Sedangkan perkebunan kelapa sawit memakan 10% total lahan perkebunan minyak nabati (19 juta ha) namun berkontribusi pada 41% produksi minyak nabati dunia (62 juta ton)(3). Apalagi peningkatan konsumsi minyak sawit dunia juga menglami peningkatan dari tahun 1980 (22% dari seluruh minyak nabati) ke tahun 2014 (42% dari konsumsi minyak nabati).
Ini membuktikan produktivitas sawit untuk menghasilkan minyak nabati memang menduduki peringkat tertinggi di dunia untuk sektor perkebunan. Apalagi dalam proses penaman, pohon kelapa sawit hanya perlu diremajakan ketika berusia 20-25 tahun, berbeda dengan tumbuhan minyak nabati 4 musim yang dimiliki Eropa dan Amerika.
 Isu deforestasi pun sering menjadi kekeliruan yang dibesarkan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kajian Komisi Eropa pada tahun 2013 menyebutkan dari deforestasi hutan sejumlah 239 juta hektar, ternyata penyumbang terbesar adalah peternakan (58 juta ha), kedelai jagung (13 juta ha), jagung ( 8 juta ha), dan disusul terakhir oleh sawit (6 juta ha).
Pada kenyataannya ternyata sawit hanya menyumbang deforestasi sebesar 2,5% dari deforestasi global(4). Maka apabila murni memang faktor penolakan dikarenakan lingkungan, argumentasi tersebut sangat mudah dibantah.
Memang pada kenyataannya masih banyak praktik ilegal seperti pembakaran atau pembalakan hutan yang terjadi. Kejadian seperti itu bukan dijadikan alasan untuk menolak berkah dari sawit, namun memberikan regulasi yang ketat dan berkelanjutan untuk alih lahan tidak produktif atau lahan gambut untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.
3. Fakta Perkebunan Rakyat KecilÂ
Fakta menarik selanjutnya, ternyata menurut data BPS, terdapat 16 juta rakyat Indonesia yang bergantung pada perkebunan sawit dan bersumbangsih pada 41% produksi minyak sawit Indonesia(4). Penekanan pada aktivitas jual beli kelapa sawit tentunya akan sangat mempengaruhi kehidupan orang-orang tersebut.
Apalagi petani kecil tersebut hanya memiliki lahan-lahan kecil, tidak seperti perusahaan besar semisal PTPN atau Asian Agri yang bisa mencapai puluhan ribu hektar. Bayangkan saja, ketika sawit terbanting harganya, lalu petani harus mengonversi kegiatan perkebunannya, apakah lahannya akan cocok untuk ditumbuhi tumbuhan lain (mengingat lahan sawit menyerap banyak unsur hara).
4. Â Stimulus Pengadaan Energi Baru Terbarukan
Setidaknya ada 3 bentuk energi terbarukan yang muncul akibat adanya aktivitas pabrik kelapa sawit yaitu pembangkit listrik biogas dari POME, pembangkit listrik tenaga biomassa, dan biodiesel(6). Isu ini menggairahkan karena pada outlook energi nasional, tahun 2025 energi baru terbarukan harus mendominasi 23% penyediaan energi negara.Â
Tuntutan tersebut dijawab melalui peningkatan energi terbarukan panas bumi, air, angin, dan biomassa maupun biogas. Rencana B-30 dari Rancangan Umum Energi Nasional tahun 2025 juga akan menyedot kurang lebih 13 juta ton minyak kelapa sawit sebagai bahan baku (Berita B-30)(5). Belum lagi ditambah pasar biodiesel China yang akan membutuhkan biodiesel sejumlah 9 juta ton untuk memenuhi kebutuhan program B-5 (Gapki B-5) dan untuk kebutuhan industri non bahan bakar.