Pesta demokrasi memang sudah di depan mata, tabuhan gendrang kemenangan dapat dipastikan akan segera sampai ke telinga semua orang, tapi bukan besok waktunya, Kawan.
Namun, euforianya telah terasa dari minggu kemarin, ditandai dengan kesibukan tukang-tukang yang silih berganti memasang pondasinya satu persatu. Iya, mereka tengah memasang sebuah papan besar bertiang tinggi dengan diameter bervariasi. Papan besar itu sangat akrab dengan semarak pesta demokrasi di negeri ini. Apalagi kalau bukan baliho-baliho politisi.
Keberadaan baliho-baliho itu sudah membuat geger masyarakat sekitar, tak terkecuali saya yang tidak sengaja melihatnya secara langsung. Mereka telah berjejer rapi di tepian jalan, berbaris dengan pepohonan rindang berseberangan. Tentunya, hal ini mempersempit badan jalan karena tidak sedikit lahan trotoar pejalan kaki yang terpaksa dikikis untuk mendirikan baliho-baliho itu. Tanpa permisi terlebih dahulu, mereka berdiri dan sampai sekarang? Mereka tak mau pergi.
Berbeda halnya dengan pengusiran pedagang kaki lima yang sedang mencari nafkah tempo hari. Mereka diusir dengan bengis karena tidak dilengkapi surat izin pemakaian lahan "negara". Sungguh berbeda perlakuan manusia di negeri kami yang tercinta ini.
Saya pikir, negeri ini sudah jauh berkembang menjadi negeri yang penuh dengan persiapan, sampai-sampai tidak sabaran menyambut pesta demokrasi miliknya. Padahal, pandemi  saja belum juga usai sampai hari ini dan masih membubuhkan tanda tanya yang besar.
Baliho-baliho yang bertengger dengan gagahnya dan membawa senyuman mentereng dari seseorang pelakon di dalamnya. Membawa serta, slogan-slogan indah nan merayu, guna menarik setiap lirikan mata yang memandang. Tapi, siapa sangka terselip kisah haru yang tak bisa diungkapkan oleh kebanyakan orang berpemikiran pendek.
Pada siang hari, warna baliho-baliho itu akan menyatu dengan teriknya matahari. Merah yang menyala, kuning yang mewah, hijau yang mengalam, dan biru yang berpendar dengan langit. Sampai malam hari menjelang, baliho-baliho itu tidak akan kegelapan karena tersorot lampu jalanan yang menambah aura magis di dalamnya.
Sementara, kegelapan masih tersirat di sudut kota, tepatnya untuk pemukiman penduduk yang tidak mampu membayar listrik.
Tapi, Kawan, tidak ada yang salah dengan baliho-baliho itu.
Hanya saja terasa aneh untuk dicerna dengan akal sehat. Bagaimana tidak? Di masa pandemi yang masih menjerat rakyat, mereka sudah sibuk berkonfrontasi. Mungkin saja, mereka mempunyai waktu lebih dan sudah tidak sabar menduduki posisi orang nomor satu di Indonesia.
Inikah yang dinamakan kerja nyata? Iya, nyata dengan kehendak sepihak yang mendahului waktunya.Â
Tidak apa sudah memasang baliho, tapi jangan lupa dengan tugas yang masih diemban sampai saat ini. Kebanyakan dari mereka lalai dengan kewajiban karena sibuk dengan urusan yang baru. Lantas ke mana janji-janji itu akan direalisasikan? Akankah terulangi menjadi nasib serupa yang berkelanjutan di negeri ini?
Siapa lagi yang akan segera menyusul mendirikan balihonya? Jargon apalagi yang akan diusung? Senyuman seperti apa yang akan digambarkan kepada kami? Remahan rakyat yang tak terlihat, jika dibandingkan dengan postur baliho yang jauh lebih besar.
Akhir kata, semoga baliho-baliho politisi itu telah dilunasi terlebih dahulu sebelum matahari kembali menyungging senyumnya.
Terima Kasih dan Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H