Denting jam, baru saja mengarah pada pusatnya, saat tegukan pertama teh hijau masuk ke dalam tenggorokanku. Belum sempat menyerbak harumnya, bau kebakaran lebih dulu menyergap.
 Ternyata, asapnya telah menyembul dari sudut Bundaran Hotel Indonesia. Asap itu membelah di antara air mancur dan mereka tak tahu itu terjadi. Hanya gemuruh manusia yang terdengar dan rupanya mereka telah menepi di tengahnya. Mereka datang membawa amarah, gelora kemarahannya begitu terasa saat dibakar oleh matahari Jakarta.
Pikiranku saat itu sedikit meracau, entah apa yang berkecamuk di dalamnya.Â
Tapi aku tidak tenang, saat berdiam diri di balik lorong rumah sakit. Kuraih telepon genggam yang ada di dalam tasku, ternyata ada beberapa panggilan tak terjawab darinya. Sontak saja, kepanikan membuatku tak bisa berkata banyak. Aku langsung menekan beberapa digit nomor untuk mengetahui sebuah kejelasan.
Tut, tut, tut, tut...
Maaf nomor yang Anda tuju, sedang tidak aktif...
      Hingga malam tiba, hatiku masih tak karuan dibuatnya. Seolah bertanya-tanya pada dinding rumah sakit yang membisu. Aku memanjatkan setiap doa terbaik yang pernah kuhapal. Sembari memegang tangan anak kami yang masih dipasang selang infus, aku berdoa dalam kesendirian. Telah seminggu lamanya dia berpamit hendak menjalankan tugas. Hal yang biasa untukku melepasnya pergi, tapi entah mengapa hari itu aku tak rela melepaskan pelukannya.
"Seminggu ke depan mungkin aku takkan kembali. Kamu jaga dulu anak kita, tunggu sampai aku kembali. Kita akan bergantian lagi di sini."
      Kulepas pelukannya, pagi itu. Di depan pintu kamar rumah sakit, kami berpisah untuk sementara waktu. Aku berdiam dan mengarah pada bayangan kepergiannya. Seolah, menatap hal yang takkan kembali lagi untuk selamanya. Air mata jatuh ke pelipis pipiku, kuseka bulirnya agar tak terlihat oleh orang lain. Lambaian tangan mengikuti arahan hati, menepis semua keraguan dan kekhawatiran yang datang, Hari-hari kulewati dengan berprasangka baik, aku berusaha untuk menjalani kehidupan yang normal seperti biasanya. Sampai hari itu datang kepadaku, melalui berita di koran pagi itu.
"Terjadi penculikkan misterius oleh oknum tak dikenal, pada saat massa telah menduduki gedung MPR. Para korban tidak diketahui keberadaannya sampai saat ini..."
Gelas yang berada dalam genggaman, terhempas jatuh ke lantai. Suaraku berubah menjadi parau, aku hanya dapat menatap dan tak mampu berucap. Kakiku yang telah berdarah terkena serpihan kacanya, tak lagi terasa perih. Kalah dengan perihnya hati yang berperang dengan diri. Badanku lemas dibuatnya, memikirkan sesuatu hal yang buruk di sana.Â