Mohon tunggu...
Ismail Marzuki
Ismail Marzuki Mohon Tunggu... Dosen - Hidup ini layaknya cermin, apa yang kita lalukan itulah yang nampak atau kita hasilkan

Memiliki banyak teman adalah kebahagiaan yang tak terkira. Senyum selalu dalam menjalani hidup akan memberi makna yang membekas dalam tiap bait hari-hari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Malam yang Temaram

7 Maret 2024   02:13 Diperbarui: 7 Maret 2024   02:14 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Alhamdulillah, pukul 03.00, aku bangun dengan riang. Tubuhku sudah mulai terbiasa dengan dini hari. Kipas yang aku nyalan masih saja mutar. Aku bangun lalu mendekat ke arah kipasa untuk matikan. Kasihan dia sudah sepanjang malam muter terus menemaniku tidur. Kipas butunt merek GMC ini sudah lama aku tidak bersihkan. Debu-debu sudah menempel membuatnya sesak, kadang bunyi kretek di engsel bagian leher. Begitu seterusnya setiap hari. Terutama malam hari terus berputar sekedar memutar sirkulasi udara di kamarku.

AC memang lebih baik dari kipas angin. Tapi kipas lebih murah dibandingkan AC. Memang ada kualitas, ada harga. Di mana-mana istilah itu diterima. Namun, kenyataan membuktikan bahwa baru kipas angin yang bisa aku beli.

Kuambil handuk lalu mandi malam untuk menyegarkan tubuhku yang masih diselimuti kantuk. Mandi malam akan menyegarkan dan membuat darah, detak jantung dan organ-oragan lain bisa lebih normal. Kuguyur tubuhku. Tak lupa pakai sabun dan sikat gigi. Ada sekitar 5 menitan aku di dalam.

Beberapa saat kemudian. Kuambil sajadah sisa tadi malam dekat istriku yang masih tidur dengan anak-anak. Aku ingat, aku belum sholat isa' malam ini. "Sekalian aku sholat tahajjut" kataku membatin.

Sesuai janjiku sebelum tidur. Aku akan membangunkan istriku untuk sholat tahajjut. "Dek sudah sholat isa'?" kataku menyapa. "Sudah" jawabnya setengah sadar.

Kusingkap tirai jendela depan. Kulihat masih saja ada cahaya temaram warna hijau, dipojok rumah tetanggaku. Itu adalah cahaya lampu yang dimasukkan di dalam ember plastik yang ditelungkupkan. Sudah 3 hari, tiga malam, lampu dan ember itu menyatu untuk menerangi adik-kakak dari anaknya. Itulah kebiasaan yang sudah turun-temurun dari leluhurnya. Rupanya di sini juga begitu. Tidak hanya di kampung halamanku.

Tetanggaku baru saja melahirkan anak. Katanya pas aku telpon "Alhamdulillah anakku laki-laki pak." Aku  dan istri turut bersyukur ada tambahan anak kecil di komplek perumahan yang akan menambah ramai setiap hari. Endah dengan tangisan. Canda tawa anak-anak. Atau bahkan saling rebut mainan.

Aku perjelas lagi intipanku dari jendela. Rupanya Mas Jonathan dan Mbak Vivi belum puang dari RS Herlina di kota Sorong. Katanya anaknya dipakum dulu. Bahkan dokter tidak memberikan kesempatan yang lama bagi bapak dan ibunya untuk melihat. Aku rasa itu bukan keutusan atau aturan yang tepat diberlakukan untuk seorang ibu yang susah payah selama 10 bulan 10 hari mengandung anak. Suami yang sudah berbulan-bulan penasaran dengan anak atau keluarga yang sudah rindu menimang cucu. Pas melahirkan tidak bisa leluasa melihat anak selama satu minggu, dengan dalih itu dan ini yang dilakukan oleh dokter dan suster. Betapa tersayat-sayatnya hati, bila seorang ibu yang sudah berjuang lalu dibatasi untuk memeluk.

Malam ini cukup sunyi dibandingkan kemarin malam. Tidak ada suara katak hijau yang bertalu. Padahal malam ini hujan juga. Mungkin katak-katak itu sudah kelelahan, bersuara kemarin sepanjang malam.

Kuputar kipas di kamar Abyan. Kubuka leptop untuk menulis apa saja yang terlintas dalam kepalaku. Beberapa saat kemudian, ada suara ganggang pintu yang terbuka di kamar mandi. Rupanya itu adalah istriku yang ambil air wudu' untuk sholat tahajjut. Istriku menepati janjinya malam ini untuk bangun tahajjud. Aku turut senang malam ini kami sedikit lebih dekat dengan Allah. Alhamdulilah.

Ada kegirangan, kebahagiaan, ketentraman, dan ketenangan dalam hatiku di ujung malam yang indah ini. Kesunyian dan semilir angin yang sejuk menambah syahduku kepadaNya. Berharap malam-malam berikutnya aku dan istri seperti ini lagi. Sampai kami menua dan mati. Semoga kami selalu ada dalam pelukan ridhonNya. Amiin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun