Mohon tunggu...
Negeri Diawan
Negeri Diawan Mohon Tunggu... -

nothing

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Demi Waktu

30 April 2010   00:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:30 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Awal 2003, suatu hari saya bertanya kepada atasan saya, seorang Koordinator Pelaksana Penagihan,

"Bapak kalau berangkat dari rumah jam berapa?" "Jam enam pagi," jawabnya. Jawaban yang membuat saya kagum dan tentunya juga mengejutkan saya. Serta membuat saya berpikir dalam-dalam dan bertanya-tanya dalam hati, "Kok bisa yah? Kayaknya saya enggak bisa deh.

" Ya, bagaimana tidak? Ia berangkat dari rumahnya yang berada di pinggiran Bekasi (bukan di pinggiran Jakarta loh ya) pagi-pagi sekali dengan menempuh puluhan kilometer, dan pada saat yang sama saya masih bergelung dengan selimut saya di atas kasur rumah saya di pinggiran Bogor. Pula tentunya ia bangun kurang dari jam enam pagi untuk mempersiapkan segalanya. Mulai dari bangun tidur, lalu mandi dan sholat shubuh, sarapan, membersihkan mobil seadanya, lalu berangkat. Tentunya ia yang paling awal datang di kantor. Sedangkan saya dengan jarak tempuh yang hampir sama, baru berangkat ke kantor pukul setengah delapan pagi, yang tentunya tiba di kantor satu jam kemudian. Itu pun dengan kondisi belum sarapan.

Sampai di kantor sarapan dulu, baca-baca koran, mengobrol ke sana ke mari dengan kawan, lalu efektif mulai bekerja pada pukul sembilan pagi lebih sedikit. Bagaimana dengan absen?

Pada saat itu kantor saya, Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing (KPP PMA) Tiga belum memulai mereformasi dirinya, belum modern, masih dengan budaya lamanya. Budaya PNS pada umumnya. Absen masih menggunakan gaya lama, mengisi di sebuah lembar kertas formulir dan

masih bisa titip sama teman. Kalaupun tidak, sampai sore pun lembar absen pagi belum juga beranjak dari meja. Saya masih punya kesempatan menorehkan tanda tangan saya di lembar absen, jam berapapun saya datang. Otomatis di awal bulan gaji saya masih utuh. Tak ada potongan sepeser pun. Tapi begini-begini, saya masih punya rasa tidak enak kalau datang begitu siang. Kompensasinya saya pulang lebih larut untuk menggantikan jam yang hilang karena keterlambatan tersebut. Walaupun demikian tetap saja di hati yang paling dalam saya merasa menjadi orang yang tidak menghargai waktu.

Bertahun-tahun dengan kondisi ini membuat saya menjadi orang malas. Bahkan meragukan kemampuan diri saya untuk bisa berangkat pagi-pagi sekali atau tepat pukul enam pagi. Dengan banyak alasan tentunya. Yang paling sering adalah mencari pembenaran dengan berpikir bukan saya sendiri yang melakukan ini. Diakui, budaya di kantor kami memang masih seperti demikian. Yang rajin atau pun malas, gajinya tetap segitu-segitu juga.

Sampai suatu ketika, arus modernisasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang dimulai sejak tahun 2002 mulai menyentuh kantor saya. Akhir tahun 2003 sudah beredar pengumuman seleksi pegawai KPP Modern. Saya ikut seleksi tersebut. Tentunya dengan harap-harap cemas tentang masa depan dan bisa tidaknya saya lolos seleksi itu. Katanya kalau kantor sudah modern gaji pegawainya akan dilipatgandakan, "ini yang saya tunggu", pikir saya.

Struktur organisasi kantor akan dirubah, "tidak apa-apa", pikir saya lagi. Kode etik akan diterapkan, "saya siap". Suap menyuap enggak akan ada lagi, "lahir batin saya senang sekali mendengar berita ini." Dan yang pasti absen dengan finger print akan diterapkan, "waduh...ini yang berat." Satu alasan saja sebenarnya saya ikut modernisasi ini. Saya ingin berubah. Satu pertanyaan setelahnya adalah, "saya siap berubah atau tidak yah ?" Mau tidak mau saya harus berubah.

Alhamdulillah, saya lolos seleksi tersebut. Jabatan saya telah berubah. Semula pelaksana, kini saya telah menjabat sebagai Account Representative (AR). Tugasnya melakukan pengawasan, memberikan konsultasi, dan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada Wajib Pajak. Dulu Wajib Pajak harus menghubungi banyak meja kalau berurusan dengan kantor pajak, kini cukup dengan menghubungi AR-nya saja.

Efektif per November 2004 kantor saya sudah menjadi KPP Modern. Masalah absen tentunya diperketat. Sebagai sarana uji coba menunggu mesin finger print-nya tiba dan dipasang absen masih dengan cara mengisi kertas formulir absen, tapi langsung diambil oleh penanggung jawab absen tepat pukul setengah delapan pagi. Kemudian pada jam lima sore lembaran absen baru dikeluarkan lagi.

Bila ada yang terlambat atau pulang cepat, siap-siap dipotong tunjangannya masing-masing 1,25%. Kalau membolos sehari, apapun kondisinya entah sakit atau benar-benar malas, kena potong 5%. Jumlah potongan yang amat besar bagi saya. Potongan yang menghilangkan kesempatan saya untuk membeli dua sampai delapan kotak susu buat anak38 anak saya. Dan yang terpenting lagi, setiap keterlambatan akan membuat saya bertambah malas, tidak semangat melakukan apapun di kantor.

Oleh karena itu, kini ada yang berubah, apalagi setelah mesin zero tolerance-finger print- terpasang. Saya harus bangun sebelum shubuh, paling telat pada saat adzan berkumandang. Saya harus mempersiapkan segalanya sebelum jam enam pagi. Perjalanan yang ditempuh satu jam dengan naik motor harus dipersiapkan dengan matang sekali. Faktanya saya mampu melakukan semuanya hingga menyentuhkan jempol saya di mesin absen dengan sepenuh hati.

Sesungguhnya mesin itu tidak peduli dengan saya. Ia cuma mengenal jempol saya yang harus menempel padanya tepat waktu. Tidak peduli saya harus menyabung nyawa, salip sana salip sini, sedang sakit perut, anak sakit, jalanan macet, hujan lebat, ditilang polisi, nafas bengek mandi asap knalpot, telat sedetikpun tetap dihitungnya. Tapi dengan semua pengorbanan itu, pada akhirnya membuat saya berubah. Detik-detik yang berjalan menjadi menit yang sangat berharga bagi saya. Pada akhirnya saya memang mampu untuk berangkat dari rumah jam enam pagi. Tiba di kantor kurang dari jam setengah delapan. Sampai jam delapan saya sudah melakukan banyak hal, menyelesaikan pekerjaan kantor tentunya.

Modernisasi telah mengubah saya untuk menghargai waktu. Itu didukung mulai dari pejabat yang paling atas sampai pelaksana yang paling bawah. Semua tahu setiap keterlambatan satu detik pun ada risiko yang harus ditanggung. Tidak ada toleransi. Bahkan untuk lupa absen sekalipun.

Ah, modernisasi pajak bagi saya adalah suatu awal perubahan dalam memandang waktu.

Oleh Riza Almanfaluthi dalam Buku Berkah Modernisasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun