Mohon tunggu...
Devy Arysandi
Devy Arysandi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Remahan Rakyat

Masih memanusiakan manusia dengan cara manusia hidup sebagai manusia yang diciptakan Tuhan untuk menjadi manusia sebaik-baiknya manusia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sekelumit Kisah Pilu di Pelupuk Kota Bandar Lampung

25 September 2021   19:16 Diperbarui: 25 September 2021   19:18 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri Pengmas HMSE ITERA

Kesenjangan sosial masih menjadi persoalan utama bagi mereka, segelintir orang yang harus menelan pil pahit kehidupan yang membatasi kasta antar sesamanya. Perbedaan bumi dan langit, sangat terlihat melalui potret kecil yang kami temukan lepas kemarin. 

Di Kota Bandar Lampung, Ibu Kota Provinsi Lampung yang masih menyimpan sederet cerita penuh pilu dari tangan-tangan yang legam hitam terbakar panas matahari. 

Selepas petang, masih harus ditimpa angin malam yang enggan memberikan sedikit kehangatan melalui lembaran uang receh dan uang logam yang mengisi saku. Atau mungkin, melalui sebungkus nasi berlauk seadanya yang lebih mirip dengan makanan sisa yang sudah tidak layak untuk dikonsumsi.

Tapi lagi-lagi, kami belajar dari cerita bagaimana menghargai hidup dan karunia Tuhan yang masih dititipkan sampai saat ini. Harta, kedudukan, jabatan, atau kehormatan bukan hal yang mereka cari sehari-hari. Hanya bermodalkan karung bekas dan gerobak berpapan triplek lah mereka mengukir ceritanya. 

Pasar dan jalanan menjadi tempat mereka bernaung, sekadar melepas penat dan rindu kepada keluarga yang jauh dari jangkauan. Sesekali mereka mampu untuk mengeluh, tapi keadaan sepertinya tidak mau memberikan kesempatan untuk mereka menangis. 

Padahal, dari sorot matanya, rasa lelah dan kantuk sudah mewarnai kedua korneanya, bahkan garis merah telah menyemburat di sudut matanya.

Namun, semangat dan senyumnya masih menyembul dari garis bibirnya untuk tetap terpancar. Tidak ada harapan yang istimewa dari mereka, hanya kepastian untuk bukti dari janji yang selama ini diagungkan. Perjalanan mereka kadang tersendat karena adanya pembersihan "sampah masyarakat", yang dikatakan mengotori wajah kota. 

Bukan hanya sekali dua kali kejadian itu terjadi, berkali-kali mereka harus menerima sebutan sarkas tersebut dari petugas ketertiban masyarakat. 

Sepertinya, telinga mereka sudah cukup kebal dengan kata-kata semacam itu yang dianggap sebagai angin lalu di tengah keramaian kota. Selepas pengangkutan, gerobak dan barang-barang milik mereka akan disita petugas. 

Alih-alih ingin membantu, mereka diharuskan menebusnya dengan harga yang fantastis, terbilang 300 ribu rupiah. Harga yang harus dibayarkan tidak sebanding dengan penghasilan yang mereka dapatkan.

Dalam sehari mereka hanya mampu mendapatkan penghasilan kotor, yakni 30 ribu rupiah. Belum dipotong dengan biaya makan dan biaya hidup lainnya. Hasil tersebut mereka dapatkan dari barang-barang bekas yang dikumpulkan sepanjang pasar dan jalanan yang mampu mereka lalui. 

Mereka mengatakan, bukan keinginan mereka untuk tidak berubah dan bangkit dari keterpurukan. Berdasarkan hasil wawancara, pemerintah setempat telah memberikan solusi dengan merelokasi tempat tinggal mereka dari semula di jalan dan pasar untuk dipindahkan ke suatu tempat yang terletak di daerah perbatasan.

 Akan tetapi, tempat yang ditawarkan sama sekali tidak layak untuk ditinggali oleh masyarakat pada umumnya.

Mengapa tidak?

Bayangkan saja, mereka ditempatkan di suatu pemukiman yang lebih mirip dengan tempat rehabilitasi pasien yang mengidap gangguan kejiwaan atau "orang gila". 

Belum lagi, jauhnya akses mobilitas dari pemukiman penduduk, membuat mereka berpikir dua kali untuk menerima tawaran tersebut. Akhirnya, mereka kembali menggelar alas kardus di emperan toko sebagai tempat peristirahatan.

Tinggal di jalanan bukan berarti menjadi pilihan terbaik bagi mereka, terkadang mereka harus mengalami perlakuan buruk dari preman pasar yang kerap meminta pungutan liar. 

Bahkan, barang-barang mereka yang tidak seberapa tersebut, sering raib diambil oknum tidak bertanggung jawab dan lebih parahnya lagi tindak kejahatan semacam itu harus mereka alami sepanjang hari.

Kami berharap, melalui tulisan ini pihak-pihak yang diharapkan dapat segera mengulurkan tangannya. Serta, menepati janji yang telah dibawa kemarin hari, berharap esok akan menjadi cerah kembali dan menutup sekelumit kisah pilu di Pelupuk Kota Bandar Lampung ini.

Salam Mahasiswa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun