Sepenggal lirik dari sebuah lagu karya anak bangsa yang sempat viral belum lama ini dan telah menjadi pergunjingan di dunia manusia. Melalui platform tiktok yang kerap menampilkan konten-konten menarik sekaligus menggelitik. Lagu ini pun melambung ke tangga musik papan atas, bukan hanya sebatas papan penggilasan saja ya.Â
Jangan salah, Sobat! Meskipun, belum berhasil merajai tangga nada di luar negeri dan masuk ke majalah Billboard. Tapi, lagu ini sudah berhasil menghipnotis kalangan dari berbagai usia, Loh! Hal ini membuktikan, bahwa konten nyeleneh memang layak untuk diperhitungkan. Iseng-iseng berhadiah, gitu deh. Bayangkan saja, di samping popularitas Afgan yang memiliki lesung pipit di kanan dan kiri pipinya. Sosok Paijo Sang Penyanyi tidak kalah mempesona dengan senyumannya  yang manis, semanis gula jawa.
Ia pun telah berhasil memadukan unsur Nusantara yang kaya dengan nilai intrinsik dan ekstrinsik di dalamnya. Membaur menjadi sebuah perpaduan rentetan lirik yang lugas dan mudah dimengerti masyarakat pada umumnya. Terlebih, bagi orang di negeri ini yang didominasi dengan buah hasil pemikiran instan dari berbagai kesempatan dalam kesempitan.
Siapa sangka di balik lagu sederhana tersebut, terkandung pesan moral yang sangat mendalam. Meneliti dari arti secara harfiah dan ketatabahasaan, memang tidak seindah pembendaharaan pada lagu Chrisye atau Ebit G. Ade. Akan tetapi, sudah cukup untuk membuat ibu-ibu di barisan kontrakan bersenandung ria, sambil mencari kutu tetangga. Mereka hapal betul kata per kata bahkan, begitu luwes memainkan nadanya.
Ibu-ibu terlihat begitu antusias menyambut fyp di tiktok yang sering mondar-mandir secara bergilir tersebut. Tidak sedikit dari mereka, ikut berkontribusi dengan memproduksi konten secara mandiri dan terindependen. Tanpa mengandalkan studio rekaman atau kamera profesional. Bergaya ala kadarnya dengan suara yang keemasan, geser sedikit, scroll-scroll, dan jepret deh.Â
Konten siap untuk disebarkan ke khalayak ramai. Dalam hitungan detik, Â mereka dapat menghasilkan buah karya yang begitu memukau, bagi suami dan anaknya yang baru lahir atau akan lahir di kemudian hari. Terlepas dari lirik dalam lagu Harta dan Tahta yang memang tidak begitu kaya. Terlihat dari penggalan liriknya yang diulang beberapa kali, kita tetap dapat melihat eksistensinya.Â
Benar saja, baru beberapa minggu dipopulerkan, lagu tersebut sudah memiliki banyak penggemar di seluruh penjuru tanah air. Tidak kalah dengan lagu Dynamite yang dibawakan oleh Boy Band asal Korea, Bangtan Sonyeondan atau BTS. Kemasannya yang sengaja dibuat nyentrik memang cocok untuk memikat hati para kaum milenial. Yang gemar rebahan di atas kasur karena tarikan gaya gravitasi yang melampaui batas ketentuan.
Makna dari lagu ini, sebenarnya menohok kepada suatu perbandingan realita kehidupan duniawi. Antara harta dan tahta yang dibandingkan dengan fisik dari seorang manusia. Sebab, umumnya seseorang terkadang menilai sesamanya dengan melihat keadaan fisik, terutama parasnya.Â
Seseorang akan memperhatikan bagaimana keadaan dirinya dari atas sampai bawah. Apakah ia tampan dan sempurna, seperti Nicholas Saputra atau Reza Rahardian, atau mungkin lebih mirip dengan Andhika "Kangen Band". Jika ia memiliki paras yang enak untuk dilihat, maka ia akan terpilih menjadi kandidat Babang Tampan di episode selanjutnya.
Namun, akhir-akhir ini ramai menjadi perbincangan, publik figur yang justru menjalin kasih dengan orang yang jauh lebih tua dari umurnya. Jika dilihat-lihat, sebenarnya tidak terlalu buruk, tapi juga tidak tampan. Ya, cenderung ala kadarnya saja. Usut punya usut, kebanyakan dari mereka yang lebih tua tersebut, ternyata bukan orang biasa. Mayoritas dari mereka adalah seorang pejabat, jutawan, bahkan miliyarder, alias Crazy Rich.
Tentunya, dengan ini Sang Kekasih akan 'kecepretan' pundi-pundi harta dan tahta yang mungkin akan diturunkan kepadanya. Tanpa harus bekerja keras atau mengumpulkan uang di celengan ayam atau babi. Apalagi harus "ngepet" di malam hari sembari jaga lilin. Dalam sekejap, hartamu menjadi hartaku, begitu ringkasnya. Bayangan ini adalah khayalan seorang manusia yang tidak tahu di mana kekasihnya berada, alias jomblo.
Lebih lanjut, hal ini akhirnya menjadi sebuah budaya yang diturunkan secara turun-temurun. Pengukuran harta dan tahta untuk membeli sebuah cinta seseorang. Orang di zaman dahulu, sering menamainya "bebet, bibit, dan bobot", sampai sekarang, mungkin juga tidak asing. Akan tetapi, saat ini sepertinya uang adalah hal yang lebih utama karena di dunia tidak ada yang gratis. Mau kencing saja harus bayar, apalagi menikmati surga dunia. Ada uang ada barang, begitu maksudnya. Memang dunia dan manusia sungguh terlalu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H