Mohon tunggu...
Politik

Lingkaran Kapitalisme

2 Januari 2016   19:54 Diperbarui: 2 Januari 2016   19:54 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kapitalisme berasal dari dua kata. Yakni capital dan isme. Kapital berasal dari kata ‘caput’ yang berarti kepala. Arti ini menjadi jelas misalnya dalam istilah pendapatan per-kapita yang berarti pendapatan per kepala. Juga masih konsisten ketika dipakai untuk misalnya capial city – kota utama. Apa hubungannya dengan capital lain yang sering kita terjemahkan sebagai ‘modal’? konon kekayaan penduduk Romawi kuno diukur oleh berapa kepala hewan ternak yang ia miliki. Semakin banyak caputnya, semakin sejahtera. Tidak mengherankan mengapa kemudian mereka mengumpulkan sebanyak-banyaknya caput. Sekarang jelas sudah mengapa kemudain kita menterjemahkan capital sebagai modal. Lantas kita tahu bahwa isme mengacu pada paham, ideologi, cara pandang atau cara hidup yang diterima oleh sekelompok luas masyarakat. Kapitalisme adalah modal-isme: paham yang berdasarkan modal.

Sejarah masuknya kapitalisme di Indonesia yaitu bermula dari perdagangan di tapal batas kepulauan Nusantara seperti Selat Malaka, Selat Sunda, Aceh, Ambon dan lainnya. Dari berbagai penjuru dunia memperebutkan wilayah agraris untuk menukarkan komoditasnya masing-masing. Dalam perkembangan awal kapitalisme di Indonesia yaitu hanya sebatas kapilatisme primitif yang memaksakan perampasan tanah rakyat dan mengeksploitasi secara paksa untuk menghasilkan komoditasnya. Namun seiring perkembangan kolonialisme, Belanda menerapkan monopoli perdagangan dengan adanya vereenigde oostindische compagnie (VOC). Setelah kemunduran VOC akitbat dari korupsi pegawainya kemudian kolonialisme di Hindia-Belanda dipimpin langsung oleh Kerajaan Belanda yang menerapkan tanam paksa untuk menggenjot produksi perkebunan dan hasil bumi lainnya untuk menjadi komoditas perdagangan Belanda.

Modal merupakan elemen pokok dalam kapitalisme. Namun, apa sebenarnya modal itu? Dalam arti tertentu, ia hanya berarti akumulusai kekayaan. Tetapi, bila digunakan dalam konteks kapitalisme sosio historis, ia mempunyai spesifik. Ia bukan hanya stok barang-barang yang dapat dikonsumsi, mesin-mesin atau klaim yang sah atas barang dalam bentuk uang. Modal dalam kapitalisme sosial historis digunakan (diinvestasikan) dalam cara yang sangat khas. Ia kemudian digunakan dengan tujuan atau maksud utama ekspansi diri dan eksploitasi.

Manusia dan alat bantunya adalah satu kesatuan yang utuh sebagai sumber produksi primer untuk menghasilkan atau memproduksi. Petani yang menanam padi dengan alat cangkul dan menanam benih di tanah serta bahan material lainnya bekerja sebagai sebuah kesatuan yang dengan mudah dapat mencapai pemenuhan kebutuhannya dari kerja produksi yang dilakukan. Di era kapitalis, hal itu kemudian ditanggalkan satu per satu, faktor produksi dipreteli, mulai dari alat-alat kerjanya, tanahnya dan bahan material lainnya. Sehingga yang tersisa adalah seseorang yang hanya memiliki tenaga kerja saja. Inilah kemudian memunculkan istilah faktor-faktor produksi yang terdiri dari tanah, modal, pengusaha dan tenaga kerja. Namun semua itu diambil alih dan dikondisikan oleh kelompok pemodal saja. Para tenaga kerja tanpa alat produksi maka tidak bisa menghasilkan dan tidak pula memiliki apa-apa kecuai tenaga segagai jasa yang pada akhirnya menjadi komoditas, dimana tenaga kerja menawarkan dirinya untuk bekerja kepada pemilik faktor dan alat-alat produksi agar dapat bertahan hidup. Inilah proses penyatuan kembali manusia dengan alat produksinya. Namun ketergantungan terjadi karena sudah dikendalikan oleh si pemilik alat-alat produksi. Maka tak heran jika kemudian banyak kasus perampasan tanah secara paksa yang dilakukan oleh kaum pemodal. Bahkan kaum pemodal mengubah tanah tadi menjadi gedung-gedung pabrik dan menjanjikan mereka untuk kerja di sana dengan upah yang pasti setiap bulan, tidak seperti menjadi petani yang hasil panennya masih tergantung pada musim. Padahal dengan begitu justru mereka semakin terpisahkan dengan alat produksi mereka sendiri.

Dalam proses produksinya, kapitalisme tidak pernah memikirkan apakah hasil akhir dari suatu produksi akan memiliki kegunaan bagi konsumen. Yang dia perhitungkan hanyalah bagaimana barang yang akan dijual bisa ditukarkan dengan uang. Pada akhirnya banyak sikap masyarakat yang suka berbelanja (konsumtif) sekalipun barang yang dibeli belum tentu digunakan. Antara yang mana kebutuhan dan keinginan sudah mulai dikaburkan bahkan tidak bisa mebedakannya lagi.

Kapitalisme tidak hanya mengeksploitasi tenaga manusia dan menciptakan kelas-kelas sosial tersendiri di dunia ini, tapi dia juga mengeksploitasi sumber daya alam. Benda-benda yang seharusnya dimiliki bersama justru bisa dibuah menjadi milik pribadi saat ini. Kita tahu bagaimana pengusaha dalam negeri terlebih kaum pemodal asing yang secara besar-besaran meraup untung dari Indonesia dan hanya menjadikan rakyat Indonesia sebagai buruh yang ada di dalamnya. Indonesia adalah negara yang memiliki sumber daya yang sangat melimpah. Namun kita lihat relaitas saat ini kemakmuran hanya dimiliki oleh segelintir orang. Mayoritas rakyat Indonesia berada dalam gari kemiskinan. Indonesia hanya mempunyai bahan mentah yang dihargai sangat murah dan untuk mengolah itu semua kita mengalami keterbatasan alat produksi dan teknologi yang sangat rendah yang memubat kita tidak bisa berkembang dan masih tergantung dengan negara asing. Indonesia masih belum bisa mandiri secara ekonomi. Namun itu semua segaja dibuat agar Indonesia ketergantungan. Karena menurut Yoshihara Kunio, negara maju meredam negara berkembang untuk maju. Mereka tidak menginginkan Indonesia mandiri secara ekonomi.

Dimanakah letak keadilan dan kemerdekaan? Semua terlihat tidak cocok dengan istilah kemerdekaan yang selama ini kita terima. Kita seagai kaum yang sadar, harus menyadarkan yang lainnya bahwa hari ini kita masih saja dijajah, bahkan oleh bangsa kita sendiri. Wiji Thukul pernah mengatakan dalam puisinya “jangan mau menjadi budak di negeri sendiri”. Hentikan sikap konsumeris, hedonis, dan individualis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun