus Khilafah Islamiyah oleh HTI adalah bukti bahwa arusnya tak pernah surut, meski kini telah dibubarkan negara.
Bagi penganut Islam formalistik dan simbolik, nasionalisme dianggap sebagai barang haram karena ia sama sekali tidak bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah. Baginya, menjadi seorang nasionalis sama saja ia bertindak dosa sebagai pengingkar Tuhan.
Sejak timbulnya Nasionalisme di Indonesia yang ditandai dengan kemenangan Jepang atas Rusia pada tahun 1905 yang berefek pada gerakan Budi Utomo pada tahun 1908, hingga kini perdebatan tentang nasionalisme tidak kunjung usai. Padahal, sejatinya nasionalisme itu lahir untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan.
Nasionalisme adalah sebuah spirit ingin mengembalikan manusia kepada harkat martabat yang sesungguhnya. Wajar jika ia kemudian cenderung anti penindasan dan hegemoni bangsa lain sehingga kemerdekaan merupakan endingnya.
Dilematis memang, disatu pihak masing-masing personal yang berpakem bahwa formalisasi Islam adalah sebuh keharusan, mereka memiliki dalil sendiri. Dipihak lain penganut nasionalisme juga memiliki dalil sendiri sehingga ia menjadi kayakinan yang dalam.
'Ala kulli hal, kalimat 'Saya Nasionalis' yang digelorakan Cak Imin penulis kira sebagai penggugah kesadaran terhadap nasionalisme kita yang tak henti mengalami ancaman. Pada saat yang sama ia kembali menguatkan kredo hubbul wathon minal iman yang digelorakan Mbah Hasyim Asyari.
Secara de facto, yang membangkitkan nasionalisme pada awal pergerakan di Indonesia adalah Islam yakni melalui pribumi muslimnya. Nasionalisme adalah produk ritus keislaman, produk homogenitas Islam sebagai agama mayoritas.
Fakta sejarahnya, Sarekat Islam, Muhamadiyyah dan NU menjadi pilar utama yang kemudian mengokohkan bangunan nasionalisme di Indonesia. Jadi, bila masih ada warga muslim yang masih anggap tabu nasionalisme, sesungguhna ia belum sampai pada maqom spiritualitas Islamnya.
'Saya Nasionalis' adalah kesadaran individual yang didorong untuk melahirkan kesadaran kolektif sehingga ia mampu merawat perahu NKRI dari kebocoran, ia terhindar dari gulungan arus ombak globalisasi yang tak henti menyeret nilai luhur budaya lokal kita.