Malang, FBD Jantra 31 - Serangkaian kegiatan program kerja oleh FBD Jantra kelompok 31 di Desa Sidoasri Kecamatan Sumbermanjing Wetan salah satunya adalah monitoring kebudayaan. Rangkaian monitoring dilakukan kepada dua cabang kebudayaan yaitu kuda lumping dan pencak silat. Kegiatan ini hadir karena kelompok 31 memiliki fokus pengembangan dalam bidang literasi budaya, sekaligus menciptakan pelestarian agar kesenian Desa Sidoasri semakin berkembang dan tidak mengalami kepunahan.
Pelestarian budaya menjadi acuan mengingat hal tersebut merupakan warisan luhur yang diturunkan oleh nenek moyang sehingga menjadi ciri khas Indonesia, Desa Sidoasri ternyata cukup sukses dalam mengelola serta menjaga kesenian yang ada. Menjamurnya sanggar kuda lumping dan perguruan pencak silat menjadi bukti bahwa warga terutama generasi muda sangat antusias mengikuti pelatihan-pelatihan kesenian untuk mengisi waktu luang mereka. Menurut Bapak Suliono pelatih kesenian kuda lumping pada Kamis, 18 Juli 2024 kita harus melestarikan budaya Jawa untuk diturunkan dan tidak hilang.
Program monitoring ini dilaksanakan setiap malam saat kedua kesenian baik pencak silat maupun kuda lumping melakukan sesi latihan. Berbekal rasa keingintahuan tinggi kami datang, melihat, hingga bertanya terkait sejarah dan makna-makna yang ada dalam setiap gerakan kesenian tersebut. Tanpa meninggalkan pakem yang ada kesenian jaranan dikreasikan agar tidak ketinggalan zaman, begitu pula pencak silat yang juga divariasikan tanpa meninggalkan pakem dan tetap bisa menjadi hiburan bagi masyarakat khususnya anak-anak.
Salah satu pencak silat yang Kelompok 31 monitoring bernama Manunggaling Sinar Jaya Campursari. “Manunggal itu artinya sesama bela diri apapun bisa bersatu, kalau sinar melambangkan budi pekerti, jaya ya semoga jaya lah, campursari itu ya disini kesenianyaa banyak dan bisa bersatu” begitulah penuturan dari Bapak Sri Agus Winarto sebagai ketua komunitas pencak silat Manunggaling Sinar Jaya Campursari.
Kemudian untuk kuda lumping kelompok 31 melakukan monitoring di sanggar Turonggo Seto Budoyo. Perbedaan sanggar ini dengan sanggar lain terletak pada penggunaan pegon asli sebagai sarana pertunjukkan. Turonggo Seto budoyo merupakan sanggar aktif yang didirikan oleh ayah dari Bapak Suliono untuk menjaga kelestarian budaya dengan menggunakan pegon dan sampur sebagai ciri khasnya.
Keragaman budaya merupakan potensi luar biasa yang dimiliki Indonesia. Sudah menjadi kewajiban sebagai warga negara untuk menghormati, melestarikan, dan mengapresiasi setiap keanekaragaman budaya. “Jadi jaranan itu bukan hanya cuma tontonan kita harus menjadi tuntunan.” Ungkap Mas Nando saat diwawancara pada Kamis, 18 Juli 2024. Besar harapan para seniman di Sidoasri agar masyarakat luar senantiasa menghargai budaya dan tidak merubah jati diri sebagai Bangsa Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H