Senin sore tanggal 30 Juli 2018 lalu mulai viral di jejaring media sosial terkait video penyambutan H. A. Muhaimin Iskandar (Cak Imin) terhadap ratusan santri yang telah berjalan kaki sejauh 320 km mulai Kota Banjar ujung timur Provinsi Jawa Barat yang dipenuhi suasana haru biru.
Sebelumnya perjalanan kaki itu memakan waktu sebelas hari menembus cuaca terik panas matahari, dinginnya malam, bahkan guyuran hujan. Dengan beralaskan sandal jepit tidak menyurutkan semangat mereka untuk bertemu dengan Cak Imin, panglima santri idolanya.
Titik nol mereka di Ponpes Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo Langensari Kota Banjar. Sebelum berangkat mereka pun dido'akan dengan penuh khusuk oleh almukarom KH. Munawir Abdurrahim, dimana adik beliau KH. Muslih Abdurrahim adalah pucuk pimpinan Jam'iyah Ahlith Thariqoh Al-Mu'tabarah An-Nahdliyyah (JATMAN) Jawa Barat.
Pasa zaman pra kemerdekaan, Pesantren Citangkolo menjadi salah satu basis pergerakan pasukan Hizbulloh yang dipimpin Kiai Badrun, yang dikenal dengan sebutan KH Abdurrohim ayah dari KH. Munawir Abdurrohim dalam merebut kemerdekaan dari tangan kolonial Belanda.
Penulis pernah disempatkan ziarah ke makam almaghfurlah KH. Abdurrahim di kawasan Ponpes Citangkolo. Makam yang dikelilingi fasilitas belajar para santri disana sungguh tidak terkesan bahwa kawasan itu dahulunya merupakan daerah angker dan hutan belantara.
Menurut penduduk sekitar, dahulu ponpes Citangkolo dikenal sebagai basis perjuangan dalam melawan Pemerintahan Militer Jepang dan Pemerintah Belanda atas dasar ta`muruna bil ma`ruf wa tanha anil munkar dan hubbul wathan minal iman.
Penulis kira, pergerakan yang dilakukan oleh para santri itu tentu membawa spirit para kiai pendahulu yang dikenal gigih melawan ketidakadilan dan "penjajahan". Spirit itulah boleh jadi yang membuat para santri tetap nekad, meski Cak Imin konon melarangnya.
Sepintas mereka jalan kaki berhari-hari hanya andalkan fisik semata, tetapi penulis malah haqul yakin bahwa selain spirit tadi, bacaan wirid para kiai pula menjadi energi tersendiri sehingga mereka bisa sampai ke tujuan bertemu Cak Imin.
Bayangkan saja, bila bukan santri boleh jadi mereka tidak mampu melakukan itu. Karena mereka santri yang senantiasa dilatih oleh kiai untuk melakukan tirakat, walhasil daya tahan lahir dan bathin mereka sungguh teruji.
Apa yang dilakukan oleh ratusan santri itu adalah bagian dari napak tilas dan ngalap berkah atas segala jerih payah para kiai pejuang kemerdekaan yang boleh jadi belum bernilai apa-apa dibanding perjuangan kiai dalam merebut kemerdekaan bangsa ini.
Bagi santri, menjalani pendidikan di pondok pesantren tidak melulu transfer of knowledge (transfer ilmu). Lebih dari itu bagaimana ilmu yang didapat bisa lebih dalam diamalkan sehingga menjadi transfer of value (transfer niai) dalam kehidupan sehari-hari. Penguatannya dengan cara tirakat untuk merekatkan tali batin, pikiran dan perbuatan.