Mohon tunggu...
Devy Arysandi
Devy Arysandi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Remahan Rakyat

Masih memanusiakan manusia dengan cara manusia hidup sebagai manusia yang diciptakan Tuhan untuk menjadi manusia sebaik-baiknya manusia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Semilir Angin di Bulan Lalu dan Aku Tak Tahu

20 Juli 2021   10:18 Diperbarui: 20 Juli 2021   10:20 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bertanya pada diri yang tak bermaksud menjadi suci, hanya sekadar mengunci jati diri. Agar tak lagi melontar tanya pada semesta yang enggan berkata. Untuk rindu...

 Gemercik air sedang berusaha memecah keheningan, di balik pelupuk malam yang layu. Bergantian dengan suara hujan yang terdengar berburu. Dalam waktu yang sama, sepasang cecak juga telah berhasil menciptakan sebuah melodi. Meski, masih sumbang untuk sebuah pertunjukan besar, tapi telah mampu mendatangkan sepasang cecak yang lain. Hari ini adalah memorial ketiga untuknya, saat aku kembali membuka lembaran kenangan yang tersimpan dalam lemari rasaku.

Pinangsia, 26 Agustus 1998

Tiga bulan sebelas hari pasca kerusuhan di bulan Mei. Aku kembali merapikan kiosku yang porak-poranda diterjang badai massa pada sore itu. Sepulang berdagang, segerombolan orang tak dikenal menghalau kami. 

Mereka berperangai buas seperti singa yang mendelik mangsanya. Keadaan kota saat itu, sangatlah ramai. 

Maklum saja, hari itu adalah hari pertama semua orang menjalankan aktivitasnya. Setelah 3 hari yang lalu, kami dicekam oleh keadaan yang mengharuskan kami berdiam terlebih dahulu.

Akar permasalahan yang menjalar, menyulut emosi dari masing-masing kepala. Mereka berargumen dan mengaku memiliki fakta yang kuat untuk diserahkan ke meja hijau. 

Pemandangan bodoh yang disuguhkan oleh orang-orang pintar di negeri ini. Keadilan dipertaruhkan untuk jabatan dan uang adalah juri untuk menilai seorang pemenang. Sedangkan, rakyat seperti kami akan tetap menjadi pion bagi mereka yang berkuasa. Nantinya, orang-orang di luar sana akan menyetel radio untuk mendengar kekalahan kami di sini.

Selesai menata barang dagangan, suasana telah kembali seperti semula. Rak-rak sudah terisi penuh dengan mangkuk dan gelas kaca yang baru. Kususun perlahan, agar tidak tergores oleh serabut kayu yang masih menempel di bibirnya. Sisa pecahan kaca yang bergelimpangan di antara sudut-sudut jendela, menyatu dengan debu hitam. Pekat warnanya, seperti jelaga yang keluar dari cerobong asap pabrik di hari Sabtu.

Dalam hati, aku berharap, hari ini, esok, dan nanti akan menjadi hari yang baik untukku.

Gelap masih menyelimuti hari kemarin. Belum jua terbangun dengan suara adzan subuh yang berkumandang. Padahal, hari ini adalah hari besar untuk kami, sebagai orang-orang kecil. Akan tetapi, selalu menjadi angan yang tak kunjung tercapai oleh tangan. Sebab, demokrasi hanyalah hal tabu untuk dibicarakan di depan. Anak-anak kami, diajarkan berdemokrasi, demokrasi yang memenangkan hak-hak berdasi. Mengenyam pendidikan, untuk dikembangkan menjadi alat dan boneka. Pada akhirnya, hanya akan diperjual-belikan oleh "mereka".

Denting jam, baru saja mengarah pada pusatnya, saat tegukan pertama teh hijau masuk ke dalam tenggorokanku. Belum sempat menyerbak harumnya, bau kebakaran lebih dulu menyergap.

 Ternyata, asapnya telah menyembul dari sudut Bundaran Hotel Indonesia. Asap itu membelah di antara air mancur dan mereka tak tahu itu terjadi. Hanya gemuruh manusia yang terdengar dan rupanya mereka telah menepi di tengahnya. Mereka datang membawa amarah, gelora kemarahannya begitu terasa saat dibakar oleh matahari Jakarta.

Pikiranku saat itu sedikit meracau, entah apa yang berkecamuk di dalamnya. 

Tapi aku tidak tenang, saat berdiam diri di balik lorong rumah sakit. Kuraih telepon genggam yang ada di dalam tasku, ternyata ada beberapa panggilan tak terjawab darinya. Sontak saja, kepanikan membuatku tak bisa berkata banyak. Aku langsung menekan beberapa digit nomor untuk mengetahui sebuah kejelasan.

Tut, tut, tut, tut...

Maaf nomor yang Anda tuju, sedang tidak aktif...

            Hingga malam tiba, hatiku masih tak karuan dibuatnya. Seolah bertanya-tanya pada dinding rumah sakit yang membisu. Aku memanjatkan setiap doa terbaik yang pernah kuhapal. Sembari memegang tangan anak kami yang masih dipasang selang infus, aku berdoa dalam kesendirian. Telah seminggu lamanya dia berpamit hendak menjalankan tugas. Hal yang biasa untukku melepasnya pergi, tapi entah mengapa hari itu aku tak rela melepaskan pelukannya.

"Seminggu ke depan mungkin aku takkan kembali. Kamu jaga dulu anak kita, tunggu sampai aku kembali. Kita akan bergantian lagi di sini."

            Kulepas pelukannya, pagi itu. Di depan pintu kamar rumah sakit, kami berpisah untuk sementara waktu. Aku berdiam dan mengarah pada bayangan kepergiannya. Seolah, menatap hal yang takkan kembali lagi untuk selamanya. Air mata jatuh ke pelipis pipiku, kuseka bulirnya agar tak terlihat oleh orang lain. Lambaian tangan mengikuti arahan hati, menepis semua keraguan dan kekhawatiran yang datang, Hari-hari kulewati dengan berprasangka baik, aku berusaha untuk menjalani kehidupan yang normal seperti biasanya. Sampai hari itu datang kepadaku, melalui berita di koran pagi itu.

"Terjadi penculikkan misterius oleh oknum tak dikenal, pada saat massa telah menduduki gedung MPR. Para korban tidak diketahui keberadaannya sampai saat ini..."

Gelas yang berada dalam genggaman, terhempas jatuh ke lantai. Suaraku berubah menjadi parau, aku hanya dapat menatap dan tak mampu berucap. Kakiku yang telah berdarah terkena serpihan kacanya, tak lagi terasa perih. Kalah dengan perihnya hati yang berperang dengan diri. Badanku lemas dibuatnya, memikirkan sesuatu hal yang buruk di sana. 

Bagaimana kabarnya? Siapa korbannya? Siapa penculiknya? Di mana dia sekarang? Rentetan tanya telah berbaris memenuhi isi kepalaku. Satu demi satu kekhawatiran, bercampur menyerukan suaranya. Aku tak mampu lagi membendung kecewa, tapi mataku belum sanggup untuk menangis. Tuhan hanya ada namanya di dalam hatiku.

Aku pergi ke tempat dimana dia bekerja untuk memastikan keselamatannya. Akan tetapi, mereka juga tidak tahu yang pasti. Hanya berusaha menenangkanku untuk duduk bersandar dan menghela nafas panjang. 

Tidak sampai di situ, aku melanjutkan pencarianku sampai ke pihak berwajib, menelpon pihak perlindungan, dan segala macam upaya kulalui agar dapat menemukannya. Mungkin, saat itu aku hanya berharap untuknya kembali memenuhi janji. Janji akan bertemu di sini dan bersama-sama menjaga anak kami.

Dinginnya malam membekukan bibirku dan mematikan asa yang kutanam sedari dulu. Pelukan rembulan tak dapat kurasakan akhir-akhir ini. Langit terlihat murung dan bintang juga enggan untuk bertegur sapa denganku. Apakah semuanya akan pergi tanpa pamit? Hanya temaram lampu rumah sakit yang berwarna kuning, senantiasa menemani penantianku. Sembari menunggui kotak surat yang tak kunjung terisi penuh dan mencari secarik surat darinya.

"Ma, kapan kita pulang dari tempat ini? Oh iya Ma, aku bermimpi tentang papa. Papa terlihat bahagia dalam mimpiku. Mengenakan pakaian kerjanya yang berwarna biru, tapi papa sangat jauh Ma, tidak sanggup kujangkau dengan tangan. Akhirnya, kami hanya berbalas senyum dengan menyudutkan rasa satu sama lain..."

"Apakah papa ingat aku ya ma, di luar sana. Mungkin, dia sedang menyiapkan hadiah ulang tahunku ya Ma..."

Matahari belum sampai ke puncak kedudukannya, tapi ia sudah dipanggil lagi untuk kembali ke ufuknya. Cuaca saat itu, memang sangat mendung. Semilir angin juga berhembus kencang melalui celah jendela yang kubuka sedikit. Keadaan rumah sakit sedang ramai, dari semalam sudah ada lima ambulance yang bergantian menurunkan pasien. 

Disertai iringan langkah kaki yang terburu-buru. Di antaranya ada satu ambulance yang berpapasan denganku. Kulihat, ambulance itu membawa seorang pasien, keadaannya terlihat sangat parah karena langsung dilarikan ke ruang ICU. Kebetulan, ruangan itu bersebelahan dengan kamar anakku.

Hari ini aku dan anakku, berencana untuk mendatanginya kembali. Percaya atau tidak, bulan ini adalah peringatan ketiga untuknya. Anakku begitu bersemangat untuk pergi, dari pagi ia sibuk merapikan bajunya dan menyiapkan suatu kotak kecil. Kotak kecil yang telah menghabiskan banyak waktunya selama seminggu terakhir. Padahal, baru sebulan yang lalu ia kembali ke rumah ini. Setelah, sebelumnya dirawat di rumah sakit dalam kurun waktu yang cukup lama. Aku tak tahu, apa yang ada dalam kotak kecil itu, mungkin saja sangat istimewa untuknya.

"Pa, hari ini kita bertemu lagi. Aku juga membawakan hadiah untuk papa karena papa sudah datang untuk menjaga dan menengokku selama ini. Gelang rajut ini sebagai tanda pertemanan kita ya, Pa. Sekarang, aku sudah bisa membuat gelang rajut sendiri, nanti sore aku akan membuatnya lagi untuk mama..."

Siapa sangka, semilir angin di bulan itu menjadi akhir dari kami. Awal kehidupan yang baru untuk aku dan anakku. Pasien yang berpapasan denganku di koridor rumah sakit, tak lain adalah dirinya yang telah koma. Aku tak tahu, Tuhan mempertemukan kami kembali dengan cara seperti ini, tapi ia benar dia kembali untuk menepati janji dan bertemu lagi di tempat yang sama seperti hari kemarin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun