Biodiesel sendiri merupakan bahan bakar yang memiliki komposisi rantai karbon panjang dengan gugus ester yang didapatkan dari minyak nabati atau minyak hewani (Okullo et, al. 2012). Biodiesel sudah dikenal sebagai energi alternatif karena kemiripiannya dengan struktur hidrokarbon fraksi diesel. Kesamaan tersebut menjadikan campuran biodiesel dan diesel konvensional tidak memerlukan banyak modifikasi pada mesin.Â
Pada mulanya minyak nabati digunakan pada mesin diesel sebagai bahan bakar pertama kendaraan diesel berputaran rendah. Namun, saat putaran dipercepat menimbulkan banyak kendala, seperti tingginya viskositas, banyaknya kerak-kerak yang tertinggal, korosi akibat asam. Pada akhirnya, penggunaan minyak nabati dilakukan refiningterlebih dahulu dan dilakukan transesterifikasi atau esterifikasi untuk mendapatkan bahan bakar nabati yang lebih compatibledengan kebutuhan mesin diesel.
      Indonesia sendiri sejak tahun 2014 sudah berkomitmen untuk mengoptimalkan penggunaan biodiesel pada campuran solar. Mandatori oleh presiden di tahun 2014 mengharuskan campuran biodiesel pada solar mencapai 20% untuk solar konsumsi publik maupun industri. Angka ini menyebabkan kebutuhan biodiesel di Indonesia untuk tahun 2016 mencapai11,36 juta kl. Biodiesel dalam negeri selama ini dibeli oleh pertamina seharga dengan bahan bakar solar. Biodiesel tersebut diproduksi dari CPOdari hasil perkebunan sawit di Indonesia.Â
Oleh karena itu Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit melalui pungutan ekspor 50 dolar per ton, mengalokasikan dananya salah satunya untuk "menombok" kekurangan harga pembelian biodiesel. GAPKI sendiri menyebutkan, kebutuhan subsidi biodiesel mencapai Rp5000 setiap liternya. Ambisi pemerintah untuk meningkatkan mandatori biodiesel menjadi B-30 pada tahun 2025 atau sejumlah 23,78 kl, mengharuskan penambahan produksi biodiesel dalam negeri.Â
Penambahan biodiesel dalam negeri akan menimbulkan peningkatan penggunaan CPO menjadi biodiesel, yang berefek pula pada peningkatan lahan kelapa sawit dari 11,7 juta hektar di tahun 2016 menjadi 23,7 juta hektar di tahun 2025. Peningkatan tersebut dapat mengancam alih fungsi lahan hutan atau menginisiasi banyak pembakaran hutan untuk perluasan lahan. Adakah solusi lain untuk hal tersebut ?
Biodiesel terbagi menjadi 3 generasi. Generasi pertama dibuat dari minyak pangan yang cocok untuk pembuatan biodiesel. Persiangan dengan kebutuhan pangan dan harga yang lebih ekonomis untuk sektor pangan menyebabkan biodiesel generasi pertama tidak bertahan lama. Muncul biodiesel generasi kedua yang memanfaatkan minyak nabati non pangan untuk pembuatan biodiesel. Lagi-lagi masalah keekonomisan biodiesel dan kebutuhan pangan yang terus meningkat menjadikan bisnis ini menjadi kurang menarik untuk dijalankan.Â
Kemudian di beberapa negara maju lahirlah biodiesel generasi ketiga yang memanfaatkan minyak nabati dari alga. Biodiesel generasi ketiga tersebut terbukti memiliki produktivitas lahan yang lebih baik dari tanaman-tanaman pada umumnya. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Faried, dkk tahun 2017 menunjukkan produktivitas lahan dalam produksi minyak untuk mikro alga dapat mencapai 100-1000 kali dari tanaman-tanaman penghasil minyak nabati. Ini menjanjikan sebuah prospek yang menguntungkan, apalagi dapat memanfaatkan kandungan protein dan karbohidrat yang juga terkandung di dalamnya.
Kebutuhan atau Obsesi ?
 Ini murni pendapat pribadi, bahwa nyatanya untuk saat ini ekspor CPO kita masih sangat melimpah mencapai 33,5 juta ton per tahun 2016. Angka yang tinggi tersebut masih menyimpan potensi yang besar sebagai bahan baku penghasil biodiesel. Namun, yang perlu diingat pula, kebutuhan akan pangan akan terus bertambah, tapi tidak untuk ketersediaan lahan. Maka apabila tidak memulai untuk mengefektifkan penggunaan lahan dalam menghasilkan minyak nabati, maka dikhawatirkan akan menuai dampak buruk bagi konservasi alam.
Penelitian mengenai mikroalga menjadi biodiesel sudah banyak dilakukan oleh peneliti dunia. Pada paper yang dibuat oleh Chia,dkk (2017) menunjukkan bahwa mikroalga dengan jenis Chlorella sp, Brotyococous braunii,dan nanoclorophsis sp menghasilkan yield minyak yang berkisar 30-60% dari berat kering alga (FYI : kandungan kering alga 5% dari keseluruhan sel). Selain itu, penyediaan nutrisi untuk mikroalga dapat memanfaatkan limbah air pupuk, limbah domestik (pengelolaan limbah domestik harus baik), dan limbah cair pabrik gula. Penyediaan CO2untuk tumbuh kembang dapat menggunakan hasil pembakaran berupa flue gasdari pabrik atau industri terdekat.
      Saya sendiri sedang mengambil kuliah rancang pabrik di Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung dan sekitar 3 bulan lagi akan terungkap keekonomisan dari pabrik biodiesel menjadi mikroalga. Mungkin saat ada hasilnya saya akan menuliskan kembali untuk memperjelas prospek biodiesel dari mikroalga.
Sumber
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/06/21/berapa-luas-lahan-sawit-indonesia (diakses pada 13-11-2017 pukul 12.00)
https://gapki.id/perkembangan-mandatori-biodiesel-dan-prospek-indonesia-dalam-pasar-biodiesel-dunia/ (diakses pada 13-11-2017 pukul 11.00)
http://setkab.go.id/ruen-rencana-umum-energi-nasional/Â (diakses pada 13-11-2017 pukul 11.30)
Perwatasari, Dayu Dian dan Prakoso, Tirto. 2015. Performance of Tubular Reactor for Producing Biodiesel by Transesterification Reaction. Conference Paper
Faried, M. et,al. 2017. Biodiesel production from microalgae: Processes, technologies and recent advancements. Renewable and Sustainable Energy Reviews
Chia, Shir Ren. Et,al. 2017. Sustainable Approaches for Algae Utilization in Bioenergy Production. Renewable Energy manuscript
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H