Dia adalah seorang remaja berumur 20 tahun. Umurku lebih tua 15 tahun darinya. Namun, yang terkesan saat pertemuanku dengannya, ia begitu tenang dan selalu tersenyum. Sesuatu yang membuatku kagum dengannya, ia memiliki sudut pandang yang tak pernah ku dengar dari orang lain. Ia begitu dewasa tentang perasaan yang dimiliki. “Apakah ia sudah piwai dalam rasa?” tanyaku dalam benak saat berbincang masalah yang kecil dengannya. Bagiku ia adalah orang asing yang kemarin aku temui kebetulan saja, dikarenakan ia satu kos dengan keponakanku di Malang.
Aku bertemu pada waktu yang tak pernah kuduga sebelumnya. Pertemuanku dengannya hanya kebetulan saja. Dan itu bagian dari perjalanan wisudaku di Malang. Mungkin aku perlu bercerita kenapa aku tiba-tiba di Malang.
Kepergianku ke Malang disebabkan kampus yang tak mampu mewisudakan kami di tempat yaitu di Sumbawa. Kampus di Sumbawa tidak mampu mewisudakan kami di tempat karena beberapa faktor. Pertama aku kuliah di cabang. Kedua jumlah kami yang wisuda di cabang tidak mencukupi standar jumlah wisuda. Ketiga sudah hukum wajib mahasiswa cabang harus datang ke pusat untuk diwisudakan.
Mau tidak mau kami harus berangkat ke Malang yaitu sebuah kota yang ku tahu namanya saja sedari dulu. “Ternyata ada nama kota Malang”. Pikirku saat mulai masuk kuliah. Kata malang yang ku tahu berarti kota yang selalu tidak baik, selalu mendapat kegagalan atau di tengah-tengah. Itu arti yang ku tahu selama menjadi manusia di dunia.
Bagaimana mungkin kota itu ku tahu, TV saja aku tidak punya, apa lagi TV, lantaran listrik yang belum merata di Indonesia atau kesalahan tempat tinggalku terlalu terpencil. Itu memang kesalahanku yang lahir di daerah terpencil atau kesalahan pemerintah yang tidak mau menjangkau tempatku. Ahh..aku tidak mau menyalahkan siapa-siapa. Aku hanya menyalahkan diriku yang primitif dengan kota Malang yang akan kudatangi besok. Andai saja aku mengetahui takdirku akan ke kota Malang, mungkin aku akan banyak bertanya atau membeli peta Indonesia untuk mengetahui posisi kota Malang tersebut. Ahh..lagi-lagi aku sepertinya aku menyalahkan tuhan atas takdir baik yang diberikan. Takdir manusia memang tidak bisa dibaca.
Perjalanan ke kota Malang begitu menyenangkan. Sebagai orang yang primitif dari bagian pulau Sumbawa yang sangat terpencil dan pesisir, ini merupakan perjalanan pertamaku ke bagian timur Jawa.
Mulai dari perjalanan dari Sumbawa dengan menaiki kapal laut, kemudian naik bus menuju kota Praya temapat bandara, lalu naik pesawat di Bandara Internasional Lombok dan diterbangkan selama 45 menit.
Setelah turun dari pesawat, lalu naik travel menuju kota Malang. Kalau dikalkulasikan waktu yang ku habiskan dari Sumbawa, aku menghabiskan waktu selama satu hari-satu malam, atau sama dengan 24 jam.
Semua alat transportasi yang ku gunakan tersebut adalah baru. Karena ini pertama kalinya. Pikirku, “ternyata menjadi orang kaya itu mudah sekali. Dengan memiliki uang sedikit saja, kita bisa kaya seketika. Dengan menaiki, bus, taxi, kapal laut, pesawat, dan mobil travel”. Selama aku hidup bertahun-tahun, di atas kekayaan orang lain, baru kali ini aku merasakan kaya. Ini kenyataan yang kurasa. “Begini ternyata rasanya hidup menjadi kaya!” Pikirku selama perjalanan menuju Malang.
Kembali aku ceritakan seorang remaja yang ku maksud, namanya Ikhlas. Dia sedang menyelesaikan tugas akhirnya sekarang. Anaknya sangat periang. Di wajahnya tergambar ketenangan. Di senyumnya tersungging senyuman keindahan. Dari pemikirannya, segala masalah bisa diselesaikan.
Aku bertemu dengannya hanya dua hari. Hari pertama ia hanya menanyakan apakah aku sudah menikah dan apa pekerjaanku. Akupun bercerita tentang semua yang kumiliki pada hal-hal yang pantas diceritakan. Ia begitu antusias mendengar semua ceritaku yang kadang ngelantur kesana kemari sejak bertemu. Dan aku sangat terbuka padanya, kerana aku percaya padanya. Orangnya memang asik diajak bicara.