Katanya berbudaya?
Beradat pun masih terpaut rentang kasta
Katanya berbahasa?
Berkata pun masih tak berdasar pada norma
Inikah peradaban bangsa kita untuk dunia?
Bangsa yang dikenal dengan keramahtamahan
yang masih harum akan perjuangan para pahlawan
Kini, harus tergerus karena ulah serakah penghuninya
Para manusia yang gila kehormatan
Dengan segala puja-pujinya
Berlagak layaknya seorang pemuka agama
yang mengatasnamakan manusia bertuhan
Apakah ini yang dimaksud dari penghormatan pada Sang Saka?
Bertahun-tahun melakukan tradisi yang sama
Hanya bernyanyi dan lagi-lagi bernyanyi
Tanpa tahu arti dari sebuah mimpi dan janji
Membiarkan air mata Ibu mengerak di pelipis muka
Bersama dengan kidung lara yang menganak dalam raga
Sementara, kau bungkam mulutmu dengan bayang nestapa
Padahal, semalam kau puas berpesta dan bersorak ria
Lalu...
Lalu, bagaimana dengan nasib mereka?
Mereka yang telah gugur di medan bakti selepas pagi tadi
Atau mereka yang ditembak mati dalam sidang sengketa
Semua itu, demi siapa?
Demi kita, negeri yang tak pernah tahu diri ini
Dulu, dalam riuh kekhidmatan proklamasi
Terdengar riak tangis istri yang terpaksa meranda
Dan di ujung sana, anak-anak sudah menjadi sebatang kara
Lantas, sudikah kita untuk bertukar posisi?
Coba kita renungkan sejenak dan bersenda
Untuk bertukar pikiran dan berbagi rasa
Melepas penat dan peluh dalam dada yang sama
Menggengam Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika
Bersama-sama membangun budaya dengan pondasi yang baru
Meski, dalam suasana yang berbeda
Namun, tetap dalam semangat yang membara
Inilah budaya kata kita
Puisi ini memenangkan sayembara puisi yang diselenggarakan Kampung Budaya Universitas Brawijaya pada tanggal 23-29 Agustus 2021
Mengangkat tema kebudayaan, yakni "Culture Doesn't Make People, People Make Culture"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H