Jantung pertiwi disematkan kepada kota beribu ini...
Siapa yang tidak mengenal Jakarta? Mungkin, semua orang akan tahu nama Jakarta. Meskipun, belum pernah berjumpa dengannya secara langsung.
Kota yang telah lama berdiri sejak ratusan tahun lalu itu, tidak pernah kehabisan cerita untuk diperdengarkan. Setiap orang yang bertandang akan dibuat penasaran untuk segera menjamah muka buminya. Sekadar liburan atau menetap mencari pundi-pundi rupiah.
Secara lahiriah, Jakarta tumbuh menjadi kota yang ramah, sekaligus keras bagi penduduknya. Perangainya yang tak mampu diduga oleh persepsi manusia biasa, selalu menyiratkan kesan pada setiap pesan yang disampaikan.
Arti dari sebuah kebinekaan, dapat kita rasakan di kota ini. Peleburan budaya bukan hal yang baru untuknya. Perkawinan antar suku, agama, ras, dan adat yang berbeda akan dengan mudahnya kita temui di sini.
Siapapun yang memandangnya, pasti akan terkagum dengan kebesaran hatinya.
Terlepas dari sikap apatisme dan egoisme dari penduduknya, Jakarta tetaplah kota yang sama dengan yang lainnya. Hanya saja, perlakuan istimewa dapat terlihat untuknya. Ketika kita menyaksikan orang-orang yang berbondong-bondong merantau dan menepi di bibir haluannya.
Ada yang menggunakan kereta api, kapal laut, pesawat atau mungkin hanya bermodalkan alas sendal jepit untuk sampai ke depan perbatasan. Padahal, mereka belum tahu tujuan sebenarnya untuk datang kemari. Mau apa dan hal apa yang akan dilakukan ke depannya.
Namun, lagi-lagi saya dibuat kagum oleh Jakarta, daya tariknya mampu membutakan setiap mata untuk berani melangkahkan kaki keluar dari desa. Tidak heran, jika setiap rumah yang berjejer di kawasan elit, perkantoran, pertokoan, bahkan perkolong jembatanan. Dapat kita temukan jawaban yang sama dari setiap kepolosan mereka.
Jawabannya, karena Jakarta adalah tulang punggung untuk negeri.
Jakarta memang tidak memberikan syarat khusus bagi perantau yang baru atau sudah lama menetap di tempatnya. Tidak memandang perbedaan kulit, mata, atau silsilah keluarga. Semuanya sama saja, tidak ada perbedaan yang harus ditonjolkan di sini karena permulaan tidak akan selalu sama dengan perjalanan akhirnya.
Hamparan kebinekaan itulah yang indah untuk dilihat. Meskipun, masih ada lalat-lalat busuk yang hinggap di atas keindahan itu, tapi Jakarta tetap menjadi primadona. Bagi Jakarta, arti kebinekaan bukan hanya mengenalkan perbedaan. Lebih dari itu, perbedaan tersebut akan menjadi warna tersendiri.
Sama halnya dengan barisan warna dalam spektrum cahaya, terdapat urutan yang sudah digariskan sebelumnya. Itulah arti kebinekaan untuk Jakarta.
Dengan perbedaan, ia ciptakan kesempatan untuk setiap harapan yang diusung oleh penduduknya. Baik itu, muda ataupun tua, mereka berhak berkompetisi di sini. Ketika kita melihat kesenjangan yang terjadi, itu bukan kesalahan Jakarta, tapi mereka yang belum diajarkan kebinekaan semasa pendidikan.
Fakta yang dapat kita lihat adalah ketika kita berkunjung ke pusat kota, tepatnya di kawasan pemerintahan. Di sana terdapat dua tempat peribadatan yang berhadapan satu sama lain.Â
Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral menjadi contoh terbesar dalam penghormatan agama bagi pemeluknya. Mereka mampu hidup berdampingan, meski berbeda dalam hal penafsiran ketuhanan.
Atau ketika kita melihat sekolah yang berbaur antara pribumi dan kaum etnis. Mereka bersekolah, berseragam, dan belajar dengan cara yang sama. Tidak ada perbedaan budak atau majikan di dalamnya.
Inilah Kebinekaan yang sesungguhnya...
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H