Mohon tunggu...
Devy Arysandi
Devy Arysandi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Remahan Rakyat

Masih memanusiakan manusia dengan cara manusia hidup sebagai manusia yang diciptakan Tuhan untuk menjadi manusia sebaik-baiknya manusia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Apa Kabar Indonesia? (Untuk 5 Tahun)

14 Februari 2024   21:45 Diperbarui: 14 Februari 2024   21:49 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

14 Februari 2024

Pesta demokrasi yang begitu diagungkan oleh sebagian kecil masyarakat baru saja digelar tadi pagi. Di beberapa lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS), telah ramai manusia berbondong-bondong untuk membantu persiapan pertunjukan yang megah ini, banyak dari mereka yang bersusah payah bangun pagi-pagi, bahkan tidak tidur semalaman, hanya untuk hari ini. Tidak hanya itu, para petugas yang berjaga pun silih berganti mengamankan lokasi agar tidak kemalingan suara. Akhirnya, tidak sedikit dari mereka yang minta dikeroki karena masuk angin. Mungkin, di semua lokasi TPS memiliki cerita yang hampir sama dan sedikit perbedaannya. Ya karena pesta demokrasi ini bukan baru 1 atau 2 kali diselenggarakan. Calon yang akan dipilih pun bukan orang baru yang dikenal publik, bahkan ada yang sudah berkeluarga dan tengah membangun kejayaan keluarganya. 

Sungguh ironis... 

Di tengah kemodernan bangsa dengan segala kecanggihan teknologinya, rupanya masih memerlukan tangan terampil dari para masyarakat yang belum tentu dapat membaca dan menulis, bahkan berhitung saja masih menggunakan kesepuluh jarinya. Jika begitu, kenapa tidak mengerahkan teknologi canggih saja yang dibuat dengan praktis dan dapat dikontrol oleh kepintaran si pemiliknya? Apa mungkin untuk manipulasi semata? Atau ada bisnis di balik koalisi yang tengah diajukan? Padahal sama saja kan manusia dengan teknologi canggih seperti robot? Sama-sama dapat dikendalikan dengan akal dan nafsu. 

Jika menggunakan robot tidak perlu kelelahan untuk membuka satu persatu surat suara dari balik bilik-bilik reot TPS, belum lagi jika paku yang digunakan untuk mencoblos malah hilang karena dibawa oleh warga sekitar yang tengah membangun rumah, membuat pekerjaan bertambah saja, padahal belum selesai menghitung. Eitsss... tapi sepertinya tidak sesederhana itu untuk menghitung suara, jadi mari kita hormati sejenak etika dan moral yang mungkin saja masih tersisa di pesta demokrasi kali ini. 

Berbicara tentang etika dan moral sepertinya terlalu dasar untuk dibahas, lebih baik lagi jika kembali ke masa sekolah dasar. Dimana pada masa itu pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN/PpKN) masih menjadi mata pelajaran yang digandrungi oleh kebanyakan anak kecil, salah satunya adalah aku, karena mata pelajaran tersebut termasuk "mudah" dipelajari, tapi sepertinya "sulit" diteladani oleh aku, ya aku salah satunya dari komplotan penjahat yang hari ini masih duduk tenang di kursi kebesarannya. 

Masih terlalu dini untuk dilengserkan apalagi dikudeta, mungkin masih memerlukan beberapa periode lagi untuk sampai ke tahap itu. Tapi sepertinya kecil kemungkinannya karena hukum masih melindungi dan peraturan masih dapat untuk diubah dan diputuskan kembali dengan mengetuk 3 kali di depan "hak in", maksudnya hakim. 

Aku masih ingat dulu ketika pelajaran itu, banyak dari kami (aku dan teman-teman), pasti selalu mendapatkan nilai bagus dibandingkan dengan mata pelajaran lainnya, seperti matematika yang membutuhkan kecepatan menghitung ataupun Bahasa Indonesia yang membutuhkan kecermatan membaca. Dalam menjawab soal ulangan PKN, kita hanya perlu melihat nilai-nilai Pancasila yang tidak perlu kita hapal karena selalu ada dan terpajang di dinding setiap kelas. Bahkan, aku terbiasa melihat dari balik sampul bukuku yang kugunakan sebagai alas pengerjaan ketika ulangan berlangsung. 

Sebenarnya mata pelajaran PKN itu tidak lebih dan tidak kurang seperti pesta demokrasi ini, mudah untuk "dipelajari" bahkan lebih sering "termanipulasi", tapi sulit untuk "diteladani" dan akhirnya ditinggalkan nilai etika dan moralnya. Ibaratnya, cukup dilihat, dibaca, dipelajari, dan dikerjakan, setelah itu dilupakan atau memang terlupakan.

Di tengah gencarnya para guru untuk mengajar etika dan moral, ternyata banyak dari murid-muridnya, seperti aku yang sudah lupa tentang apa yang diajarkan karena terlalu banyak hal yang aku pikirkan ketika itu. Belum mengerjakan tugas 1 yang tenggat pengerjaannya 3 hari lagi, tapi aku ingin mengerjakan tugas yang tenggat pengerjaannya masih 5 hari lagi. Guruku pun hanya dapat terdiam dan melirikku sesekali karena tidak berani untuk menegur, jika menegur takut dilaporkan. Padahal aku tidak berbuat apa-apa. 

Ya begitulah sekilas tentang masa kecilku dan mata pelajaran yang sangat ku"suka"i. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun