Mendengar kata sekolah, pada umumnya seseorang akan membayangkan suatu tempat dimana orang-orang menghabiskan sebagian dari masa hidupnya untuk belajar atau mengkaji sesuatu didalam sebuah gedung, beberapa peralatan, serangkaian kegiatan terjadwal dan lain-lain. Namun dalam bahasa asli, sekolah berasal dari kata latin skhole, scolae, atau schola yang berarti “waktu luang”. Karena orang yunani tempo dulu biasa mengisi waktu luang mereka dengan cara mengunjungi tempat seseorang yang pandai untuk mempertanyakand an memperlajari hal yang mereka rasa memang perlu dan butuh untuk mereka ketahui, dan mereka menyebut kegiatan tersebut dengan 3 kata diatas yang mempunyai arti “waktu luang yang digunakan khusus untuk belajar”.
Waktu terus berlalu, para orang tua makin terbiasa mempercayakan pengasuhan putra-putri mereka kepada lembaga-lembaga pengasuh, dan karena semakin banyak anak yang haurs diasuh, maka sejak saat itu mulai diperlukan lebih banyak pengasuh, peraturan yang lebih tertib dan dengan imbalan jasa berupa upah dari orang tua mereka. Salah satu tokoh yang menggagas sistem tersebut adalah Johannes Amos Comerius yang melontarkan pola pengasuhan secara sistematis dan metodis yang berlatarbelakang proses perkembangan anak-anak yang memerlukan penanganan khusus. Melanjutkan gagasan tersebut yang dipelopori oleh Johan Heinrich Pestalozzi yang memberikan ide mengatur pengelompokan anak-anak asuhannya secara berjejang, termasuk perjenjangan urutan kegiatan “mata pelajaran” yang harus mereka lalui secara bertahap naik, juga pengaturan tentang cara-cara mereka harus melalui pelajaran tersebut. Sistem tersebut biasa dikenal dengan “sistem klasik pestalozzi”. Yang akhirnya menjadi cikal bakal pola pelajaran sekolah modern yang kita kenal sekarang dengan perjenjangan kelas dan tingkatannya.
Sekolah seperti sudah menjadi tradisi dalam masyarakat, merasuk dalam seluruh bagian keseharian kita. Melalui sejarah yang panjang dan lama, yang sedemikian berpengaruh terhadap kehidupan perseorangan dan perkauman kita, sehingga setiap orang merasa kehilangan sesuatu yang teramat berharga bagi diri dan hidupnya, kehilangan peluang dan hak jika ia gagal atau terputus di tengah jalan dalam mencapai suatu tingkatan sekolah tertentu. Sekolah telah menjadi ‘candu’. Jika tidak bersekolah atau gagal dalam bersekolah, seseorang akan dipandang sebelah mata oleh masyarakat.
Dilihat dari konteks sekarang, sekolah itu bukan lagi tujuan yang benar tentang sekolah itu sendiri. Esensi dari sekolah itu sendiri telah pudar dan hilang. Sekolah hanyalah tuntutan masyarakat dan hanya untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik.
Ditinjau dari pendidikan yang ada di Indonesia, yang katanya bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, namun diatas tujuan mulia itu banyak tujuan-tujuan lain yang tidak jelas untuk siapa. Para pendidik seperti hanya terfokus pada administrasi, rencana induk pengembangan, promosi dan lain-lain. Inikah sekolah sesungguhnya? Ataukah sekolah tidak lain sebuah perusahaan yang tersistematiskan? Di sisi lain, sekolah sebenarnya tidak harus selalu di kelas yang hanya mendengarkan guru atau dosen berbicara dan mencatat apa yang telah disampaikan oleh guru atau dosen tersebut. Seperti gelas kosong yang terus diisi dan setelah gelas terisi penuh, itulah akhir dari perjalanan sekolah. Pelajar atau mahasiswa dituntun untuk hanya fokus dalam akademis saja dan tidak memperdulikan lingkungan sekitarnya. Jika melawan aturan yang ada, maka sanksi yang diberikan pastilah bersangkutan tentang akademik yang membuat takut dan diancam dengan angka.
Harapan kita sekolah adalah wadah yang dapat “memanusiakan manusia”. Sekolah bukanlah pabrik yang menghasilkan manusia-manusia robot. Sekolah bukan tempat membeli harga diri, sekolah bukanlah tempat belajar korupsi. Sekolah adalah tempat mencari dan mengembangkan jati diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H