Sudah bosan rasanya mendengar embel-embel perguruan tinggi didengung-dengungkan di kampus ITB tercinta. Mahasiswa menjadi sebuah entitas baru yang beririsan dengan status mereka sebagai warga atau masyarakat Indonesia. Tugasnya pun berat, melebihi masa lalunya sebagai seorang pelajar sekolahan. Setidaknya dua poin ( penelitian dan pengabdian masyarakat) menjadi layak untuk diperbincangkan, mencari bentuk konkrit agar tidak berakhir menjadi semboyan.
Penelitian dan pengabdian masyarakat menjadi penting untuk keberjalanan inovasi dan kemajuan teknologi bangsa. Penelitian merupakan pemecahan masalah bangsa, tidak lain dilakukan untuk diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Penelitian merupakan milik para industri-industri besar, yang selalu menemukan masalah-masalah keteknisan maupun manejemen, yang tidak lain untuk meningkatkan efisiensi dan memperbesar keuntungan.
Hampir tidak ada perusahaan besar yang tidak bernafaskan “profit oriented”, begitu tegas Iskandar Budiarso Kuntoadji, pendiri yayasan IBEKA, dalam kunjungan saya ke rumah beliau. “Lalu, apakah penelitian merupakan milik masyarakat juga ?”. Secara skeptis mungkin kita akan berkata, dengan kita menyumbangkan penelitian-penelitian pada perusahaan-perusahaan besar dan bekerja untuk mereka telah memberikan manfaat untuk kehidupan mereka. Padahal di sekeliling kita terbentang masalah dan mungkin solusinya lebih friendlyuntuk dilaksanakan mahasiswa.
Saya tidak akan banyak berbicara tentang penelitian, berhubung itu matkul semester depan saya. Adanya poin ketiga tri dharma perguruan tinggi, menyebabkan satu interpretasi baru, bahwa pendidikan dan penelitian yang dilakukan harus mendukung dalam pelaksanaan poin ketiga, pengabdian masyarakat. kewajiban inilah yang mestinya disadari oleh seluruh civitas akademika kampus, baik dosen maupun mahasiswa. Kenyataannya, dunia pengabdian masyarakat masih menjadi dunia ketiga di ITB (minimal jurusan saya). Entah karena kesibukan akademik yang menekan, mengungkung inovasi dan keliaran berfikir. Entah karena ramainya kegiatan kemahasiswaan internal, menyebabkan kurangnya melihat keluar dan memupuk kegelisahan.
Mengapa harus mahasiswa ?
Kalau dipikir-pikir, mahasiswa memiliki 2 hal yang tidak semua profesi memilikinya, yaitu waktu dan tenaga. Mahasiswa masih longgar dalam memilih kesibukannya, mampu bekerja keras, kritis dan terbuka atas sebuah hal. Mahasiswa belum terikat oleh kepentingan-kepentingan lain yang memaksa mereka untuk melunturkan idealisme yang mereka pegang. Maka mahasiswa turun ke masyarakat dapat menjadi representasi pemikiran dan niat yang tulus. Bukan penghabisan anggaran ataupun pemanis untuk pemilihan.
Di ITB maupun universitas-universitas lain, terdapat banyak organisasi seperti himpunan, unit-unit, dan perkumpulan putra daerah. Perkumpulan seperti ini dapat dijadikan wadah untuk aktualisasi mahasiswa terhadap poin ketiga tersebut. Himpunan dengan basis keilmuan, memberikan solusi untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik. Unit-unit yang terspealisasi, menyajikan pengabdian sesuai dengan keahliannya. Run for Charity, Kegiatan live-in himpunan, ekspedisi pulau 3T, menjadi beberapa contoh potensi besar perkumpulan untuk kegiatan pengmas yang lebih baik. Begitupun perkumpulan putra daerah, modal mereka berupa cinta daerah dan kesadaran melahirkan inovasi-inovasi baru untuk permasalahan di daerahnya masing-masing.
Di sisi lain, ITB saat ini memiliki kebijakan baru untuk kegiatan berbasis pengabdian masyarakat. Setiap pengajuan proposal pengabdian masyarakat diajukan terpisah, memungkinkan himpunan-himpunan maupun unit mendapatkan dana yang fokus, tidak terbagi lagi oleh dana program kerja organisasi. Selain itu, terdapat pula kompetisi-kompetisi sociopreneur, PKM-PM, dan lain-lain sebagai wadah untuk dapat menimbulkan kegelisahan dan mencari solusi untuk permasalahan di masyarakat. Pertanyaannya, apakah mahasiswa punya waktu untuk melaksanakan semua itu ?
Analisis Kondisi : Melihat Feasibilitas
Akademik di ITB memang relatif berat. Mau tidak mau, selentingan bahwa ITB menyiapkan buruh-buruh handal nan profesional bisa dibenarkan. Tugas-tugas besar, praktikum-praktikum yang meminta laporan H+2 bahkan hari H itu juga, ujian hingga 5 kali dalam satu semester untuk setiap matkulnya, memaksa kita untuk berpikir 2 kali melakukan kegiatan-kegiatan pengabdian masyarakat. “Gimana mau mengabdi ? orang diri sendiri aja masih belum keurus”, sentimen yang sering datang gak sekali dua kali. Apalagi dengan waktu perkuliahan sarjana yang dibatasi 4-6 tahun, menyebabkan perbedaan berkegiatan dengan mahasiswa pada masa 90an yang bisa mencapai 8-10 tahun. Mungkin hal yang sama juga terjadi pada universitas lain di Indonesia.
Selain itu, banyak sekali wadah berorganisasi di kampus, berikut dengan kegiatan-kegiatan internal yang ada di dalamnya. Rapat anggota berkali-kali, sosialisasi kerja, lpj-lpj, forum-forum internal, semakin menambah kepadatan kegiatan kemahasiswaan. Belum orang-orang yang mengambil banyak amanah di berbagai wadah, yang sering keteteran bahkan untuk membagi dirinya di amanah-amanah yang diambil.
Alternatif Solusi Saat Ini
Dengan berbagai kondisi kesibukan mahasiswa dan tuntutan kewajiban untuk pelaksanaan pengabdian masyarakat, maka ada beberapa alternatif solusi yang dijadikan bentuk kegiatan pengbadian :
Charity
Charity bersifat temporer dan berupa pemberian barang ataupun jasa. Bentuk pengabdian seperti ini dapat dilakukan secara massal dan dengan persiapan yang sebentar. Tujuan dari charity biasanya diletakkan pada subjek pelaku charity, yaitu menumbuhan kesadaran bermasyarakat dan menumbuhkan empati terkait kondisi objek. Charity menjelma dalam bentuk donor darah, kunjungan panti, kunjungan rumah-rumah sosial. Biasanya program seperti ini dijadikan tugas-tugas kaderisasi untuk mencapai nilai-nilai yang dijalankan oleh pengkader atau sebagai program divisi untuk membuat anggota organisasi melek kondisi sekitar.
Service