Mohon tunggu...
Yus Mei Sawitri
Yus Mei Sawitri Mohon Tunggu... -

Suka membaca dan menulis sejak kecil....Hobi jalan-jalan, nongkrongin toko buku dan nonton sepak bola...:)\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Okto korban problem klasik klub vs Timnas

29 Januari 2011   16:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:04 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisruh Oktovianus Maniani kabur meninggalkan Pelatnas Timnas U-23 sebenarnya bukan masalah baru dalam sepakbola. Insiden itu hanyalah satu dari sekian banyak problem klasik klub versus Negara (Timnas) yang jamak terjadi di lapangan hijau.



Okto membuat geger ketika memutuskan kabur dari Pelatnas Timnas Pra-Olimpiade 2012, Kamis (27/1). Bintang Indonesia di ajang Piala AFF 2010 itu pilih terbang ke Jayapura untuk memperkuat timnya, Sriwijaya FC, dalam laga tandang kontra Persipura (30 Januari) dan Persiwa Wamena (2 Februari).

Ulah Okto sontak membuat berang pelatih, Alfred Riedl. Setumpuk sanksi pun sudah menunggu pemain berpostur mungil itu. Okto dianggap bertindak indisipliner. Sikap yang jelas-jelas dibenci oleh pelatih berwajah dingin asal Austria itu. Ketegasan sudah dibuktikan Riedl ketika mencoret Boaz Solossa dari skuat Timnas untuk Piala AFF. Okto pun tahu tentang hal itu. Tapi Okto tetap nekat “lari” demi bergabung dengan Laskar Wong Kito.

Badan Tim Nasional (BTN) memberi tenggat waktu (deadline) kepada Oktovianus Maniani hingga Minggu (30/1) untuk kembali ke Timnas Indonesia Pra-Olimpiade. Jika tidak, Okto akan dicoret dari tim Pra-Olimpiade.

Benarkah insiden ini mutlak kesalahan Okto? Apakah ia tidak berjiwa nasionalis? Jangan dulu menghakimi. Lebih bijak jika kita menelaah dulu peristiwa ini dengan detail dan tanpa tendensi.

Media merilis Okto kabur karena diperintahkan oleh pihak klub. Tenaganya sangat dibutuhkan Sriwijaya FC dalam partai berat kontra Persipura. Sriwijaya mengaku ingin mendapat perlakuan yang sama, karena sebelumnya Arema Indonesia boleh memakai servis Kurnia Mega. Nasution Karubaba juga diberi dispensasi memperkuat Perseman Manokwari. Sriwijaya kemudian protes karena merasa ada diskriminasi dalam kasus Okto.

Dua hari berselang Okto mulai buka suara. Ia mengaku bingung dan dilanda dilema dengan kondisi yang dihadapinya. Di satu sisi ia ingin selalu ada untuk Tim Merah Putih, tapi di sisi lain sulit menolak permintaan klub. Bagaimanapun juga, dapur Okto bisa mengepul karena pundi-pundinya terisi gaji dari Sriwijaya FC.

Ya, kebingungan Okto bisa dipahami. Sebagai orang yang menggantungkan penghasilan dari sepak bola, Okto sulit menolak panggilan dari Sriwijaya. Mereka lah yang selama ini mengucurkan gaji untuk menopang kehidupan sang pemain. Yang pasti jumlahnya tidak sedikit. Okto adalah tulang punggung bagi keluarganya. Tak ayal, di sini uang selalu menjadi persoalan yang sensitif.

Jujur saya bersimpati dengan nasib Okto. Dia hanyalah korban dari problem klasik di dunia sepak bola, perseteruan klub versus Timnas. Kedua kubu sama-sama menglaim paling berhak atas sang pemain. Yang satu mengatasnamakan profesionalisme, yang lain mengedepakankan nasionalisme. Nyaris tak ada yang mau mengalah. Klub tak mau uang besar yang sudah dikeluarkan untuk sang pemain terbuang percuma gara-gara tenaga sang pemain lebih tersedot untuk Timnas. Sementara itu, Timnas jelas berharap bisa memanggil seluruh pemain terbaik yang ada, tak peduli jika hal itu merugikan klub.

Di luar sana, persoalan ini sudah muncul sejak lama. Terutama melibatkan klub-klub besar Eropa. Berbagai trik dilakukan klub supaya bintang mereka tak perlu bermain untuk Timnas di laga-laga yang kurang penting, seperti partai persahabatan. Padahal ketika laga persahabatan internasional, aktivitas liga-liga utama Eropa otomatis juga mengalami jeda. Meski demikian, mereka tetap tak rela melepas bintang-bintangnya pergi. Klub tak ingin pemainnya tampil loyo atau cedera setelah memperkuat Timnas.

Manajer MU, Sir Alex Ferguson, pernah menyulut kontroversi panas dengan Timnas Inggris ketika masih ditangani Sven Goran Eriksson. Publik terkejut melihat Ferguson menurunkan gelandang Paul Scholes pada laga kontra Middlesbrough. Bagaimana tidak, 24 jam sebelumnya dia mengatakan kepada Eriksson bahwa sang gelandang sedang cedera sehingga tidak mungkin bermain untuk Inggris dalam laga persahabatan melawan Portugal sepekan berselang.

Cerita senada juga pernah datang dari klub tetangga, Manchester City, sekitar Agustus 2009. Pelatih City kala itu, Mark Hughes, meminta Argentina tak usah menurunkan Carlos Tevez dalam partai uji coba melawan Rusia sepekan berselang. Tindakan itu dilakukan Hughes karena Tevez baru pulih dari cedera dan ia ingin striker andalannya itu benar-benar fit saat diturunkan di laga pembuka Liga Premier.

Bayern Munich juga pernah mencak-mencak karena Arjen Robben pulang dari Piala Dunia 2010 dengan membawa cedera. Buntutnya, sang pemain harus absen cukup lama. Tak terima dengan kejadian itu, Bayern pun meminta kompensasi ke Federasi Sepak Bola Belanda.

Perseteruan klub versus negara ini juga memanas tensinya setiap menjelang gelaran Piala Afrika, yang digelar pada bulan Januari. Turnamen ini memang berpengaruh besar di Eropa karena Afrika merupakan salah satu pengekspor pemain terbesar ke klub-klub Benua Biru. Di Liga Premier Inggris, Arsenal dan Chelsea, sangat merasakan efek Piala Afrika, maklum mereka punya banyak legiun asing asal Benua Hitam itu. Tarik ulur kepentingan sering terjadi. Kedua kubu ngotot mengemukakan argumentasi masing-masing. Kadangkala, dispensasi menjadi jalan tengah. Bintang-bintang seperti Didier Drogba atau Salomon Kalou seringkali diizinkan bergabung ke Timnas sedikit terlambat dibanding pemain-pemain lainnya.

Nah, dari berbagai contoh kasus di atas, saya berharap BTN dan klub bisa sama-sama bersikap bijak. Tak perlu saling ngotot menglaim pihak yang benar. Semuanya pasti bisa dikomunikasikan demi mencari solusi terbaik. Bukan tak mungkin di masa depan kasus Okto ini bisa terulang kembali. Apalagi Riedl ngotot menggelar Pelatnas jangka panjang.

BTN dan PSISu juga jangan sampai bersikap diskriminatif. Peraturan harus diterapkan sama rata, jangan ada pembedaan. Sikap pilih kasih hanya akan menjadi bibit-bibit persoalan. Tak ada untungnya. Solusi yang terbaik kedua kubu harus mau duduk bersama dan berbicara dengan kepala dingin. Jangan sampai justru pemain yang jadi korbannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun