Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Peg BUMN - Write and read every day

Senang menulis, membaca, dan nonton film, juga ngopi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hentikan Aksi Bakar Buku sebagai Bentuk Protes

31 Oktober 2024   13:37 Diperbarui: 31 Oktober 2024   13:40 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jagad maya tengah dihebohkan oleh aksi satir berupa pembakaran buku karya presenter dan jurnalis Najwa Shihab. Aksi ini menjadi perbincangan panas di media sosial, khususnya di TikTok dan X (dulu dikenal sebagai Twitter). 

Kejadian tersebut bermula dari komentar Najwa Shihab yang mengomentari kepulangan Presiden ke-7, Joko Widodo, ke Solo, Jawa Tengah, pada Minggu, 20 Oktober 2024, saat siaran langsung prosesi pelantikan presiden dan wakil presiden periode 2024-2029.

Sebagaimana yang kita ketahui, perilaku netizen kerap kali mudah tersulut, terlebih ketika topik menyangkut hal-hal sensitif.

Pada hari itu, Nana---sapaan akrab Najwa Shihab---mengomentari perjalanan pulang Jokowi dan istrinya ke Solo yang menggunakan pesawat TNI AU. "Nggak jadi komersil, sekarang nebeng TNI AU," ujar Najwa dalam video yang beredar luas di internet. 

Pernyataannya itu sontak memicu respons keras dari netizen, khususnya di TikTok, hingga berujung pada hinaan serta komentar-komentar tidak pantas yang dilontarkan kepada Najwa, termasuk serangan yang mengandung unsur SARA.

Tak berhenti di situ, sejumlah netizen yang tidak setuju dengan Najwa bahkan mengambil langkah lebih jauh dengan membakar bukunya yang berjudul Catatan Najwa, lalu mengunggah video pembakaran buku tersebut ke media sosial. "Efek cuaca panas bisa keluar seperti api ini. Menyala, Mbak Nana," demikian bunyi teks dalam salah satu video pembakaran yang beredar di X.

Aksi pembakaran buku ini memicu pro-kontra di masyarakat. Salah satu tokoh publik yang menyuarakan pendapatnya adalah mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Lewat akun X miliknya, ia mengingatkan kembali cuitannya dari tahun 2021. 

Meski tidak secara langsung menyebutkan aksi tersebut, Anies tampak menyindir perbuatan itu dengan mengutip novelis Ellen Hopkins: "Bakar saja setiap buku, hanguskan setiap halaman, hancurkan setiap kata menjadi abu. Namun gagasan tak dapat dibakar. Dan mungkin itulah ketakutanmu yang sesungguhnya," tulisnya pada 28 Oktober 2024.

Membakar buku sebagai bentuk protes atau ketidaksetujuan terhadap seseorang tampaknya menjadi fenomena baru dalam menyuarakan pendapat. Namun, menurut saya, ini adalah sebuah langkah mundur yang sangat negatif.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa netizen Indonesia memiliki reputasi kurang baik soal etika berkomunikasi di dunia maya. Bahkan, menurut laporan Digital Civility Index (DCI) dari Microsoft yang mengukur kesopanan digital pengguna internet dunia, netizen Indonesia tercatat paling tidak sopan se-Asia Tenggara.

Aksi pembakaran buku dalam konteks ketidaksetujuan terhadap pendapat seorang penulis seperti Najwa Shihab jelas merupakan tindakan yang tidak dibenarkan dalam demokrasi. Demokrasi menjunjung tinggi kebebasan berpendapat serta penghargaan terhadap perbedaan pendapat.

Di sisi lain, aksi ini adalah bentuk intoleransi yang menginjak-injak hak kebebasan berekspresi. Buku adalah manifestasi dari buah pikiran dan pengalaman hidup penulisnya. Setiap halaman menyimpan gagasan, pengetahuan, serta refleksi yang disusun dengan penuh kesungguhan. Menghargai buku berarti menghormati proses berpikir, penelitian, serta usaha penulis dalam menyajikan perspektif atau ilmu yang dapat membuka wawasan pembacanya.

Dengan menghargai buku, kita juga menghormati kebebasan berekspresi, yang merupakan fondasi penting bagi masyarakat demokratis. Setiap buku, baik yang sejalan dengan pendapat kita maupun tidak, memperkaya ruang diskusi dan mendorong pemikiran kritis. 

Membakar atau menghancurkan buku bukan hanya tindakan yang destruktif, tetapi juga mengabaikan hak intelektual penulis, serta merugikan perkembangan literasi dan budaya baca masyarakat.

 Tindakan seperti ini sama saja dengan melecehkan kapasitas intelektual penulis, bahkan bisa dianggap sebagai intimidasi terhadap penulis dan penerbit, serta mereka yang memiliki pandangan berbeda.

Aksi pembakaran buku seperti yang terjadi kali ini tidak boleh dibiarkan. Pembakaran buku adalah tindakan primitif yang tidak mencerminkan masyarakat beradab.

Ada banyak cara yang lebih sopan dan elegan dalam mengekspresikan ketidaksetujuan terhadap gagasan seseorang. Kritik dapat disampaikan melalui diskusi, penulisan artikel, atau ulasan tandingan, yang jauh lebih efektif dan cerdas.

Pada intinya, pembakaran buku lebih menggambarkan sikap intoleransi dan ketidakmampuan menerima pluralitas gagasan daripada menjadi kritik substantif terhadap isinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun