Maaf karena aku terlambat...
Kebisingan mulai menderu dari balik kerumunan seng berkarat yang berbaris rapi di seberang sana. Bersahutan dengan laju kereta yang kerap mendesing dari balik tembok pembatas, menandakan keberangkatan seribu kaki di dalamnya. Disertai  pula dengan poros putar yang senantiasa berpijak pada sebongkah besi tua peninggalan para penjajah. Mengawali pagi di setiap hari, saat fajar membersit senyum di balik Gedung BNI 46 yang memuncak di atas awan. Memancarkan sinar dari pantulan efek rumah kaca yang menyilaukan setiap mata ketika menatap.
Di lain sisi, anak-anak sekolah mulai berhamburan keluar, mengenakan handuk yang dililitkan pada pinggangnya. Sembari, menjinjing gayung bergambar di tangan kanannya. Mereka berlarian tergesa-gesa untuk merebutkan kupon antrian MCK. Sebab, ibu mereka telah bersiaga di depan pintu sedari tadi, guna mendata pengeluaran untuk makan sehari-hari. Berlagak layaknya seorang marinir yang memimpin serdadu di pertempuran Pearl Harbor pada masa sebelum kemerdekaan. Di samping rumah, bapak sedang sibuk mengajak main burung kesayangannya yang kerap bersuara. Meski, tak payah mengeluarkan kalimat yang jelas, hanya siulan yang berhembus terbawa angin dan debu. Sebuah realita kehidupan elite yang disematkan untuk kota ber-ibu ini. Berkembang menjadi tempat dimana denyut nadi manusia saling bertaut untuk memberi nyawa pada jiwa yang datang mengadu.
Di sudut persimpangan Tomang kendaraan berlalu lalang, saling mengejar di arena sirkuit untuk memenangkan olimpiade tahunan. Menjadi pusat tatapan mata para penonton yang bersorak dan melambaikan bendera. Cahaya lampu jalan yang menyatu, berpendar dengan sinar mentari dan berhasil menciptakan sebuah ilusi optik yang begitu cantik. Sama cantiknya dengan senyuman papa di malam Desember kala itu. Ketika kita masih bisa bercengkrama di muka, sambil menghirup aroma kopi tubruk buatan pakde. Berbincang kecil tentang problematika Jakarta yang tak pernah habis dimakan usia. Meski, telah berulang tahun ratusan kali dan menghabiskan jutaan batang lilin di setiap perayaannya.
Papa adalah sosok yang begitu sederhana, tiada tara kiranya aku dapat melukiskan figurnya yang amat kukagumi. Walaupun, aku bukanlah darah daging papa, tapi papa menyayangiku layaknya seorang ayah kandung. Seakan, dalam tubuh ini mengalir darah dari hasil pembuahannya terdahulu. Kebersamaan yang kita lewati selama ini, telah menorehkan rasa abadi dalam hati. Papa tidak pernah berhenti menjaga kami, untuk menjaga aku dan mami tanpa batas waktu. Mungkin, aku terlalu bodoh sampai aku tidak menyadari, malaikat tanpa sayap yang turun dari surga menemuiku lima belas tahun yang lalu. "Pah, masih ingatkah akan perjumpaan kita yang pertama?" Ucapku dalam doa. Â
Papa selalu mengajariku akan artinya sebuah kehidupan, dalam cerita yang selalu ia perdengarkan kepadaku setiap malamnya. Ketika kita menyusuri Jalan Kali Besar di dekat Kota Tua atau sekadar duduk di pinggir trotoar Stasiun Kota, sambil menyantap kudapan berbungkus daun pisang khas Kota Gudeg, Yogyakarta. Katamu, "Kamu harus ingat, kita hidup bukan dengan kehendak kita sendiri. Melainkan, karena ada tujuan yang harus kita capai. Meskipun, terlihat klise bagi setiap orang, tapi inilah kehidupan." Terdengar begitu manis, ditambah lagi dengan raut wajah papa yang tidak henti-hentinya menebar senyum pada rembulan malam.
"Menggenggam seutas tali, tidak akan sanggup membawa kita sampai ke puncak Monas. Tapi dengan menaiki tangga meski harus terjatuh di antara undakannya, kita akan sampai kesana." Petuah papa yang tak pernah kulupakan, saat kita menatap langit untuk memantau keadaan bintang yang melamun menanti pagi. Di balik kemegahan Monas dengan hiasan ornamen yang larut dalam keriuhan suasana Metropolitan. Meninggalkan sejenak ambisi dan segala aturan yang apatis. Papa membawaku untuk menyelami kehidupan, sebagai manusia yang sedang berusaha untuk menumbuhkan budi pekerti.
 Tidak peduli orang itu siapa, berlatang belakang apa, papa akan memperlakukannya dengan cara yang sama. Hal itu selalu ia contohkan, setiap kali aku dan papa berpergian, papa tidak pernah menunjukkan identitasnya sebagai seorang perwira. Papa justru lebih terlihat sebagai orang biasa yang mengenakan kaus dan celana pendek, tanpa membawa pistol atau borgol di saku celananya. Kata papa, supaya tidak berat karena membawa badan sendiri saja sudah sering mengeluh lelah. Kesederhanaan papa mengetuk pintu hatiku yang selama ini selalu melihat ke atas dan kerap memelas lebih.
Pernah suatu hari, aku berkata padanya, "Kasihan sekali ya, malam-malam begini masih harus bekerja yang berat."Â
"Itulah fungsinya hidup, terkadang kita ada di atas dan kadang kita ada di bawah, seperti roda yang berputar," papa menimpaliku, seraya menunjuk pekerja galian yang sedang mengelap keringatnya.Â
"Tapi negeri ini kaya, kenapa masih tidak bisa membuat keadaan yang sama dengan yang lainnya?" Sanggahanku pada pernyataan papa.Â
"Jika mereka tidak ada, siapa yang akan mengerjakan pekerjaannya. Apa kamu pikir bos-bos berdasi itu, sudi menggantikan peran mereka," papa memberikan jawaban yang termaktub dalam batinku.Â
Kenyataannya memang seperti itu, hidup tidak bisa ditebak bagaimana alur ceritanya. Sebab, penulis skenarionya adalah seorang sutradara yang tiada tanding. Bukan lagi memenangkan satu atau dua penghargaan penulisan, tapi sudah dinobatkan menjadi satu-satunya juara. Lain halnya dengan sinetron atau film yang kerap kita tonton, bisa saja kita menebaknya dengan membaca sinopsis atau menonton trailernya. Memikirkan segala tingkah tanduk manusia, aku heran kenapa papa tercipta sebagai manusia yang begitu sederhana.
Papa berdiri tegap dalam setiap apel atau upacara di kantornya. Mengenakan pakaian dinas, lengkap dengan atributnya. Disematkan pula, sebuah tanda pengenal sebagai bentuk kehormatan dan bersanding dengan Burung Garuda yang bertengger gagah di bagian depan dadanya. Bagi papa, menjadi seorang abdi negara adalah tugas yang paling berat. Sebab, ia harus bisa mengayomi masyarakat dan melindungi haknya dengan baik. Meskipun, bahaya akan selalu menghadang dan mengikuti setiap langkah kaki papa ketika bertugas.
 Sampai suatu ketika, papa mengalami suatu insiden. Kaki papa terluka terkena pecahan kaca, saat tengah mengejar kawanan pengedar narkoba di salah satu daerah terpencil yang aku sendiri tidak tahu persisnya. Itulah yang aku kagumi dari papa, ia tidak pernah mengatakan kejadian-kejadian buruk yang ia alami. Perihal kecelakaan itu, kami baru mengetahuinya setelah papa kembali ke rumah dengan keadaan kaki yang dibalut kain perban. Papa tetap berusaha mengendarai motornya, seolah tidak terjadi apa-apa.
Sejak saat itu, papa tidak bisa lagi berjalan sempurna, kakinya pincang karena luka yang serius. Sebenarnya, saat itu kaki papa harus segera diamputasi untuk memutus penyebaran infeksi di saraf ototnya. Tapi papa enggan mengambil keputusan itu karena papa berpikir, jika ia kehilangan kakinya ia tidak dapat lagi mengajakku berkeliling dengan motornya. Meskipun begitu, papa tetap menjalankan tugasnya dengan baik, sebagai bukti ketulusannya dalam mencintai pekerjaan. Aku belajar banyak dari sosok papa yang tak pernah aku mengerti jalan pikirnya.
Papa terpaksa dipindahkan dari bagiannya yang lama karena mengingat kondisi papa yang tidak lagi memungkinkan ada di dalamnya. Papa lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam ruangan. Padahal, aku tahu papa sangat menyukai lingkungan masyarakat, dia tidak terlalu senang untuk duduk saja selama bekerja. Berat rasanya untuk papa menanggalkan jabatannya, meskipun digantikan dengan kenaikan pangkat. Tapi bukan itu yang papa cari, papa hanya ingin menjalani suatu pekerjaan sesuai dengan nuraninya.
Tujuh tahun sudah berlalu, kusambangi lagi rumah baru papa. Melewati jalan berbukit, aku berkendara jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Di sini tidak akan terdengar bunyi klakson iring-iringan presiden, hanya akan ada ketenangan yang mengisi ruang hati. Seakan memanjakan gendang telinga dan pikiran yang suntuk mengejar dunia. Papa memang pintar dalam hal memilih, ia sengaja memesan tempat ini agar dapat beristirahat dan tidur dengan tenang.
Ilalang dan sekawanan rumput teki sudah tumbuh subur di pinggir pagarnya. Kucabuti perlahan agar tidak sakit pada tanah yang tertancap ujung akarnya. Sedikit demi sedikit, akhirnya berkurang dan bersih kembali. Halaman rumah papa sudah berseri seperti senyumnya yang dulu. Aku membungkukkan pandanganku di pinggir tempat tidur papa. Kulepaskan kacamata hitam yang tersangga di daun telingaku dan meletakkannya dalam apitan buku yasin yang kubawa. Membuka kembali lembaran suci untuk kulantunkan pada kuasa-Nya sebagai buluh perindu.
Tak terasa, bulir air mata ini mulai berjatuhan. Jatuh secara bergantian, membasahi tempat tidur papa. Rasanya senang sekali, bisa menjenguk papa di pergantian tahun kali ini. Sebelumnya, aku berulang kali mengingkari niatku untuk datang. Kesibukanku lagi-lagi menjadi penghalang, aku belum bisa menjadi contoh seperti papa. Aku kesini untuk memenuhi janjiku sore itu, aku membawa hadiah yang akan kutunjukkan pada papa. Sebuah baju wisuda hasil kerja kerasku menempuh pendidikan, tidak lupa almamater kuning yang bertuliskan, "Universitas Indonesia" seperti papa dahulu.
Maaf aku terlambat pah, terlambat untuk menyadari kehadiranmu dalam hidupku. Aku yang terlalu memikirkan diriku sendiri, tanpa pernah menganggapmu lebih dari orang lain. Maaf aku terlambat, memenuhi keinginanmu selama ini, aku terlambat memberikan panggilan yang seharusnya untukmu. Agar kau tidak terkesan sebagai orang lain dalam hidupku. Maaf karena aku terlambat...
Kelalaianku dalam menyadari anugerah-Nya telah membawaku sampai kepada tititk penyesalan yang teramat sangat. Aku terlalu lama belajar untuk terbiasa dengan keadaan, sampai Tuhan tidak sabar lagi memberiku waktu untuk belajar memanggilmu papa.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H