Sebulan lagi seluruh daerah di Indonesia akan menyelenggarakan kompetisi politik untuk memilih kepala daerahnya masing-masing. Tepatnya tanggal 27 November nanti, ratusan kandidat akan memperebutkan 37 kursi gubernur, 93 kursi walikota dan 415 kursi bupati. Di hari itu, jutaan orang akan berbondong-bondong mendatangi tempat pemilihan suara (TPS) untuk menyalurkan pilihannya.
Kompetisi politik lima tahunan ini harus dilakukan sebagai pelaksanaan demokrasi yang dianut negara kita. Selain itu, juga untuk mengukur sekualitasapa pelaksanaan demokrasi tersebut. Salah satu tolok ukur yang akan mengurangi kualitas demokrasi itu adalah politik uang atau money politic.
Pengertian politik uang menurut Wikipedia,
"Politik uang (money politic) adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang. Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye. Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari H pemilihan umum. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai yang bersangkutan."
Sedangkan menurut situs kajianpustakacom, politik uang atau money politic adalah suatu upaya mempengaruhi perilaku masyarakat/pemilih menggunakan imbalan materi, balik milik pribadi maupun partai untuk mempengaruhi suara pemilih (voters) dengan konsepsi bahwa materi tersebut dapat mengubah keputusan dan dijadikan sebagai wadah penggerak perubahan.
Sepertiga Pemilih Indonesia Terima Suap Saat Pemilu
Fenomena politik uang ini telah memancing seorang pengamat politik untuk menelitinya. Adalah Burhanuddin Muhtadi yang melakukan penelitian untuk program doktoralnya. Dari hasil penelitiannya itu ia menemukan fakta bahwa satu di antara tiga orang pemilih di Indonesia terlibat jual-beli suara (politik uang) saat Pemilu.
Kenyataan itu kemudian menempatkan Indonesia ke peringkat ketiga negara di dunia yang paling banyak melakukan politik uang ketika Pemilu, setelah Uganda dan Benin.
Burhanudin  Muhtadi mendapatkan kesimpulan tersebut setelah mengolah data dari berbagai macam survei yang dilakukan antara tahun 2006 dan 2016 dengan jumlah responden lebih dari 800.000 orang di seluruh Indonesia.
Walaupun praktik jual beli suara (politik uang) ini sudah ada sejak pemilu pertama Indonesia pada 1955. Namun, di masa Orde Baru tidak terjadi, karena dianggap tidak ada untungnya dalam sistem pemilu yang selalu dimenangkan oleh partai pemerintah (Golkar).