Mohon tunggu...
Fery Irfan Nurrahman
Fery Irfan Nurrahman Mohon Tunggu... -

A student in Sepuluh Nopember Institute of Technology in Program Study Urban and Regional Planning

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Transformasi Ekonomi Pedesaan Vs Lotere Pengangguran Migran

11 Januari 2011   00:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:44 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesenjangan kehidupan di desa dan di kota memang terlihat cukup jelas. Bahkan masyarakat desa pun sadar benar akan hal itu. Mereka juga sadar bahwa mereka punya potensi massa yang besar untuk melakukan sebuah perubahan akan dirinya. Banyak diantara mereka yang bersiap-siap untuk pindah ke kota jika mereka mampu meyakinkan dirinya akan kehidupan di kota, walaupun pekerjaan untuk kaum migran di kota semakin sulit, bahkan jumlah dari mereka yang menganggur dan setengah menganggur semakin membengkak.

Sebagian migran datang ke kota dengan kemampuan dan kualifikasi tertentu atau memiliki koneksi-koneksi yang tepat untuk mereka, sehingga mampu mendapatkan pendapatan yang memuaskan di kota. Namun berbeda dengan beberapa dari mereka yang ternyata ada juga yang kurang beruntung.

Pada dasarnya kebijakan apapun yang mentranformasikan ekonomi pedesaan secara tidak langsung mempunyai dampak terhadap langkah dan bentuk pembangunan perkotaan. Beberapa kebijakan seperti redistribusi tanah untuk golongan miskin dapat mengurangi disparitas desa-kota dan memperlambat pertumbuhan kota melalui peningkatan pendapatan pertanian. Namun pada intinya semua kebijakan yang berlatar belakang transformasi ekonomi pedesaan merupakan sebuah kebijakan antiperkotaan dan propedesaan. Kebijakan yang terfokus kepada pedesaan ini dirasa mampu menjadi salah satu upaya dadalam mengontrol pertumbuhan kota, meningkatkan swadaya di pedesaan dan sebagai awal dari pembuka wilayah melalui pembangunan sumberdaya yang ada.

Upah riil industri harus diatur kestabilannya, sehingga permasalahan perdagangan mampu untuk beralih mendukung pertanian daripada mendukung industri. Masyarakat harus lebih didorong untuk mendirikan bangunan-bangunan industri (home industry) sejauh dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Jika upaya ini membuahkan hasil, nantinya akan tercipta sebuah deliniasi antara pasar industri perkotaan dan pasar industri pedesaan yang mampu bersaing secara sehat. Wilayah juga harus didorong untuk mengembangkan potensi sumberdaya mereka sendiri sehingga akan berdampak lengsung pada pengurangan penggunaan arus transportasi dan pada akhirnya akan melahirkan sebuah komitmen bahwa masyarakat lokal juga mampu untuk melakukan pembangunan.

Jika dilihat kembali jelas bahwa pola lotere pekerjaan terjadi dalam lingkungan yang spesifik. Sebagian besar kaum migran desa ke kota hanya sedikit sekali yang memiliki prospek untuk mendapatkan akses terhadap peluang-peluang kerja yang lebih baik. Bahkan pencarian kerja yang lebih luas pun tidak akan memungkinkan pendatang baaru untuk bergabung dengan pendatang lama yang beruntung mendapatkan pekerjaan dengan gajinya. Kondisi kerja dan jangka waktu pekerja lama sudah diatur oleh peraturan tempat kerjanya. Para pekerja dengan sistem ini memiliki perlindungan atas pekerjaannya dan mampu menikmati kondisi yang lebih baik daripada tenaga lain. Pada periode yang lain, proses pengontrakan dengan kategori tenaga kerja terampil justru akan sangat berbahaya, karena hampir mendekati suasana lotere, sebagaimana terjadi pada negara-negara berkembang di Afrika Tropis terhadap tenaga kerja tidak terampil. Beberapa waktu setelah penduduk migran tersebut mendapatkan pekerjaan, keadaan sudah semakin stabil, peluang-peluang kota berjalan secara lambat, dan mereka sudah terikat pada kehidupan kerja di kota, maka kaum migran baru yang datang tanpa koneksi yang tepat atau kualifikasi yang tidak memenuhi syarat, harus menerima peluang-peluang yang kurang menarik. Mereka akan bekerja dengan upah dibawah standar, sebagai tenaga kerja yang terpinggirkan, tidak dilindungi undang-undang perburuhan, dan tanpa jaminan sosial. Lantas hasil akhirnya adalah berupa sebuah pertanyaan, "masih maukah kita untuk dilotere?" atau "masih maukah kita untuk bermain lotere?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun