Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Peg BUMN - Write and read every day

Senang menulis, membaca, dan nonton film, juga ngopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Antara Anakku, Anakmu, dan Anak-Anak Kita

26 September 2024   15:40 Diperbarui: 26 September 2024   15:43 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak terasa, usia pernikahanku dengan Linda sudah memasuki tahun keenam. Saya menyebut 'tak terasa' karena memang kehidupan rumah tanggaku dengannya dipenuhi keceriaan dan kebahagiaan. Apalagi setelah kehadiran anak kami, yang sekarang berusia lima tahun.

Saya dan Linda seolah menemukan kembali kehidupan baru yang menyenangkan, setelah masing-masing kami melewati kehidupan yang penuh duka. Kami, saya dan Linda, memang menikah setelah masing-masing menjadi single parent, karena pasangan kami masing-masing telah meninggalkan kami untuk selamanya.

Istri saya meninggal dunia dua tahun yang lalu karena penyakit diabetesnya yang tidak pernah membaik. Memiliki dua anak yang saat itu berumur satu dan tiga tahun, tentu saja saya merasa kerepotan menjadi orangtua tunggal. Sehingga saya membutuhkan sosok ibu untuk kedua anak saya.

Begitupun dengan Linda, saat saya menikahinya, dia sudah tiga tahun menjanda setelah suaminya meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Memiliki seorang anak laki-laki yang masih berumur satu tahun, tentu dia pun membutuhkan sosok ayah untuk anaknya.

Jadi, kami menikah lebih didasari oleh rasa saling membutuhkan. Saya membutuhkan dia sebagai sosok ibu untuk anak-anak saya, Linda pun membutuhkan saya sebagai sosok ayah untuk anak lelakinya.

Cinta? Tidak!

Terus terang cinta bukan dasar kami menikah. Bagaimana mau ada rasa cinta di antara kami, kalau kami saja baru berkenalan sebulan sebelum resmi menjadi pasangan suami istri.

Namun, cinta bagai tanaman. Ketika menemukan tanah yang subur, apalagi kemudian dirawat, maka dia akan tumbuh dengan baik.

Baca juga: Anak Panah

Begitupan cinta di antara kami. Berawal dari saling membutuhkan, kemudian kita menjalani dengan saling percaya dan saling menghargai, pohon cinta kami pun tumbuh subur. Sampai berbuah dengan lahirnya seorang anak laki-laki.

Kehidupan rumah tangga kami seolah berbanding terbalik dengan kehidupan masing-masing sebelum menikah. Sekarang, rumah kami ramai dengan kehadiran empat orang anak dengan selisih usia yang berdekatan. Dua anak saya, berusia tujuh dan sembilan tahun, satu orang anak Linda yang berusia tujuh tahun, dan buah pernikahan kami yang masih berusia lima tahun.

Selama enam tahun berumah tangga, kami merasa tidak pernah punya masalah yang berat. Kehidupan rumah tangga kami betul-betul terasa indah. Memang beberapa kali kami saling berselisih, tapi cinta kami berdua lebih besar dari masalah yang diperselisihkan itu.

Sampai kemudian, tiga hari yang lalu, terjadi kejadian yang luar biasa. Kejadian yang belum pernah terjadi selama enam tahun kehidupan rumah tangga kami. Bahkan kami pun tidak pernah membayangkan kejadian itu bakal terjadi.

Pagi itu, saat sedang meeting dengan Kepala Cabang, Linda menelepon. Gawaiku yang kusimpan di saku kemejaku bergetar. Mode getar memang aku aktifkan. Bosku paling tidak suka mendengar suara telepon di saat sedang rapat.

Gawaiku terus bergetar, tak kuangkat karena Si Bos sedang berbicara serius. Kuperkirakan gawaiku lima kali bergetar. Entah siapa yang menelepon, tapi kelihatannya penting karena terus-menerus menelepon.

Saat ada jeda, Si Bos sedang membuka-buka berkas dokumen, kulihat siapa yang menelepon tadi. Ternyata Linda, istriku. Seribu tanda tanya memenuhi kepalaku. Tidak biasanya Linda menelepon di jam kerja. Kalau dia menelepon, berarti ada sesuatu yang penting yang harus kuketahui.

[Lin, chat saja! Aku lagi meeting penting, nih] kukirim chat via WA.

Linda tidak membalas chat-ku, malah kembali menelepon.

[Ada apa, sih? Kelihatannya penting banget] chat-ku lagi.

[Angkat teleponnya!] balas Linda.

Setelah diberi izin oleh Si Bos untuk keluar sebentar, aku segera ke toilet. Tempat paling aman untuk menerima telepon pribadi.

"Say, ada apa, sih?" langsung aku tanya Linda saat kembali menelepon.

"Gawat, Mas!" jawab Linda pendek.

"Gawat apa?" tanyaku kembali, dengan nada gemetar, membayangkan sesuatu yang bahaya yang dimaksud gawat oleh Linda.

"Cepat pulang! Anakmu dan anakku mengeroyok anak kita."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun