Mohon tunggu...
Devy Arysandi
Devy Arysandi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Remahan Rakyat

Masih memanusiakan manusia dengan cara manusia hidup sebagai manusia yang diciptakan Tuhan untuk menjadi manusia sebaik-baiknya manusia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Peluk Rindu dalam Kehangatan Rembulan Sendu

5 Agustus 2021   17:30 Diperbarui: 5 Agustus 2021   17:32 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Jika mereka tidak ada, siapa yang akan mengerjakan pekerjaannya. Apa kamu pikir bos-bos berdasi itu, sudi menggantikan peran mereka," papa memberikan jawaban yang termaktub dalam batinku. 

Kenyataannya memang seperti itu, hidup tidak bisa ditebak bagaimana alur ceritanya. Sebab, penulis skenarionya adalah seorang sutradara yang tiada tanding. Bukan lagi memenangkan satu atau dua penghargaan penulisan, tapi sudah dinobatkan menjadi satu-satunya juara. Lain halnya dengan sinetron atau film yang kerap kita tonton, bisa saja kita menebaknya dengan membaca sinopsis atau menonton trailernya. Memikirkan segala tingkah tanduk manusia, aku heran kenapa papa tercipta sebagai manusia yang begitu sederhana.

Papa berdiri tegap dalam setiap apel atau upacara di kantornya. Mengenakan pakaian dinas, lengkap dengan atributnya. Disematkan pula, sebuah tanda pengenal sebagai bentuk kehormatan dan bersanding dengan Burung Garuda yang bertengger gagah di bagian depan dadanya. Bagi papa, menjadi seorang abdi negara adalah tugas yang paling berat. Sebab, ia harus bisa mengayomi masyarakat dan melindungi haknya dengan baik. Meskipun, bahaya akan selalu menghadang dan mengikuti setiap langkah kaki papa ketika bertugas.

  Sampai suatu ketika, papa mengalami suatu insiden. Kaki papa terluka terkena pecahan kaca, saat tengah mengejar kawanan pengedar narkoba di salah satu daerah terpencil yang aku sendiri tidak tahu persisnya. Itulah yang aku kagumi dari papa, ia tidak pernah mengatakan kejadian-kejadian buruk yang ia alami. Perihal kecelakaan itu, kami baru mengetahuinya setelah papa kembali ke rumah dengan keadaan kaki yang dibalut kain perban. Papa tetap berusaha mengendarai motornya, seolah tidak terjadi apa-apa.

Sejak saat itu, papa tidak bisa lagi berjalan sempurna, kakinya pincang karena luka yang serius. Sebenarnya, saat itu kaki papa harus segera diamputasi untuk memutus penyebaran infeksi di saraf ototnya. Tapi papa enggan mengambil keputusan itu karena papa berpikir, jika ia kehilangan kakinya ia tidak dapat lagi mengajakku berkeliling dengan motornya. Meskipun begitu, papa tetap menjalankan tugasnya dengan baik, sebagai bukti ketulusannya dalam mencintai pekerjaan. Aku belajar banyak dari sosok papa yang tak pernah aku mengerti jalan pikirnya.

Papa terpaksa dipindahkan dari bagiannya yang lama karena mengingat kondisi papa yang tidak lagi memungkinkan ada di dalamnya. Papa lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam ruangan. Padahal, aku tahu papa sangat menyukai lingkungan masyarakat, dia tidak terlalu senang untuk duduk saja selama bekerja. Berat rasanya untuk papa menanggalkan jabatannya, meskipun digantikan dengan kenaikan pangkat. Tapi bukan itu yang papa cari, papa hanya ingin menjalani suatu pekerjaan sesuai dengan nuraninya.

Tujuh tahun sudah berlalu, kusambangi lagi rumah baru papa. Melewati jalan berbukit, aku berkendara jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Di sini tidak akan terdengar bunyi klakson iring-iringan presiden, hanya akan ada ketenangan yang mengisi ruang hati. Seakan memanjakan gendang telinga dan pikiran yang suntuk mengejar dunia. Papa memang pintar dalam hal memilih, ia sengaja memesan tempat ini agar dapat beristirahat dan tidur dengan tenang.

Ilalang dan sekawanan rumput teki sudah tumbuh subur di pinggir pagarnya. Kucabuti perlahan agar tidak sakit pada tanah yang tertancap ujung akarnya. Sedikit demi sedikit, akhirnya berkurang dan bersih kembali. Halaman rumah papa sudah berseri seperti senyumnya yang dulu. Aku membungkukkan pandanganku di pinggir tempat tidur papa. Kulepaskan kacamata hitam yang tersangga di daun telingaku dan meletakkannya dalam apitan buku yasin yang kubawa. Membuka kembali lembaran suci untuk kulantunkan pada kuasa-Nya sebagai buluh perindu.

Tak terasa, bulir air mata ini mulai berjatuhan. Jatuh secara bergantian, membasahi tempat tidur papa. Rasanya senang sekali, bisa menjenguk papa di pergantian tahun kali ini. Sebelumnya, aku berulang kali mengingkari niatku untuk datang. Kesibukanku lagi-lagi menjadi penghalang, aku belum bisa menjadi contoh seperti papa. Aku kesini untuk memenuhi janjiku sore itu, aku membawa hadiah yang akan kutunjukkan pada papa. Sebuah baju wisuda hasil kerja kerasku menempuh pendidikan, tidak lupa almamater kuning yang bertuliskan, "Universitas Indonesia" seperti papa dahulu.

Maaf aku terlambat pah, terlambat untuk menyadari kehadiranmu dalam hidupku. Aku yang terlalu memikirkan diriku sendiri, tanpa pernah menganggapmu lebih dari orang lain. Maaf aku terlambat, memenuhi keinginanmu selama ini, aku terlambat memberikan panggilan yang seharusnya untukmu. Agar kau tidak terkesan sebagai orang lain dalam hidupku. Maaf karena aku terlambat...

Kelalaianku dalam menyadari anugerah-Nya telah membawaku sampai kepada tititk penyesalan yang teramat sangat. Aku terlalu lama belajar untuk terbiasa dengan keadaan, sampai Tuhan tidak sabar lagi memberiku waktu untuk belajar memanggilmu papa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun