Mohon tunggu...
Devy Arysandi
Devy Arysandi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Remahan Rakyat

Masih memanusiakan manusia dengan cara manusia hidup sebagai manusia yang diciptakan Tuhan untuk menjadi manusia sebaik-baiknya manusia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Janji yang Bercerita

21 Juli 2021   21:27 Diperbarui: 21 Juli 2021   21:43 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tuhan tidak pernah salah menitipkan pesan pada hujan, seperti halnya malam ini. Hujan yang turun dengan keikhlasan, membawa kesejukan untuk bumi yang terlalu tandus. Tapi, malam ini hujan datang terlambat dari waktunya. Mungkin, ia tersendat dalam perjalanan karena harus melalui lapisan awan dan kabut malam yang gelap. Meski begitu, ia tidak pernah lupa akan janji dan tugasnya untuk mengantarkan titipan Tuhan pada semesta. Sehingga, semesta pun senantiasa menantinya, walaupun terbilang cukup melelahkan...

            Si Merah lagi-lagi mengganggu indra pendengaranku, suaranya terlalu nyaring dan cempreng, serupa kaleng bekas yang datang ke tempat pengepulan Pakde Toni tadi pagi. Bajaj kecil bermulut monyong itu bertubuh gempal, milik opung baik yang tinggal di gang sebelah rumahku. Hanya opung yang baik karena bajaj itu terlalu kurang ajar, ia tidak pernah merasa bahwa dirinya telah mengganggu banyak orang termasuk aku dan pemiliknya. Saat pulang, ia tidak pernah permisi untuk lewat di depan wilayah kekuasaanku ini. Padahal, sudah jelas kamarku berada persis di pinggir jalan yang biasa ia lalui. Tapi, seperti dalam dugaan, ia memang tidak punya iktikad untuk bersopan santun pada siapapun.

            Belum berhenti mengumpat, telingaku mengusung pemberontakan karena terlalu lama disumpal guling kapuk yang membuatnya kepanasan. Di tambah lagi dengan sorotan lampu belajarku yang berbohlam kuning, membuat badan ini semakin berat untuk ditopang. Akhirnya, aku lebih memilih untuk menjatuhkan diri dan tepat mengenai pegas berkarat di bawah ranjang kasurku. Ranjang kasur yang lebih menyerupai seorang biduan, mungkin juga sinden karena kerap kali bergoyang ke kanan dan ke kiri setiap mendapat hentakan, seperti ditabuh gendang. Dan ketika aku mencoba menghirup nafas panjang, serta menghembuskannya perlahan dengan maksud untuk merilekskan isi kepalaku yang terlanjur berasap. Udara yang kuhirup malah berganti dengan embusan udara dari lubang bagian bawah, bersamaan dengan bau tai yang mulai menyengat.

            Menghabiskan malam seperti ini adalah hal yang paling membosankan untuk aku yang sudah bertahun-tahun menjadi anak manusia dari pasangan suami istri, bernama Solihin dan Siti. Saat itu, seharusnya Siti melahirkan dengan bantuan seorang dukun beranak yang bernama Mak Eros. Mak Eros sendiri merupakan seorang dukun beranak yang merangkap menjadi tukang pijat karena kemampuannya yang dipercaya mampu memecahkan masalah peruratan. Kepercayaan yang menjamur di kalangan pribumi seperti kami, di tengah kemodernan yang berangsur berkembang. Aku lahir saat hujan tengah mengguyur Ibu Kota, tepat pada tetesan ke-126 dari atap rumahku yang mengalami kebocoran, tapi untungnya tidak rubuh. Di tengah deraan hujan yang dingin, saat sunyi ingin mengelabui keramaian kota, Solihin dan sandal jepit kuning berlari menuju kediaman Mak Eros. Malam itu, Tuhan memang menitahku untuk turun ke bumi bersama-Nya, Mak Eros pun sudah duduk di beranda rumahnya sembari melentingkan puntung rokok kretek. Belum sempat menyalakan, Mak Eros tergopoh-gopoh menghampiri Solihin yang kedinginan dengan maksud ingin menghangatkan. Akan tetapi, Solihin lebih dulu mengambil bagian dengan menarik tangan Mak Eros, tapi bukan untuk menari dalam hujan seperti serial India. Melainkan, berlari untuk mengejar ketertinggalan Tuhan.

            Namun, rupanya Tuhan lebih cepat sampai daripada langkah sandal jepit kuning Solihin, apalagi jika dibandingkan dengan kerentaan Mak Eros. Sesampainya di kamar, dilihatnya Siti tengah menggendong segumpal daging yang berlumuran darah dan masih kemerahan, dengan balutan kain kuning bercorak tumpal. Sontak saja, Solihin dan Mak Eros terkejut melihatnya karena Siti berhasil melahirkan tanpa bantuan tangan manusia. Padahal, saat ditinggalkan, air ketuban Siti telah membanjiri kasur dan selimut. Melihat kejadian itu, mereka pun percaya, bahwa Tuhan telah menurunkan kakinya dari singgasana surga dan diam-diam menyelinap masuk, untuk membawa dukun beranak yang ia pesan dari atas awan.

Gumpalan daging itulah yang lahir sebagai bayi manusia dengan sebuah tanda lahir di pinggir pantat sebelah kanannya. Tanda lahir yang lebih mirip dengan telor ceplok berwarna hitam nan legam, tapi terlihat manis di tubuh mungil Si Bayi. Siti pun meminta Solihin untuk mendengungkan adzan, tepat pada pukul tiga dini hari waktu setempat. Selama mengadzankan, Solihin tidak henti-hentinya melukis senyuman, yang lama-kelamaan terlihat sama dengan senyuman bayinya. Gigi putih Solihin berbaris rapi di balik bibirnya yang menyungging merekah. Kelahiran Si Bayi tepat di sepertiga malam, dimana sepertiga malam dikenal sebagai waktu yang baik untuk meminta segala doa dalam doa. Solihin dan Siti pun berharap demikian, mereka berdoa pada Tuhan dalam satu waktu dan meminta, agar kelak Si Bayi menjadi seseorang yang dapat diharapkan di masa depan.

            Minggu yang cerah, waktunya anak-anak sekolah beristirahat dari kepenatan tugas negara yang harus diemban setiap minggunya. Sama halnya denganku, hari ini aku tidak harus berangkat ke sekolah pagi-pagi buta dan ibu juga tidak harus menimba air untuk menyiram mimpiku. Selepas Salat Subuh aku dapat melanjutkan mimpi dengan berselimut ria. Hanya seminggu sekali aku bisa merasakan hal seperti ini. Setiap harinya aku harus bangun lebih pagi dari Jago Si Ayam Petarung dan tidur lebih larut daripada Si Merah yang menyebalkan. Pada siang hari, aku terpaksa dipanggang di tengah teriknya kepadatan lalu lintas Kota Jakarta. Bagi kebanyakan orang, Kota Jakarta memang dikenal sebagai kota yang bersuhu panas, tapi panas itu bukan timbul semata-mata dari alam. Melainkan, datang secara alami dari ambisi dan keserakahan manusia yang tinggal di dalamnya. Buktinya saat pagi hari, aku masih bisa menghirup udara yang segar karena orang-orang "suci" itu belum bangkit dari wafatnya.

            Orang-orang yang mensucikan dirinya, kerap kujumpai di masjid. Di sana mereka berdoa dengan doa yang sama, serta mengaminkan hal yang sama. Tidak lupa mereka mengaji dan bersedekah layaknya seorang haji yang baru datang dari Mekkah.  Bedanya, mereka tidak membawa drigen berisi air zam-zam atau membawa sekilo kurma nabi untuk dibagikan. Saat matahari mulai mendaki puncak Monas, mereka telah bersiap melakukan petualangan, seperti kartun  Dora The Explorer. Di zaman modern mereka akan mengenakan jas yang berdasi, lengkap dengan sepatu hitam yang disemir hingga mengkilat. Rambutnya ditata rapi dengan menggunakan semacam pelumas yang lebih mirip minyak jelantah yang telah diberi wewangian.

            Kota Metropolitan ini memang sudah dipenuhi beragam cerita, dari usia muda sampai di usia rentanya saat ini. Umurnya yang lebih tua dari kemerdekaan negaranya sendiri, tapi anehnya tidak pernah lekang tergerus air hujan apalagi air banjir. Kota yang menjadi saksi Solihin dan Siti dipertemukan, tepatnya di lorong Stasiun Senen, Jakarta Pusat. Dimana sejak hari itu, tumbuh benih-benih di hati keduanya sampai benih itu subur dan membuahkan aku untuk dituai. Bukan hal yang mudah bagi mereka berdua untuk memutuskan bersama dan bertahan mengarungi derasnya hidup. Di samping itu, selalu saja ada air mata yang ikut mengalir di dalamnya. Sehingga, tanpa sadar semuanya telah menjadi satu tanpa adanya celah. Meski, sebenarnya ada jurang menganga yang menanti di bawah sana.

            Bapak alias Solihin bekerja di salah satu perusahaan swasta yang terletak di bilangan central Ibu Kota. Setiap hari ia pergi dengan rapi mengenakan setelan baju dinas yang telah disetrika pada malam sebelumnya. Dengan sepeda onthel kesayangannya, ia memboncengku di belakang karena kebetulan arah kami sama. Oleh sebab itu, ibu selalu sibuk membangunkanku di pagi hari karena jika bapak terlambat, itu sudah pasti aku penyebabnya. Jarak sekolahku tidak terlalu jauh, tapi cukup melelahkan untuk ditempuh berjalan kaki. Sedangkan, uang saku tidak cukup untuk naik angkot, metro mini, ataupun kopaja. Alhasil, aku harus mengikuti bapak setiap hari atau memilih diantarkan Si Merah.

            Perjalanan kami pun tidak selalu berjalan mulus seperti jalan tol dalam kota. Sebab, sewaktu-waktu hujan akan turun dan membuat kami terpaksa untuk berteduh sejenak di bawah pohon yang besar atau halte terdekat sepanjang jalan. Di sana aku bisa melepas sepatu dan menaruhnya di plastik yang kuselipkan di tas ranselku. Sedangkan, bapak akan sibuk menggulung celananya tinggi-tinggi, berjaga-jaga jika air got sudah tumpah ke jalan. Kayuhan bapak dibuat lebih lambat dari kecepatan normal karena jalanan terlalu licin dan banyak genangan air pada lubang-lubang yang ada di depan. Meskipun, bapak telah berhati-hati, tetap saja ada dari mereka yang tidak melihat dan menyebabkan hal-hal kecil terjadi, seperti cepretan air yang mengotori celana kami. Bahkan, kami pernah terjatuh karena tersenggol bagian depan mobil berplat merah yang melaju dengan kecepatan tinggi, layaknya mobil balap di area sirkuit.

            Berbicara dengan hal ini, aku menjadi teringat pertanyaan yang paling kuhindari ketika di sekolah. Bu Rima wali kelasku selalu menyudutkan kami dengan pertanyaan itu. Ia bertanya, tentang cita-cita kami di masa depan. Pertanyaan yang sama dengan beragam jawaban dari teman-teman sekelasku. Di antara mereka ada yang bercita-cita menjadi seorang dokter, insinyur, guru seperti Bu Rima, dan aparatur negara. Menariknya, ada beberapa temanku yang berkeinginan menjadi suami atau istri yang baik di kemudian hari. Aku berpikir, mungkin yang mereka maksud seperti Solihin dan Siti saat ini. Seperti hari lalu, aku selalu mencari alasan untuk menghindari giliranku untuk menjawab. Tapi, hari itu aku tidak bisa pergi, Bu Rima mencurigai gelagatku yang ingin kabur. Ketika aku meminta izin padanya untuk buang hajat, Bu Rima tidak memberi izin. Padahal, aku sudah memegang bokong dan perut yang seakan-akan meledak-ledak di dalamnya.

            Namun, waktu tidak berkata demikian. Ketika satu pertanyaan pembuka berhasil aku lewati dengan mengelus dada, pertanyaan selanjutnya semakin mendalam dan pada akhirnya sampai pada pertanyaan terakhir. Setengah jam berlalu Bu Rima telah mengulang pertanyaan padaku sebanyak 28 kali. Serta, sebanyak 28 kali juga aku bengong dengan tatapan kosong menatap ke arah pentungan kayu, di balik punggung Bu Rima. Mungkin, Bu Rima telah bosan menunggu jawaban dariku, ia pun berjalan menyusuri temanku yang lain. Meskipun, jawabannya harus tergantikan dengan pentungan kayu yang melayang ke tangan dan kakiku, masing-masing tiga kali, layaknya berwudhu selepas berhadas.

            Sebenarnya, aku telah berjanji untuk menjawabnya di suatu hari nanti. Entah kapan aku akan menepatinya, tapi aku berjanji dan bersungguh-sungguh dari dasar hati. Setiap minggunya, aku berjalan-jalan kecil di lampu merah Tomang, seraya mengucapkan janjiku pada Tuhan. Dan setiap ada bunyi klakson mobil yang berdesakan, aku akan menepi sejenak untuk berdoa. Sampai pada saatnya klakson itu diam kembali, aku akan turun dari trotoar dan kembali menjajakan kaki dan tanganku yang telah dipukul Bu Rima. Di depan kaca-kaca mobil berfilm hitam, aku membawa tumpukan koran, sebagai pengganti televisi dalam mobil yang kutawari. Meskipun, tidak semua tertarik dengannya karena menurut mereka radio lebih sedap untuk didengarkan daripada berbudaya literasi.

            Sampai hari itu tiba, aku dapat menjawab pertanyaan Bu Rima padaku. Cita-citaku yang tidak lebih dari cita-cita Solihin dan Siti. Tidak juga melebihi kehendak Tuhan karena menurutku Tuhan lebih tahu hal yang terbaik daripada hamba-Nya. Menjadi seorang pelayan bagi rakyat biasa yang lahir dari rakyat biasa dan dewasa seperti rakyat biasa. Aku tidak menamai diriku sebagai orang lain karena aku adalah diriku sendiri. Dengan perpaduan sifat seperti Solihin yang melayani tuannya dengan keramahan hatinya, serta kejujuran yang ia tumbuhkan. Dan sudah jelas kepatuhan dan kelembutan, layaknya seseorang yang bernama Siti. Meski, kerap tegas dan terbilang kejam, tapi semua itu telah menumbuhkan aku. Seorang anak penjaja koran lampu merah yang dikenal sebagai anak Solihin dan Siti, di antara pendiri negeri yang duduk di istana saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun