Mohon tunggu...
Usamah Zaki
Usamah Zaki Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Teknik Kimia ITB. Mencari perjalanan yang menyenangkan dan membawa hikmah besar. sedang menekuni bidang kemasyarakatan dan social enterprise.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Plastik, antara Pengurangan, Daur Ulang, Campuran Aspal, dan Insenerasi

8 Mei 2018   19:00 Diperbarui: 8 Mei 2018   19:26 1156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: istockphotos.com)

Plastik merupakan komoditas yang tidak lepas dari kehidupan masyarakat jaman sekarang. Pertumbuhan konsumsi plastik semakin meningkat dari tahun ke tahun, dengan pencapaian di tahun 2015 sejumlah 3,5 juta ton. Sebuah angka yang cukup fantastis, mengingat Indonesia baru dapat mendaur ulang sampah plastik dengan jenis PET dan PP 50% dari volume konsumsi masyarakat.

Potensi ini masih sangat besar, namun secara kultur belum bersiap sehingga terlihat belum menjanjikan. Menurut data analisis arus limbah Indonesia tahun 2018, sampah plastik menyumbang 14% dari total sampah yang dihasilkan selama setahun atau sebesar 9,52 juta ton. Angka tersebut menjadikan Indonesia bertengger pada 20 besar papan atas konsumsi plastik dunia.

Angka tersebut dan kesadaran masyarakat yang kurang membuat Indonesia menyumbang sampah plastik ke lautan kedua terbesar setelah China. Kondisi ini semakin diperparah ketika sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sarah Mosko, PhD memperkirakan peningkatan  25% penduduk dapat meningkatkan 500% konsumsi plastik.

Tentu hal itu bukan data yang linier, mengingat faktor konsumsi dan isu-isu lingkungan yang seiring digiatkan untuk mengurangi dampak mengerikan sampah plastik yant tidak terurus.

Pemerintah Indonesia sendiri melalui kebijakan dan regulasi sudah membuat beberapa perundang-undangan untuk membenahi pengelolaan sampah di Indonesia. UU no 18/2008 yang mengatur manajemen sampah di tingkat provinsi dan daerah, pengurangan sampah rumah tangga, insentif dan disinsentif sampah dari masyarakat, dan penutupan dumping setelah 5 tahun, nyatanya semua belum berjalan 100% dengan baik pada skala nasional. 

Menurut data dari greeneration.id, sebuah platform bisnis pengelolaan sampah yang bertanggung jawab, Peraturan Pemerintah no 81/2012 yang juga mengatur tentang persampahan nyatanya belum berjalan  efektif di masyarakat. Pengelolaan bank sampah nyatanya hanya berjalan 570 dari 1900  yang ada dan landfill hanya tersedia 222 dari 542 area yang membutuhkan membuktikan banyak pekerjaan rumah yang belum dibereskan.

Ada pula fenomena terkait plastik berbayar yang pada akhirnya tidak dilanjutkan karena ketidakjelasan alokasi dana dari pungutan limbah plastik. Gaung-gaung "revolusi mental" rasanya belum merevolusi cara berfikir masyarakat tentang sampah.

Beberapa aktivis lingkungan juga pernah mewacanakan terkait plastik dengan label biodegradable yang akan menjadi solusi untuk mengganti keberadaan plastik konvensional. Menurut saya, selama produksi minyak mentah masih dengan jumlah yang relatif stabil, harga proses yang murah (karena bulk commodity), dan kemudahannya untuk diakses dan digunakan di masyarakat, akan membuat plastik biodegradable sulit mendominasi pasar.

Butuh orang-orang dengan finansial yang cukup dan keinsafan tentang bio-plastik sebagai solusi untuk dapat menyukseskan hal tersebut. Tapi kata siapa bio-plastik lebih ramah lingkungan ?

Ssebuah penelitian yang dilakukan oleh Sustainable Plastics: Environmental Assessments of Biobased, Biodegradable, and Recycled Plastics membuktikan penggunaan energi dan emisi CO2 proses pembuatan polylactic acid (plastik biodegradable) lebih besar dibandingkan polystyrofoam. Keduanya dibandingkan karena memiliki kegunaan dan sifat fisik yang hampir mirip. Statistik dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini

Segelintir Cara Mengelola Sampah Plastik

Penulis mengutip kata-kata kang Sano, pendiri greeneration.id , bahwa permasalahan sampah di Indonesia harus disolusikan secara paralel pada semua stakeholder yang terlibat. Sektor yang harus dibenahi tidak lain yaitu regulasi, keekonomian pengelolaan sampah, penyedian teknologi yang memadai, partisipasi semua orang, dan ketegasan institusi.

Ketika faktor-faktor tersebut tidak berjalan beriringan maka yang ada adalah perulangan upaya yang tidak berujung dan tidak merombak keadaan. Wacana revolusi mental yang digaungkan harus dapat menjadikan sampah menjadi pikiran setiap orang. Masyarakat menjadi sadar bahwa sebisa mungkin mereka tidak memroduksi sampah atau menyalurkan sampah dengan cara-cara yang bertanggung jawab.

Hal ini dapat didukung dengan menghadirkan insentif dan hukuman untuk membiasakan masyarakat sadar untuk ikut serta dalam upaya pengelolaan sampah.

Segi teknis, sampah plastik juga sudah ditangani dengan cara yang beragam. Saat saya mengambil mata kuliah Teknik Penanganan Limbah Plastik prodi Teknik Kimia ITB, kami dikenalkan pada teknologi insenerasi, daur ulang, dan pemanfaatan sebagai campuran aspal. Daur ulang sendiri sudah banyak dilakukan dan digunakan kembali oleh industri-industri food and beverage sebagai bentuk mereka bertanggung jawab dalam upaya penanganan limbah plastik yang mereka hasilkan.

Insenerasi sendiri merupakan teknologi pembakaran limbah plastik yang terlebih dahulu dikeringkan. Panas dari pembakaran tersebut dapat dimanfaatkan untuk pembangkitan listrik, konsep ini disebut waste to energy. Pengurangan volume sampah dari proses ini dapat mencapai 95% berat awal, ini menjadikannya metode paling efektif untuk mengurangi volume sampah plastik yang menumpuk.

Pemerintah sendiri pernah mengamanahkan pembangunan PLTSampah dengan metode insenerasi, namun mendapat protes dari masyarakat karena emisi yang mengganggu pernfasan. Proses insenerasi pada suhu 450-850oC  menghasilkan dioksin yang mengakibatkan kerusakan kulit, hati bahkan kelainan saraf dan jantung.

Oleh karena itu, tantangan PLTSampah yaitu mengoperasikan suhu pembakaran di atas 850oC untuk mencegah terhasilkan dioksin dan mensosialisasikannya secara benar ke masyarakat sekitar.

Penggunaan sampah plastik sebagai aspal juga merupakan solusi untuk mengurangi sampah plastik skala besar. Penelitian di India telah membuktikan, campuran plastik pada aspal dapat meningkatkan kekuatan aspal.

Namun kajian lingkungan sampai saat ini belum dapat menjamin keamanan dari aspal yang tercampur plastik ini, dikarenakan masih ada kemungkinan plastik tersebut mencemari udara dan lingkungan akibat kondisi cuaca dan penggunaan jalan tersebut. Maka, kajian mengenai seberapa persen campuran plastik yang aman untuk dijadikan pelapis jalan menjadi penting untuk dipelajari.

 Akhir kata, walaupun agak random, tapi saya mengajak teman2 untuk peduli, minimal banget tidak membuang sampah sembarangan. Syukur-syukur bisa bawa botol pribadi, tempat makanan sendiri, sehingga berkontribusi walaupun kecil untuk pengurangan limbah plastik di Indonesia.

Referensi: 

- Analisis Tingkat Daur Ulang Sampah 2018: Bagaimana Indonesia Melawan Polusi Sampah Plastik

- Indonesia Penyumbang Sampah Plastik Terbesar Ke-dua Dunia

- Gunungan Sampah Plastik Indonesia Menanti Solusi Tegas

- Penerapan Kebijakan Plastik Berbayar Masih Samar

- Jika Masuk dalam Tubuh, Ini Efek Dioksin Pada Manusia

- Shibamoto, T., dkk. 2007. Dioxin formation from waste incineration. Department of Environmental Toxicology, University of California, Davis, CA 95616, USA

- Abidin, Ahmad Zainal. 2016. Seminar Tahunan INAPLAS : Mendorong Pertumbuhan Industri Plastik Seiring Program Kantong Plastik Berbayar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun