Sejak mengungkapkan niat mengunjungi Lombok, beberapa teman langsung merekomendasikan Gili Trawangan. Sebuah kampung turis tersohor. Katanya rugi besar ke Lombok tanpa mampir ke sana. Dikompori seperti itu, jelas rasa penasaran saya terbit. Seindah apa sih Gili Trawangan itu. Selama ini saya hanya menyaksikannya dari liputan di televisi. Jelas berbeda dengan menikmatinya secara langsung. Akhirnya saya memasukkan Gili Trawangan ke list tempat yang bakal saya kunjungi di Lombok.
Keanehan muncul ketika saya menyusun daftar rencana perjalanan bersama dengan teman yang kebetulan berdomisili di Lombok. Teman saya ini punya bisnis paket wisata (lihat di rinjanimagazine.com). Melalui yahoo messenger kami pun menyusun itenerary. Hingga rencana untuk hari terakhir, teman saya sama sekali tak menyebut Gili Trawangan. Saya pun bertanya. "Kok gak ada Gili Trawangan mbak?" Dia baru tersadar setelah pertanyaan itu terlontar. "Oo pengen ke Gili Trawangan tho? Sori gak kepikiran. Soalnya jarang merekomendasikannya ke tamu-tamuku. Sudah memakan waktu, tempatnya juga kurang bagus. Kotor, agak bau. Gak nginep kan?" tanya dia.
Saya pun bertanya pada beberapa teman yang pernah ke Lombok. Mereka rata-rata menyarankan tak usah menginap di Gili Trawangan. Tapi setelah berembuk dengan empat teman seperjalanan, diputuskan kami akan menginap. Alasannya sederhana, cuma ingin merasakan suasana malam di sana bersama bule-bule dari berbagai bangsa. Ya, tak ada salahnya dicoba deh. Pas hari kedua di Lombok, kami pun menyambangi Gili Trawangan. Perjalanan dari Mataram menuju Pelabuhan Bangsal memakan waktu sekitar 1,5 jam. Setelah itu kami menyeberang menggunakan kapal. Tak sampai 30 menit, kapal sudah tiba di Gili Trawangan. Penyeberangannya memang cuma sebentar, tapi sudah cukup membuat kepala saya pusing dan muntah akibat mabuk laut...hehehehe
Kesan pertama saat menginjakkan kaki di Gili Trawangan tepat seperti yang digambarkan teman saya. Hmmm baunya gak nahan. Karena di sana banyak cidomo (sejenis delman), buntutnya ada bau kotoran dan air pipis kuda. Di area sekitar pelabuhan di Trawangan, baunya sudah masuk kategori mengganggu. Kesan keadaan ingkungan yang kurang bersih langsung tertangkap di situ. Jujur saya merasa sedikit kurang nyaman.
[caption id="attachment_101149" align="aligncenter" width="300" caption="Cidomo melewati jalan rusak (Foto by yusmei)"][/caption]
[caption id="attachment_101150" align="aligncenter" width="300" caption="Genangan-genangan air (Foto by Renjay)"][/caption]
Beruntung sore harinya kami terhibur dengan acara nyebur ke pantai. Kondisi pantainya masih menyenangkan. Biru, dengan pasir yang menantang. Kami pun asik bersenorkling ria (saya cuma penggembira, maklum kagak bisa berenang). Teman-teman saya yang berani bersnorkling sampai agak ke tengah, merasa senang karena menemukan ikan indah-indah dan lumayan gede-gede. Saya yang bersnorkling seadanya, juga nemu ikan sekadarnya saja. Yang penting seneng kan..hehehehe
Nah, capek bersnorkling ria, kami lanjut berjalan-jalan menyusuri pantai. Semakin menjauhi area pelabuhan, kok pantainya jadi semakin kotor. Kesannya agak kumuh dan tak terawat. Banyak sampah bertebaran, sebagian sampah alami dan ada juga berupa bekas bungkus makanan dan lain-lain. Sayang sekali, padahal kalau kondisinya bersih, pasti indah sekali...Kami memutuskan bertahan di pantai kotor itu sembari menunggu sunset. Dasar lagi apes, keinginan kami menikmati keindahan alam itu terhalang oleh gumpalan awan-awan tebal (selama 7 hari di Lombok kami benar-benar gagal total melihat pemandangan indah matahari terbenam dari pinggir pantai. heehehe).
[caption id="attachment_101151" align="alignnone" width="300" caption="Sampah-sampah di pantai (foto by Akbar Nugroho)"]
[caption id="attachment_101152" align="aligncenter" width="300" caption="Menunggu sunset yang gagal (foto by Akbar Nugroho)"][/caption]
Malam harinya hujan turun dengan lebatnya. Untung cuma sebentar. Kami pun bisa keluar mencari makan malam. Eh ternyata, hujan membuat kondisi Gili Trawangan makin memprihatinkan. Jalan-jalan banyak berlubang, akhirnya membuat terjadinya genangan-genangan air. Saking banyaknya genangan air, kami pun memilih berjalan di pasir pantai. Paling tidak air laut lebih bersih dibanding air genangan hujan. Ternyata, sebagian genangan air hujan itu belum kering sampai keesokan harinya. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan pemandangan itu.
Saya pun bertanya-tanya mengapa kampung turis sekelas Gili Trawangan kondisinya seperti kurang terawat. Siapa yang salah? Menurut teman saya, pemerintah setempat selama ini hanya lepas tangan. Lalu bagaimana dengan para pelaku wisata di sana, seperti pemilik penginapan2, pemilik cafe-cafe atau penyedia jasa penyewaan alat snorkling dan diving atau para pemilik cidomo maupun tempat-tempat penyewaan sepeda. Bukankah mereka telah mengeruk banyak keuntungan di tempat itu. Mengapa tidak ada kesadaran untuk merawat dengan baik. Bukankah kelangsungan usaha mereka juga sangat tergantung dengan kondisi Gili Trawangan. Apa ruginya bergotong royong dan menyisihkan sebagian pendapatan untuk merawat Gili Trawangan, mulai dari membersihkan pantai, sampai memperbaiki jalan yang rusak. Soalnya mereka jugalah yang akan menikmati hasilnya.
Kepingan surga yang ada di Lombok itu bukan sebuah keabadian. Jika tak ada itikad baik dari masyarakat atau pemerintah setempat untuk merawat dan menjaga, bukan tak mungkin nama besar Gili Trawangan suatu saat nanti hanya tinggal sejarah. Alangkah malangnya bila hal itu benar-benar terjadi...
[caption id="attachment_101153" align="aligncenter" width="300" caption="Bergaya dulu"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H