Mohon tunggu...
URWATUL RAISZA WUTSKA
URWATUL RAISZA WUTSKA Mohon Tunggu... Lainnya - Alumni Fakultas Hukum Universitas Andalas

A learner and geek girl

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fenomena Brain Drain, Akankah Indonesia Mengalaminya?

17 September 2024   18:12 Diperbarui: 17 September 2024   18:13 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Cambridge Dictionary, Brain Drain adalah situasi masif  di mana para cendekiawan dan pakar meninggalkan negara asalnya untuk hidup dan bekerja ke tempat yang lebih baik secara upah maupun kondisi. Brain Drain juga dikenal sebagai Human Capital Flight bukan fenomena yang baru terjadi, fenomena ini sudah berlangsung berdekade-dekade lamanya di mana para ahli dan akademisi berbondong-bondong pergi ke tempat yang lebih menghargai dan memberikan apresiasi terhadap kemampuan mereka. Dilansir dari https://worldpopulationreview.com negara yang pernah mengalami fenomena Brain Drain antara lain adalah; Afrika, India, dan Karibia.

Menelaah Bahaya Brain Drain

Dampak dari terjadinya Brain Drain sangat beragam, mulai dari menurunnya tingkat produktivitas dikarenakan rendahnya angka tenaga kerja yang berkualitas hingga dapat meningkatnya pengeluaran dalam biaya pengembangan sumber daya manusia. Berkaca dari salah satu fenomena brain drain terbesar di dunia, ‘The Great India Brain Drain’.Menurut data dari global business culture, terhitung sebanyak 1,6 juta warga negara India melepaskan kewarganegaraanya.sejak 2011. Fenomena Brain Drain di India ini kemudian menjadikan India kehilangan miliaran pendapatan pajak. Warga Negara India bermigrasi dengan alasan yang beragam, seperti untuk mencari kesempatan yang lebih baik dalam sektor pendidikan dan karir atau sekedar ingin mendapatkan kebebasan hidup yang lebih layak. 

Selain menyebabkan penurunan pendapatan pajak dan meningkatnya pengeluaran untuk pembiayaan pendidikan luar negeri, fenomena ini juga sangat merugikan untuk negara yang sedang berkembang seperti India. Negara berkembang membutuhkan dukungan oleh sumber daya yang berkualitas untuk terus bergerak menuju negara maju. Jika negara berkembang seperti India mengalami Brain Drain, maka tenaga yang mampu untuk membantu negara tersebut untuk terus maju justru akan memberikan sumbangan terhadap tenaga dan pemikirannya kepada negara lain yang kebanyakan adalah negara yang sudah maju. Begitulah mengapa fenomena brain drain ini sangat membahayakan, terlebih untuk negara berkembang.

Posibilitas Indonesia terhadap Fenomena Brain Drain

Beberapa minggu kemarin, kanal X warga Indonesia diramaikan dengan tagar #KaburAjaDulu. Tagar ini disebarkan berdasar kekecewaan banyak pengguna X di Indonesia yang kecewa terhadap kontestasi politik yang terjadi belakangan ini. Selain itu, masalah struktural seperti tidak terpenuhinya kebutuhan melalui Upah Minimum Rakyat (UMR), dirasa sedikitnya kesempatan yang ada untuk berkembang, hingga tidak diapresiasnya para akademisi oleh negara, ikut mendorong para pengguna menyuarakan tagar tersebut. 

Mendukung hal tersebut menurut data indeks human flight, indonesia berada di peringkat 82 denga angka 5,7%. Andin Hadiyanto, direktur utama LPDP juga menjabarkan bahwa ada 413 penerima beasiswa LPDP yang belum kembali ke tanah air hingga 2023. Meskipun presentase penerima yang belum kembali masih sangat kecil, namun hal ini tetap patut diwaspadai dan terus dijadikan perhatian. Pasalnya negara telah mengeluarkan uang hingga menyentuh angka triliun untuk program beasiswa pendidikan. 

