Mohon tunggu...
Usamah Zaki
Usamah Zaki Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Teknik Kimia ITB. Mencari perjalanan yang menyenangkan dan membawa hikmah besar. sedang menekuni bidang kemasyarakatan dan social enterprise.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

1001 Alasan Sawit Harus Digenjot

30 Januari 2018   21:32 Diperbarui: 31 Januari 2018   11:54 2304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1 Pohon Industri Kelapa Sawit (Kemenperin 2011)

Baru-baru ini isu sawit sedang marak dibahas di dunia internasional, khususnya Eropa dan Amerika. Tepat setahun yang lalu di bulan April 2017, Uni Eropa sepakat membuat Resolusi "Anti Sawit" untuk membatasi impor bahan baku CPO atau turunan produk kelapa sawit dari negara-negara penghasil sawit dunia.

Resolusi "anti sawit" tersebut berbentuk standarisasi produk sawit yang diterima oleh Eropa (yang sangat ketat) dan pelarangan penggunaan biodiesel dari minyak sawit. Lagi-lagi isu yang diangkat adalah maraknya isu deforestasi yang ditimbulkan oleh penanaman kelapa sawit, merusak paru-paru dunia dan menghilangkan habitat hewan-hewan tropis yang endemik dan langka. 

Apabila kita tidak kritis dalam menghadapai isu tersebut, maka kita akan termakan oleh penolakan sawit tersebut dan merelakan anggaran pemasukan negara sebesar 231,4 triliun hasil dari ekspor dan tenaga kerja 5,6 juta orang(1).

 Sebelum kita menjustifikasi ekstrem kanan maupun kiri dari keberadaan sawit ini, mari kita sama-sama melihat secara objektif poin-poin penting dalam keberlangsungan industri berbasis kelapa sawit tersebut.

1. Pohon Hilirisasi Produk Sawit yang bernilai tinggi dan tinggi permintaan

Pohon hilirisasi sawit menjawab kebutuhan yang semakin tinggi akan produk-produk oleokimia dari miyak kelapa sawit. Hal ini saya ketahui dari pembelajaran mata kuliah minyak dan lemak yang didapatkan di jurusan Teknik Kimia, Institut Teknologi Bandung. Minyak kelapa sawit dibagi menjadi 2 jenis secara garis besar yaitu minyak kelapa sawit dan minyak inti kelapa sawit (CPO dan CPKO). 

Minyak nabati tersebut dapat diproses lebih lanjut menjadi bahan-bahan yang berguna, seperti biofuel, pelumas, minyak konsumsi, kosmetik, substituen coklat, pembersih, emulsifier, hingga surfaktan. Istilah industri mengkategorikan produk-produk tersebut pada pohon industri. Pada pohon tersebut, tergambar bahwa minyak sawit ini sangat dibutuhkan karena meliputi kebutuhan pangan yang akan terus meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk Indonesia maupun dunia.[2]

Teknik Kimia ITB sendiri menerima dana dari BPDP kelapa sawit untuk melakukan penelitian terkait macam-macam produk yang bisa dihilirisasi dari kelapa sawit itu sendiri. Ada produk sabun logam Ca dari minyak sawit yang terbukti dapat meningkatkan produksi susu sapi perah.

Saya sendiri melakukan penelitian terkait hidrokarbon terbarukan dari Palm Fatty Acid Distilateyang selama ini terbuang atau dihilirisasi dengan nilai yang rendah. Penelitian tersebut melingkupi keseluruhan hasil dari pohon kelapa sawit yang dapat diutilisasi untuk meningkatkan manfaat dan keuntungan dari hadirnya kelapa sawit itu sendiri.

Gambar 1 Pohon Industri Kelapa Sawit (Kemenperin 2011)
Gambar 1 Pohon Industri Kelapa Sawit (Kemenperin 2011)
2. Kelapa Sawit dengan Produktivitas Minyak yang Lebih Tinggi dibandingkan Tumbuhan-Tumbuhan Lain

Inilah yang disinyalir menjadi dorongan kuat hadirnya resolusi-resolusi anti perkebunan sawit. Sayangnya, Eropa dan Amerika yang memproteksi atas kehadiran sawit, tidak mampu menghasilkan minyak nabati yang lebih produktif dibandingkan sawit yang dimiliki negara-negara tropis. Data produksi minyak nabati dunia menunjukkan 58% luas area perkebunan dunia (110 juta ha) digunakan untuk kedelai dan berkontribusi dalam menghasilkan 31% minyak nabati dunia (47 juta ton).

Sedangkan perkebunan kelapa sawit memakan 10% total lahan perkebunan minyak nabati (19 juta ha) namun berkontribusi pada 41% produksi minyak nabati dunia (62 juta ton)(3). Apalagi peningkatan konsumsi minyak sawit dunia juga menglami peningkatan dari tahun 1980 (22% dari seluruh minyak nabati) ke tahun 2014 (42% dari konsumsi minyak nabati).

Ini membuktikan produktivitas sawit untuk menghasilkan minyak nabati memang menduduki peringkat tertinggi di dunia untuk sektor perkebunan. Apalagi dalam proses penaman, pohon kelapa sawit hanya perlu diremajakan ketika berusia 20-25 tahun, berbeda dengan tumbuhan minyak nabati 4 musim yang dimiliki Eropa dan Amerika.

 Isu deforestasi pun sering menjadi kekeliruan yang dibesarkan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kajian Komisi Eropa pada tahun 2013 menyebutkan dari deforestasi hutan sejumlah 239 juta hektar, ternyata penyumbang terbesar adalah peternakan (58 juta ha), kedelai jagung (13 juta ha), jagung ( 8 juta ha), dan disusul terakhir oleh sawit (6 juta ha).

Pada kenyataannya ternyata sawit hanya menyumbang deforestasi sebesar 2,5% dari deforestasi global(4). Maka apabila murni memang faktor penolakan dikarenakan lingkungan, argumentasi tersebut sangat mudah dibantah.

Memang pada kenyataannya masih banyak praktik ilegal seperti pembakaran atau pembalakan hutan yang terjadi. Kejadian seperti itu bukan dijadikan alasan untuk menolak berkah dari sawit, namun memberikan regulasi yang ketat dan berkelanjutan untuk alih lahan tidak produktif atau lahan gambut untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.

3. Fakta Perkebunan Rakyat Kecil 

Fakta menarik selanjutnya, ternyata menurut data BPS, terdapat 16 juta rakyat Indonesia yang bergantung pada perkebunan sawit dan bersumbangsih pada 41% produksi minyak sawit Indonesia(4). Penekanan pada aktivitas jual beli kelapa sawit tentunya akan sangat mempengaruhi kehidupan orang-orang tersebut.

Apalagi petani kecil tersebut hanya memiliki lahan-lahan kecil, tidak seperti perusahaan besar semisal PTPN atau Asian Agri yang bisa mencapai puluhan ribu hektar. Bayangkan saja, ketika sawit terbanting harganya, lalu petani harus mengonversi kegiatan perkebunannya, apakah lahannya akan cocok untuk ditumbuhi tumbuhan lain (mengingat lahan sawit menyerap banyak unsur hara).

4.  Stimulus Pengadaan Energi Baru Terbarukan

Setidaknya ada 3 bentuk energi terbarukan yang muncul akibat adanya aktivitas pabrik kelapa sawit yaitu pembangkit listrik biogas dari POME, pembangkit listrik tenaga biomassa, dan biodiesel(6). Isu ini menggairahkan karena pada outlook energi nasional, tahun 2025 energi baru terbarukan harus mendominasi 23% penyediaan energi negara. 

Tuntutan tersebut dijawab melalui peningkatan energi terbarukan panas bumi, air, angin, dan biomassa maupun biogas. Rencana B-30 dari Rancangan Umum Energi Nasional tahun 2025 juga akan menyedot kurang lebih 13 juta ton minyak kelapa sawit sebagai bahan baku (Berita B-30)(5). Belum lagi ditambah pasar biodiesel China yang akan membutuhkan biodiesel sejumlah 9 juta ton untuk memenuhi kebutuhan program B-5 (Gapki B-5) dan untuk kebutuhan industri non bahan bakar.

Pemanfaatan POME menjadi biogas selain bermanfaat untuk pengadaan listrik, juga sebagai upaya konkret untuk menangani limbah pabrik yang memiliki chemical oxygen demanddan biological oxygen demand yang membahayakan untuk ekosistem perairan. Bahkan produk samping yang keluar masih dapat dimanfaatkan untuk dijadikan pupuk. 

Pembangkit listrik dari biomassa dapat memanfaakan cangkang sawit untuk dilakukan gasifikasi. Abu yang dihasilkan dapat dikembalikan ke tanah sebagai unsur hara dan syngas yang dihasilkan untuk pasokan listrik. BPPT menyebutkan potensi yang dapat dimanfaatkan di PTPN V seluas 77.600 hektar kelapa sawit yaitu 15,37 MW PLTBiogas dan 38,57 MW PLTBiomassa. Ini merupakan potensi yang sangat besar mengingat luas lahan kelapa sawit di Indonesia yang mencapai 11,8 juta hektar(6).

5. Potensi Peningkatan Produktivitas Lahan Sawit

Keberlimpahan produk CPO yang mencapai 34,5 juta ton pada tahun 2016 ternyata masih belum pada produktivitas terbaiknya. Perkebunan milik masyarakat perlu dilakukan penataan yang lebih baik, mengingat produktivitasnya yang rendah hanya 2-3 ton minyak CPO per hektar, kalah dibandingkan kepemilikan swasta 4-8,5 ton per hektar(7).

Angka tersebut masih jauh di bawah produktivitas Malaysia yang mencapai 10 ton per hektar. Perbaikan dapat dilakukan pada peremajaan tumbuhan tua milik masyarakat dan pengelolaan lahan yang memanfaatkan pupuk organik dari limbah kelapa sawit itu sendiri.

Sudah 2 kali saya mendengar kisah negara yang diembargo kemudian berhasil berjuang untuk mandiri. Pertama adalah Afrika Selatan, dengan perusahaan Sasolnya yang membuat hidrokarbon/ bahan bakar dari proses Fischer Troph. Embargo menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan minyak bumi.

Lain hal dengan China, yang mencoba membuat hidrokarbon dari minyak tung, akibat dari embargo perdagangan dengan negara adidaya(8). Keduanya memiliki cerita dan kesuksesannya masing-masing. Indonesia menurut saya tidak perlu ciut dengan isu yang ada, melihat pasar yang masih terbuka dan hilirisasi dalam negeri yang masih bisa dikembangkan.

 Sekian, semoga kita sama-sama sepakat mendukung pemerintah untuk mengelola sawit menjadi lebih menguntungkan tanpa mengabaikan faktor lingkungan. Salam Nusantara!!

Daftar Pustaka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun