Terkadang, saat aku tidak bisa menyaksikan senja, aku tidak bisa tudur. “Apakah senja membenciku sehingga ia tidak nampak memberikan bayangan indah kepada para mahasiswa yang sabar dengan langkahnya?” Itu pertanyaan yang selalu mengisi kepalaku saat tidak bertemu senja.
Aku menunggu senja sampai malam menyelimuti hari. Aku melakukan itu hampir setiap hari di atas kampus. Aku selalu menunggunya dengan setia. Karena aku sangat menyukai senja.
Kesendirianku terasa bahagia saat senja menampakkan diri. Dia selalu menyiramkan cahaya lembut pada wajahku. Senyumku pun mengikuti cahaya senja yang jatuh di wajahku. Dengan melihat senja, aku merasa tenang. Seakan masalahku terbuang dan tubuhku terasa ringan. Pikirankupun karuan.
Pernah suatu hari, aku memintanya.
“Senja maukah kau kubawa dan menjadi milikku?”
Dia hanya diam. Dia tidak tersenyum saat aku bertanya padanya, tentang permintaanku. Aku memahami keadaannya, bahwa itu permintaan yang sulit untuk dikabulkan oleh senja, karena ia harus memikirkan orang lain juga.
“Aku minta maaf, aku sudah egois padamu senja!, aku akan selalu setia menunggumu di atas kampus sampai kau memberikan cahaya padaku” kataku meyakinkan senja.
Kamipun berpisah hari itu. Kami berpisah bukan karena keinginan untuk berpisah. Kami selalu dipisahkan oleh gelap.
Malang, 21 Oktober 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H