Tujuh tahun yang lalu, tepat di pertengahan tahun 2014. Umurku genap berusia 12 tahun. Saat itu, aku masih duduk di bangku sekolah dasar kelas 6 SD. Aku kecil seperti halnya anak-anak kebanyakan lainnya, hari-hariku dipenuhi dengan kebahagiaan. Di sekolah, aku seringkali mendapat keistimewaan dibandingkan teman-temanku yang lain. Mungkin, karena aku termasuk ke dalam peringkat 3 besar di kelasku. Para guru dan teman-teman sangat menyayangiku. Juga perjalananku menuju sekolah yang terbilang cukup jauh, harus ditempuh selama 2 jam. Bagi anak kecil seumurku pada saat itu, hal tersebut cukup melelahkan. Setiap hari dan secara terus-menerus, sehingga waktuku di rumah terasa begitu cepat. Meski begitu, ada mama dan papa yang sangat mengerti keadaanku dan merekalah sumber semangatku sampai saat ini.
Papa selalu mengajarkanku untuk menjadi anak yang mandiri, tidak bergantung pada orang lain. Dibanding mama aku lebih dekat dengan papa karena setiap hari aku lebih sering menghabiskan waktu dengannya. Ia selalu mencukupi kebutuhanku, tapi dengan syarat aku juga harus memenuhi kewajiban dan tugasku. Tidak begitu saja papa menuruti kemauanku. Jika, papa dibandingkan dengan papa teman-teman yang lain, mungkin ia termasuk sosok yang sangat keras. Namun, hatinya begitu lembut. Aku bangga memiliki papa sepertinya, walaupun ia bukanlah papaku yang sebenarnya.
Hingga suatu ketika, kelabu itu datang menjemput, di sore hari pada tanggal 14 Mei 2014. Satu hari yang tidak bisa aku lupakan sampai hari ini. Tiba-tiba hari itu menjadi gelap, padahal dari pagi aku merasa begitu bahagia. Senja yang mengiba bagi diriku dan mama. Tak bisa aku membayangkan, bagaimana posisiku saat itu. Sedang berada di perjalanan, melepas penat, setelah seharian berutinitas. Kabar itu datang, memberi kejutan. Ada seseorang yang memberikan aku kabar, bahwa papa telah berpulang keharibaan-Nya.
Aku sontak melepas telepon dari genggamanku. Tak percaya akan kabar tersebut, aku merenung seorang diri. Tak lama, aku memberi kabar pada tanteku. Pada saat itu, aku belum berani memberi kabar pada mama. Jelas, aku sangat terpukul, benar-benar aku tak menyangka papa pergi begitu cepat. Padahal, ia berjanji akan menjemputku kembali, setelah pulang dari rumah sakit. Memang sudah seminggu ini, papa dirawat karena penyakitnya kambuh.
Sesampainya aku di rumah, aku melihat mama menangis di sudut kamar. Aku yang sebelumnya belum bisa menangis, seketika tak kuasa menahan bulir mata ini. Malam itu, menjadi malam yang menggetirkan untuk aku dan mama. Kehilangan seseorang yang amat berarti dan begitu dicintai. Malam itu, beriringan dengan turunnya hujan. Sebagai tanda alam turut menangis karena kesedihan yang menimpa kami.
Sejak saat itu, kehidupan aku dan mama terasa hampa, seringkali aku menemui mama yang duduk menyendiri. Tatapannya kosong, dari sudut matanya mengalir air mata. Tak sanggup aku melihat keadaan mama saat itu. Bukan hanya mama yang terpukul atas kepergian papa, aku juga merasakannya. Terlebih 5 hari kemudian, aku harus menempuh Ujian Nasional. Berat rasanya, memperjuangkan cita-cita hanya dengan satu tangan.
Aku berusaha untuk selalu tegar di hadapan mama, padahal hatiku menangis. Aku tak ingin melihat air mata itu jatuh lagi untuk kesekian kalinya. Cukup aku kehilangan papa, bukan mama. Aku belajar siang dan malam, demi mempersiapkan ujianku. Lelah, letih, ditambah lagi sedih yang menimpa. Acap kali membuat aku terjatuh dan aku bangkit kembali. Semua itu kulakukan demi mama dan papa.
Tiba saatnya, pengumuman kelulusan. Mama tidak bisa mendampingi, aku seorang diri ke sekolah. Di sana telah ramai teman-temanku, membawa serta mama dan papanya. Mataku tertuju pada kain rentang yang terbentang di pelataran panggung. Bertuliskan, "Mari Kita Sambut Para Juara Permata Bangsa". Aku sangat berharap dapat naik ke panggung dan menjadi juara terbaik dari yang terbaik.
Pengumuman dibacakan, tak kusangka aku masuk ke 5 besar terbaik di sekolahku. Suatu pencapaian yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, padahal ketika ujian berlangsung aku hanya berniat untuk lulus dengan baik. Tapi, Kuasa memberikan yang lebih dari itu. Kepala sekolah mengalungkan medali dan memberi penghargaan. Para guru dan teman-teman menyambut dengan sorak bergembira. Ikut merayakan hari bahagia itu.
Ketika saatnya aku diberikan kesempatan untuk berkata. Aku berbicara, sepatah dua patah kata, tak kusadari air mata jatuh membasahi pipi kananku. Para pendengar yang berada di depanku, semula riuh, seketika hening. Mereka seperti mencoba menyelami setiap kata yang kulontarkan. Terakhir kali, aku berkata, "Semua ini untuknya yang jauh di sana". Tepuk tangan menghujaniku, mereka terbawa haru dan aku tak sanggup lagi berkata.
Bagiku papa adalah pahlawan pendidikanku, ia yang mengajariku untuk menjadi orang yang berguna. Ia selalu berpesan, untuk aku selalu rajin belajar, tidak menyerah pada keadaan. Meski, sesulit apapun dan tanpa dirinya sekalipun. Papa motivasi dalam hidupku yang menjadi mentor dalam perjalanan asaku. Meski, aku dan papa berada pada dimensi yang berbeda. Tapi, jalinan hati kami selalu menyatu, meskipun di perbatasan kehidupan dan kematian. Â
Untuk kalian, sesulit apapun keadaan raihlah mimpimu. Meski, terasa mustahil sekalipun. Percayalah, Tuhan tidak pernah tidur dan senantiasa membantu hamba-Nya yang sabar. Begitu pun aku, tetap memperjuangkan pendidikanku demi papa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H