Rentetan kejadian teror akhir-akhir ini sungguh menyayat naluri kemanusiaan kita, manusia mana yang hatinya tidak terenyuh sedih mengetahui sesamanya terbunuh oleh sesamanya yang lain. Apalagi seandainya yang terbunuh itu bagian dari family kita.
Setelah terakhir tanggal 14 Januari 2016 lalu bom bunuh diri meledak di kawasan Sarinah Jakarta, negeri ini kembali diusik oleh prilaku sadis pelaku teror yang dimulai dari markas komando Brimob Kelapa Dua Depok beberapa hari lalu.
Kerusuhan yang bermula dari persoalan makanan yang melibatkan narapidana kasus teroris dan petugas itu berujung maut dengan menewaskan lima anggota polisi. Sontak kejadian itu menyadarkan kita betapa pelaku teror bisa melakukan apa saja sesuka hatinya.
Belum juga reda luka hati kita, tiba-tiba publik dihenyakkan oleh peristiwa meledaknya bom bunuh diri dikawasan tempat ibadah umat kristiani dan katholik di Surabaya. Tak tanggung-tanggug, ledakan bom itu terjadi di tiga lokasi berbeda dengan waktu yang nyaris bersamaan.
Tidak berhenti di tiga lokasi itu, teroris juga meledakkan bom di Wonocolo Sidoarjo dan kawasan Polrestabes Surabaya. Berdasarkan keterangan Polisi, total korban tewas atas rentetan bom di kedua kota itu berjumlah 28 orang dengan rincian 9 orang pelaku dan 19 orang masyarakat. Sementara yang mengalami luka-luka berjumlah 57 orang.
Semua teror bom baik di Surabaya maupun Sidoarjo dilakukan oleh tiga anggota keluarga. Miris memang, ketika prilaku teror bom sudah dilakukan oleh anggota keluarga utuh berarti ada ajaran menyimpang yang harus segera diputus rantai penyebarannya. Terlepas keluarga itu konon pernah terlibat langsung serangkaian penyerangan bom di Suriah bersama ISIS.
Alih-alih banyak orang yang berduka atas kejadian teror bom itu, masih ada saja sebagian masyarakat yang menganggap rentetan kejadian teror mulai dari markas Brimob Kelapa Dua Depok hingga Mapolrestabes Surabaya adalah bagian dari rekayasa.
Padahal bila kita saksikan melaui gambar-gambar atau video yang tersebar di media sosial dengan sumber media yang terpercaya, sungguh kejadian itu jauh dari kesan rekayasa atau bahakan setting pihak-pihak tertentu.
Rasa masygul itu kembali muncul ketika ada teman kita di medsos bahkan komentar-komentar elit politik kita yang menganggap bahwa aksi teror itu adalah bagian dari rekayasa penguasa hari ini. Padahal, pada saat yang sama duka telah menyelimuti keluarga korban.
Yang tak kalah masygul, teman penulis di facebook yang kader Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menulis tagar #WaspadaSkenario Jahat pada statusnya. Mungkin karena rangkaian teror bom sejak di Mako Brimob Depok terjadi tak lama sejak HTI dinyatakan terlarang oleh pemerintah. Entahlah!
Penulis atau bahkan siapapun yang berakal waras tentu akan merespons setiap kejadian yang menimbulkan hilangnya nyawa orang dengan empati dan rasa duka. Tetapi bila prilaku teror dianggap sebagai sebuah rekayasa, entah kemana rasa hati dan nuraninya sebagai manusia. Tak berlebihan bila penulis anggap benih-benih teroris itu masih bertebaran disekeliling kita.
Akar Terorisme
Penulis kira, terorisme merupakan kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime) bagi negeri ini yang cinta kedamaian. Wajar bila pemerintah berkeinginan merubah UU No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme yang sudah masuk pada program legislasi nasional di DPR.
Dari berbagai hasil kajian para ahli, munculnya tindakan terorisme di Indonesia sebagai wujud adanya sesuatu yang salah dalam sistem sosial, politik dan ekonomi kita. Namun demikian, bila menilik dari beberapa kejadian teror bom di Indonesia, nampaknya teror yang dilakukan lebih didasarkan pada motivasi yang bersifat politis maupun non politis.
Sejak tahun 2002, kita telah mengalami lebih dari enam kali serangan teror besar yang mematikan banyak orang. Mulai dari bom Bali I, 2003 J.W Marriot, 2004 Kedubes Australia, 2005 Bom Bali II, 2009 J.W Marriot dan Ritz-Carlton, 2016 di Sarinah Thamrin ditambah rentetan bom Surabaya dan Sidoarjo beberapa hari lalu.
Menurut KH. As'ad Said Ali (pakar dibidang Terorisme), sejumlah rangkaian kejadian ledakan bom teroris di Indonesia masih erat kaitannya dengan Al-Qaeda. Al-Qaeda adalah organisasi Islam yang kontroversial yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syari'ah baik dari sisi teoritis maupun praksis.
Pemimpin Al-Qaeda yang terkenal, Osama Bin Laden menggagas sejumlah pemikiran heretis (bid'ah) yang belum pernah terjadi dalam Islam, seperti: fatwa eksekusi dengan alasan kebangsaan atau agama, fatwa tanggungjawab warga negara atas kebijakan pemerintah, memintai pertanggungjawaban atas kebijakan yang tidak diteteapkan ataupun yang ikut serta dalam penetapannya.
Argumentasi ini sungguh naif karena tidak pernah terontar dari generasi pendahulu (salaf) ataupun dari generasi penerus (kholaf) umat Islam. Para sahabat dan generasi tabi'in berperang melawan bangsa Romawi, Persia dan semua warga membayar pajak kepada pemerintah.
Tidak ada seorangpun diantara para sahabat dan tabi'in yang memfatwakan untuk membunuh warga sipil dengan alasan bahwa mereka ikut merekayasa dan mendukung kebijakan pemerintah negara mereka.
Menurut KH. As'ad, persoalan mendasar Al-Qaeda terletak pada paradigma pemikirannya sebelum menyangkut aksi-aksi pengeboman yang dilakukannya serta dimana dan kapan peledakan itu dilakukan.
Diantara kerancuan fiqh dan pemikiran Al-Qaeda diantaranya: pertama, mengadopsi pemikiran takfir. Al-Qaeda mengafirkan semua penguasa muslim tanpa terkecuali, termasuk aparat dan simpatisannya. Begitupun halnya aparat kepolisian, militer, intelijen, anggota perlemen, aparat kejaksaan dan peradilan mereka sematkan label kafir.
Kedua, menargetkan warga sipil. Al-Qaeda dalam aksi teror bomnya di berbagai negara selalu menjadikan masyarakat sipil sebagai target utamanya. Hal inilah yag diharamkan dalam hukum Islam. Warga muslim tidak dibenarkan menggunakan senjatanya dengan membabi buta, dimana penggunaan senjata memiliki kode etik dan moralitasnya.
Ketiga, fatwa eksekusi dengan dasar kewarganegaraan. Selama berabad-abad umat Islam berjuang melawan musuh-musuhnya. Tidak ada satupun ulama salaf dan kholaf menetapkan fatwa membolehkan membunuh terhadap orang yang berafiliasi pada kebangsaan, agama atau ras tertentu. Masih ada enam kejanggalan Al-Qaeda menurut KH. As'ad yang tidak bisa penulis lanjutkan dalam tulisan ini.
Jihad Cak Imin
Teroris Jancuk! Kalimat itulah yang terlontar dari mulut H. A. Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sebagai ekspresi kekesalan dan kemarahan terhadap prilaku teror bom usai beliau menjenguk korban bom Surabaya seorang tukang becak yang kebetulan asli Jombang tanah kelahiran Cak Imin.
Jihad Cak Imin perangi terorisme telah dilakukan jauh-jauh hari, diantaranya melalui Halaqoh Ulama Rakyat yang diselenggarakan oleh DPP PKB pada bulan November 2016. Dimana dalam salah satu komisi halaqoh itu membahas soal UU Tindak Pidana Terorisme.
Halaqoh itu kemudian diperluas melalui kegiatan-kegaiatan yang sama yang diselenggarakan berbasis provinsi dan Kab/Kota di pesantren NU dengan tujuan meneguhkan cita-cita Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asyari (Pendiri NU dan Rais Akbar NU) yang membagi tiga konsep Ukhuwah (persaudaraan).
Tiga konsep ukhuwah itu, diantaranya: Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan dalam satu agama), Ukhuwah Basyariah (persaudaraan dalam satu bangsa), dan Ukhuwah Wathoniyah (persaudaraan dalam satu negara).
Halaqoh Ulama Rakyat dengan Cak Imin sebagai inisiatornya merupakan jawaban dan komitmen perjuangan PKB untuk menampung dan menindak lanjuti aspirasi para ulama NUdalam rangka mengembalikan peran dan fungsinya mengatasi problem-problem kebangsaan dan ke-ummat-an termasuk masalah radikalisme dan terorisme.
Sebagai Panglima Santri, Cak Imin menyadari bahwa  kemiskinan dan ketidakadilan sosial menjadi salah satu akar terjadinya tindakan radikalisme dan terorisme. Ia telah merongrong keutuhan NKRI. Hingga kini, Cak Imin bersama segenap kekuatan PKB dan NU menyatukan umat dan seluruh elemen masyarakat mengatasi dan melawan segala bentuk radikalisme dan terorisme itu.
Cak Imin menegaskan, para kyai sepuh menilai perlu ada langkah agar masyarakat tidak terlibat dalam gerakan radikalisme dan terorisme di seluruh Indonesia. Apalagi, Islam mengajarkan kehidupan yang damai dan saling hormat menghormati.
Islam tidak mengajarkan prilaku destruktif (merusak), apalagi terorisme yang secara nyata menafikan nilai kemanusiaan. Islam selalu menghargai dan menghormati perbedaan dan Islam yang sesungguhnya sangat kental dengan humanisme.
Perkembangan kelompok radikal di Indonesia ditenggarai sebagai benih dan akar terorisme, kini keberadaannya sudah lampu merah. Selain sebagai ancaman bagi masyarakat yang tidak berdosa dan tidak tahu apa-apa, terorisme merupakan ancaman nyata bagi harmoni bangsa.
Segala bentuk kekerasan yang dibalut dengan nuansa agama oleh kelompok tertentu dan prilaku intoleransi terhadap kaum minoritas akhir-akhir ini adalah bukti bahwa negara tidak bisa menutup celah-celah teroris itu.
Tanpa bermaksud menyalahkan siapapun, anugerah Tuhan atas bangsa Indonesia dengan beragam suku, budaya dan agama akan berubah menjadi malapetaka. Kebhinekaan ini mesti dirawat sungguh-sungguh dengan segala ikhtiar.
Ikhtiar Cak Imin memperkuat sikap solidaritas, persaudaraan kita dan membantu masyarakat yang terpinggirkan dengan segala daya dan upaya selama ini adalah wujud ruhul jihad kebangsaan dan kemanusiaan sebagai bagian dari perang melawan terorisme.
Penulis adalah peminat masalah sosial, politik dan keagamaan. Tinggal di Depok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H