Di samping akademisi, pekerja usia produktif di Indonesia juga mengalami peningkatan dalam bermigrasi. Data dari WorldBank pada tahun 2017 menunjukkan bahwa upah pekerja migran Indonesia meningkat tiga kali lipat dari upahnya sebelum bermigrasi. Sekitar 70% dari masyarakat Indonesia mengalami perbaikan ekonomi setelah bermigrasi ke luar negeri. Badan Pusat Statistik menyatakan bahwa, rata-rata umur dari pekerja migran adalah 20-39 tahun, di mana usia tersebut masuk ke dalam kategori usia produktif. Data tersebut juga menunjukan secara signifikan peningkatan pekerja yang bermigrasi ke luar negeri. Harus segera disadari bahwa, jika jumlah penduduk pada usia tersebut terus-menerus meningkat secara signifikan Indonesia juga akan mengalami fenomena Brain Drain.

Langkah Mencegah Terjadinya Fenomena Brain Drain

Untuk mencegah terjadinya fenomena brain drain di Indonesia, beberapa faktor berikut dapat dilakukan untuk upaya pencegahan.

  1. Peningkatan terhadap upah minimum masyarakat

Dalam penelitian Brain Drain oleh Fivien Muslihatiningsih, rendahnya pendapatan perkapita merupakan faktor utama dari fenomena Brain Drain ini. Penduduk yang bermigrasi ke negara lain disebabkan oleh adanya perbedaan upah antara negara asal dan negara tujuan. Dalam hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa upah minimum pada suatu daerah yang mengalami peningkatan akan menurunkan jumlah penduduk yang melakukan migrasi internasional. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya kebijakan yang mengatur terhadap kebutuhan upah minimum yang sesuai sehingga dapat menjaga angka penduduk dalam masa produktif tetap bekerja di Indonesia.

  1. Pemberian kesempatan dan apresiasi yang layak kepada para ahli

Taiwan adalah salah satu negara yang berhasil menanggulangi terjadinya fenomena Brain Drain. Salah satu hal yang dapat dicontoh dari langkah yang diambil oleh negara tersebut adalah; memberikan apresiasi dan ruang untuk berkembang bagi seluruh bakat terbaik warga negaranya. Taiwan mengeluarkan kebijakan yang mendorong para wirausaha untuk tetap tinggal dan para pekerja imigran yang ahli dalam bidangnya untuk kembali ke negaranya. Hal ini tentu akan membuka kesempatan yang luas untuk para warga negaranya dapat berkembang sesuai dengan kemampuannya masing-masing dalam meningkatkan perputaran roda ekonomi di negara tersebut. Selain itu, Taiwan juga memberikan subsidi kepada para imigran untuk pulang dengan membawa keahlian yang sudah mereka dapat di negara lain. Taiwan juga mengadakan konferensi internasional secara rutin guna memberikan para ilmuwan dan pengusaha akses yang lebih luas terhadap keilmuannya. Hal yang dilakukan oleh negara Taiwan dinilai berhasil membendung fenomena Brain Drain pada negaranya pada tahun 1970-1980.

  1. Penanaman rasa nasionalisme yang tinggi pada bangsa

Tidak dapat dipungkiri, bahwa kondisi negara berkembang dalam keharusannya menanggulangi brain drain merupakan suatu kondisi yang sangat rumit. Pada satu sisi, negara tidak memiliki banyak pendapatan dan harus mengeluarkan biaya untuk menjaga serta mengembangkan bakat-bakat terbaiknya, dan agar hal tersebut menjadi efektif, diperlukan kesadaran oleh individu penerima hak istimewa tersebut untuk kembali berkontribusi membangun negara yang sedang berkembang. Untuk itu, diperlukan adanya keselarasan dari pemegang kebijakan dan warga negara. Harus timbul kesadaran dalam diri, bahwa kemampuan dan keahlian yang sama-sama dibangun dan dimiliki, sedikit atau banyaknya harus dikontribusikan kembali kepada bangsa. Hal tersebut tentu tidak akan tercapai tanpa adanya rasa nasionalisme yang kuat. Untuk itu penanaman rasa nasionalisme yang kuat juga berpengaruh dalam mencegah fenomena Brain Drain tersebut.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun